Kamis, 21 Mei 2015

Makalah Problematika Pendidikan Islam



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
a.       Pengertian Problematika Menurut Para Ahli
Istilah problema/problematika berasal dari bahasa Inggris yaitu "problematic" yang artinya persoalan atau masalah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, problema berarti hal yang belum dapat dipecahkan; yang menimbulkan permasalahan.[1]
Sedangkan yang lainmenyatakan bahwa "problema/problematika merupakan  suatu kesenjangan antara harapan dan kenyataan.[2]
Masalah adalah sesuatu yang dipertanyakan dan sangat penting untuk dipecahkan, hal ini diungkapkan dalam buku Pedoman Karya Tulis Ilmiah yang dijadikan referensi oleh STAI Persis Garut.
Jadi dapat disimpulkan bahwa problematika adalah berbagai persoalan yang belum dapat terselesaikan, hingga terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dihadapi dalam proses pemberdayaan, baik yang datang dari individu Guru maupun dalam upaya pemberdayaan masyarakat Islami secara langsung dalam masyarakat.
b.      Pengertian Pendidikan Islam
Istilah umum yang digunakan dalam pendidikan Islam, yaitu Tarbiyah (pengetahuan tentang ar-rabb), Ta’lim (ilmu teoritik, kreativitas, komitmen tinggi dalam mengembangkan ilmu, serta sikap hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah), Ta’dib (integrasi ilmu dan amal). [3]
1.      Istilah Tarbiyah
Kata Tarbiyah berasal dari kata dasar “Rabba” (رَبَّى), yurabbi (يُرَبِّى) menjadi “tarbiyah” yang berarti memelihara, membesarkan dan mendidik. Dalam statusnya sebagai khalifah berarti manusia hidup di alam mendapat kuasa dari Allah untuk mewakili sekaligus sebagai pelaksana dari peran dan fungsi Allah di alam. Dengan demikian manusia sebagai bagian dari alam memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang bersama alam lingkungannya. Tetapi sebagai khalifah Allah maka manusia memiliki tugas untuk memadukan pertumbuhan dan perkembangannya bersama dengan alam.[4]

2.      Istilah Ta’lim
Secara etimologi, ta’lim berkonotasi pembelajaran, yaitu  proses memindahkan ilmu pengetahuan. Hakekat ilmu pengetahuan bersumber dari Allah SWT. Adapun proses pembelajaran (ta’lim) secara simbolis dinyatakan dalam informasi al-Qur’an ketika penciptaan Adam as oleh Allah SWT, ia menerima pemahaman tentang konsep ilmu pengetahuan langsung dari penciptanya. Proses pembelajaran ini disajikan dengan menggunakan konsep ta’lim yang sekaligus menjelaskan hubungan antara pengetahuan Adam as dengan Tuhannya. [5]
3.      Istilah Ta’dib
Menurut al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukkan pendidikan Islam adalah Ta’dib, konsep ini didasarkan pada hadits Nabi:
اِدَّ بَنِيْ رَبِّى فَأَحْسَنَ تَـأْدِيْبِيْ {رواه العسكرى عن على}
Artinya : “Tuhan telah mendidikku, maka ia sempurnakan pendidikanku”
(HR. al-Askary dari Ali r.a).
Ta’dib berarti pengenalan dan pengetahuan secara berangsur-angsur yang ditanamkan ke dalamdiri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya.
Dari bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. [6]

c.       Pengertian Problematika Pendidikan Islam
Dapat penulis simpulkan dari pengertian problematika + pendidikan islam. Berarti problematika pendidikan islam adalah masalah-masalah yang terjadi dalam pendidikan islam.
B.     Poblematika pendidikan islam modern
Ketertinggalan pendidikan Islam salah satunya dikarenakan oleh terjadinya penyempitan terhadap pemahaman pendidikan Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atauaspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani.
Oleh karena itu, akan tampak adanya perbedaan dan pemisahan antara yang dianggap agama dan bukan agama, yang sakral dengan yang profan, antara dunia dan akhirat. Cara pandang yang memisahkan antara yang satu dengan yang lain ini disebut sebagai cara pandang dikotomi. Adanya dikotomi inilah yang salah  satu penyebab ketertinggalan pendidikan Islam. Hingga kini pendidikan Islam masih memisahkan antaraakal dan wahyu, serta pikir dan zikir. Hal ini menyebabkan adanya ketidakseimbangan pola fikir, yaitu kurang berkembangnya konsep humanisme religius dalam dunia pendidikan Islam, karena pendidikan Islam lebih berorientasi pada konsep ‘abdullah (manusia sebagai hamba), ketimbang sebagai konsep khalifatullah (manusia sebagai khalifah Allah).
a.       Masalah Mendasar
1.      Sekularisme sebagai Paradigma Pendidikan
Sekularisme adalah suatu paham yang memisahkan antara dunia dan akhirat, kehidupan dunia dan agama, pengalaman agama adalah masalah pribadi.
Jarang ada orang mau mengakui dengan jujur, sistem pendidikan kita adalah sistem yang sekular-materialistik. Biasanya yang dijadikan argumentasi, adalah UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab II Pasal 3 yang berbunyi, “Pendidikan nasional bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”
Tapi perlu diingat, sekularisme itu tidak otomatis selalu anti agama. Tidak selalu anti “iman” dan anti “taqwa”. Sekularisme itu hanya menolak peran agama untuk mengatur kehidupan publik, termasuk aspek pendidikan. Jadi, selama agama hanya menjadi masalah pribadi dan tidak dijadikan asas untuk menata kehidupan publik seperti sebuah sistem pendidikan, maka sistem pendidikan itu tetap sistem pendidikan sekular, walaupun para individu pelaksana sistem itu beriman dan bertaqwa (sebagai perilaku individu).
Sesungguhnya diakui atau tidak, sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagamaan, dan khusus”.
Dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomi semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.
Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek kehidupan. 
2.      Permasalahan lain
Masalah-masalah cabang yang dimaksud di sini, adalah segala masalah selain masalah paradigma pendidikan, yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan. Masalah-masalah cabang ini tentu banyak sekali macamnya, di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut:
1.    Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi Yang Tidak Memperhatikan Masalah Agama
 Pendidikan Islam saat ini menghadapi masalah serius yang berkaitan dengan perubahan masyarakat yang terus menerus semakin cepat, lebih-lebih perkembangan ilmu pengetahuan yang hampir tidak memperdulikan  sistem suatu agama.
Kondisi sekarang ini, pendidikan Islam berada pada posisi determinisme historik dan realisme. Dalam artian bahwa, satu sisi umat Islam berada padaromantisme historis di mana mereka bangga karena pernah memiliki para pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan besar danmempunyai kontribusi yang besar pula bagi pembangunan peradaban dan ilmu pengetahuan dunia sertamenjadi transmisi bagi khazanah Yunani, namun di sisi lain mereka menghadapi sebuahkenyataan, bahwa pendidikan Islam tidak berdaya dihadapkan kepada realitas masyarakatindustri dan teknologi modern. Hal ini pun didukungdengan pandangan sebagian umat Islam yang kurangmeminati ilmu-ilmu umum dan bahkansampai pada tingkat “diharamkan”.
2.      Terjadi Pemilahan Antara Ilmu Umum dan Ilmu Agama
Terjadinya pemilahan-pemilahan antara ilmu umum dan ilmu agama inilah yang membawa umat Islam kepada keterbelakangan dan kemunduran peradaban, lantaran karena ilmu-ilmu umum dianggap sesuatu yang berada di luar Islam dan berasal dari non-Islam. Agama dianggap tidak ada kaitannya dengan ilmu, begitu juga ilmu dianggap tidak memperdulikan agama, padahal sesungguhnya semua ilmu berasal dari al-Quran. Begitulah gambaran praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat. Sistem pendidikan Islam yang ada hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja. Di sisi lain, generasi muslim yang menempuh pendidikan di luar sistem pendidikan Islam hanya mendapatkan porsi kecil dalam hal pendidikan Islam atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan ilmu-ilmu keislaman.
3.      Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
4.      Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 tentang Sisdiknas yaitu merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Dari pasal tersebut, maka syarat-syarat untuk menjadi guru dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.    Berijazah
b.      Sehat jasmani dan rohani
c.       Takwa kepada Tuhan YME dan berkelakuan baik
d.      Bertanggung jawab
e.       Berjiwa nasional
Walaupun guru bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi guru merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.
5.      Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan sebesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp. 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya. Dan itu semua mengganggu terhadap efektifitas pembelajaran.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.

C.   Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Masalah Pendidikan Islam
Masalah pendidikan Islam timbul karena dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal.
1.      Faktor internal
·         Meliputi manajemen pendidikan Islam yang pada umumnya belum mampu menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan berkualitas. Hal ini tercermin dari kalah bersaing dengan sekolah-sekolah yang berada di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional [Diknas] yang umumnya dikelola secara modern.
·         Faktor kompensasi profesional guru yang masih sangat rendah. Para guru yang merupakan unsur terpenting dalam kegiatan belajarmengajar, umumnya lemah dalam penguasaan materi bidang studi, terutama menyangkut bidang studi umum, ketrampilan mengajar, manajemen keles, dan motivasi mengajar. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan Islam kurang kondusif bagi pengembangan kompetensi profesional guru.
·         Adalah faktor kepemimpinan, artinya tidak sedikit kepala-kepala madrasah yang tidak memiliki visi, dan misi untuk mau ke mana pendidikan akan dibawa dan dikembangkan. Kepala madrasah seharusnya merupakan simbol keunggulan dalam kepemimpinan, moral, intelektual dan profesional dalam lingkungan lembaga pendidikan formal, ternyata sulit ditemukan di lapangan pendidikan Islam. Pimpinan pendidikan Islam bukan hanya sering kurang memiliki kemampuan dalam membangun komunikasi internal dengan para guru, melainkan juga lemah dalam komunikasi dengan masyarakat, orang tua, dan pengguna pendidikan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Biasanya pendekatan yang digunakan adalah pendekatan birokratis daripada pendekatan kolegial profesional. Mengelola pendidikan bukan berdasar pertimbangan profesional, melainkan pendekatan like anddislike (Mahfudh Djunaidi, 2005), dengan tidak memiliki visi dan misi yang jelas.
2. Faktor eksternal
·      Adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam. Pemerintah selama ini cenderung menganggap dan memperlakukan pendidikan Islam sebagai anak tiri, khususnya soal dana dan persoalan lain. Katakan saja, alokasi dana yang diberikan pemerintah sangat jauh perbedaannya dengan pendidikan yang berada di lingkungan Diknas (Mahfudh Djunaidi, 2005). Maka, terlepas itu semua, apakah itu urusan Depag atau Depdiknas, mestinya alokasi anggaran negara pada pendidikan Islam tidak terjadi kesenjangan, toh pendidikan Islam juga bermisi untuk mencerdaskan bangsa, sebagaimana juga misi yang diemban oleh pendidikan umum.
·      Dapat dikatakan bahwa paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional. Pendidikan Islam tidak dianggap bagian dari sektor pendidikan, lantaran urusannya tidak di bawah Depdiknas. Beberapa indikator yang menunjukkan kesenjangan ini yaitu mulai dari tingkat ketersediaan tenaga guru, status guru, kondisi ruang belajar, tingkat pembiayaan (unit cost) siswa, hingga tidak adanya standardisasi mutu pendidikan Islam, karena urusan pendidikan Islam tidak berada di bawah Depdiknas (Abdul Aziz, Kompas, 2005), dan lebih tragis lagi adalah sikap diskriminatif terhadap prodak atau lulusan pendidikan Islam.
·      Adalah adanya diskriminasi masyarakat terhadap pendidikan Islam. Secara jujur harus diakui, bahwa masyarakat selama ini cenderung acuh terhadap proses pendidikan di madrasah atau sekolah-sekolah Islam. Rata-rata memandang pendidikan Islam adalah pendidikan nomor dua dan biasanya bila menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan Islam merupakan alternatif terakhir setelah tidak dapat diterima di lembaga pendidikan di lingkungan Diknas (M Dahriman, 2005).

C. Solusi Problematika Pendidikan Islam
Solusi Problematika Pendidikan Islam saat ini mencermati kenyatan tersebut, maka mau tidak mau persoalan konsep dualisme-dikotomik pendidikan harus segera ditumbangkan dan dituntaskan, baik pada tingkatan filosofis-paradigmatik maupun teknis departementel. Pemikiran filosofis menjadi sangat penting, karena pemikiran ini nanti akan memeberikan suatu pandangan dunia yang menjadi landasan idiologis dan moral bagi pendidikan.

a.1)  Solusi Problem Mendasar: Sekularisme sebagai Paradigma Pendidikan
Penyelesaian problem mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam. Ini sangat penting dan utama.
Ibarat mobil yang salah jalan, maka yang harus dilakukan adalah mengubah haluan atau arah mobil itu terlebih dulu, menuju jalan yang benar agar bisa sampai ke tempat tujuan yang diharapkan. Tak ada artinya mobil itu diperbaiki kerusakannya yang macam-macam selama mobil itu tetap berada di jalan yang salah. Setelah membetulkan arah mobil ke jalan yang benar, barulah mobil itu diperbaiki kerusakannya yang bermacam-macam.
Artinya, setelah masalah mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan diselesaikan, baik itu masalah rendahnya sarana fisik, kualitas guru dan kesejahteraan guru.
Solusi masalah mendasar itu adalah merombak total asas sistem pendidikan yang ada, dari asas sekularisme diubah menjadi asas Islam, bukan asas yang lain.
Bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada dengan cara menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan Islam. Hal paling mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.
b.1)  Solusi terhadap perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang tidak memperhatikan masalah agama
Untuk menyelesaikan masalah ini, penulis kira pendidikan islam harus segera menguasai pendidikan berbasis teknologi, agar pendidikan islam tidak jauh tertinggal dalam pendidikan.
b.2 )Solusi tentang pemisahan antar ilmu dan agama
Pemisahan antar ilmu dan agama hendaknya segera dihentikan dan menjadi sebuah upaya penyatuan keduannya dalam satu sistem pendidikan integralistik. Namun persoalan integrasi ilmu dan agama dalam satu sistem pendidikan ini bukanlah suatu persoalan yang mudah, melainkan harus atas dasar pemikiran filosofis yang kuat, sehingga tidak terkesan hanya sekedar tambal sulam. Langkah awal yang harus dilakukan dalam mengadakan perubahan pendidikan adalah merumuskan “kerangka dasar filosofis pendidikan” yang sesuai dengan ajaran Islam, kemudian mengembangkan secara “empiris prinsip-prinsip” yang mendasari terlaksananya dalam konteks lingkungan (sosio dan kultural) Filsafat Integralisme (hikmah wahdatiyah) adalah bagian dari filsafat Islam yang menjadi alternatif dari pandangan holistik yang berkembang pada era postmodern di kalangan masyarakat barat.
Inti dari pandangan hikmah wahdatiyah ini adalah bahwa yang mutlak dan yang nisbi merupakan satu kesatuan yang berjenjang, bukan sesuatu yang terputus sebagaimana pandangan ortodoksi Islam. Pandangan Armahedi Mahzar, pencetus filsafat integralisme ini, tentang ilmu juga atas dasar asumsi di atas, sehingga dia tidak membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu Tuhan dan ilmu skular, ilmu dunia dan ilmu akhirat. Dari pandangan dia tentang kesatuan tersebut juga akan berimplikasi pula pada pemikiran Armahedi pada permasalahan yang lain, termasuk juga pendidikan Islam.
            Bagi Armahedi, pendidikan Islam haruslah menjadi satu kesatuan yang utuh atau integral. Baginya, manusia-manuisa saat ini merupakan produk dari pemikiran Barat Modern yang mengalami suatu kepincangan, karena merupakan suatu perkembangan yang parsial. Peradaban Islam adalah contoh lain. Keduanya dapat ditolong dengan membelokkan arah perkembangannya ke arah perkembangan yang evolusioner yang lebih menyeluruh dan seimbang. Hanya ada beberpa sisi saja dari kehidupan manusia yang dikembangkan. Begitu juga halnya dengan masyarakat yang ada, pada hakikatnya adalah cerminan dari satu sistem pendidikan yang ada saat itu.
            Masyarakat saat ini adalah masyarakat materialis yang dapat dibina dengan menggunakan suatu mesin raksasa yang bernama teknostrutur. Di sini ada satu link yang hilang, yaitu spiritualisme. Dengan demikian, pendidikan sebagai produksi sistem ini haruslah mengembangkan seluruh aspek dari manusia dan masyarakat sesuai dengan fitrah Islam, yaitu tauhid.
            Pandangan filosofis inilah yang menjadikan pentingnya kajian terhadap pemikiran Armahedi Mahzar tentang sistem pendidikan Islam integratif, karena permasalahan pendidikan sebenarnya terletak pada dua aspek, filosofis dan praktis. Persoalan filosofis ini yang menjadi landasan pada ranah praktis pendidikan. Ketika ranah filosofis telah terbangun kokoh, maka ranah praktis akan berjalan secara sistematis. Dengan demikian, filsafat integralisme atau hikmah wahdatiyah nantinya akan menjadi landasan idiologis dalam pengembangan sistem pendidikan integratif.
b.3.4.5 ) Rendahnya sarana fisik, Rendahnya kualitas guru dan kesejahteraan guru
Untuk mengatasi masalah-masalah cabang di atas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan Islam. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah cabang yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan seperti rendahnya sarana fisik dan kesejahteraan guru berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkaitan langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkaitan langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru.


























BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN


A.    Problematika pendidikan islam adalah masalah-masalah yang terjadi dalam pendidikan islam.
B.     Poblematika pendidikan islam modern
a.    Masalah Mendasar
1.      Sekularisme sebagai Paradigma Pendidikan
b.    Permasalahan lain
1.      perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang tidak      memperhatikan masalah agama
2.      pemisahan antar ilmu dan agama
3.      Rendahnya sarana fisik
4.      Rendahnya kualitas guru dan
5.      Kesejahteraan guru

C.     Solusi Problematika Pendidikan Islam

a.       Solusi Problem Mendasar: Sekularisme sebagai Paradigma Pendidikan
Penyelesaian problem mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam. Ini sangat penting dan utama.
b.      Solusi terhadap perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang tidak memperhatikan masalah agama
Untuk menyelesaikan masalah ini, penulis kira pendidikan islam harus segera menguasai pendidikan berbasis teknologi, agar pendidikan islam tidak jauh tertinggal dalam pendidikan
c.       Solusi tentang pemisahan antar ilmu dan agama
Pemisahan antar ilmu dan agama hendaknya segera dihentikan dan menjadi sebuah upaya penyatuan keduannya dalam satu sistem pendidikan integralistik.

d.      Rendahnya sarana fisik, Rendahnya kualitas guru dan Kesejahteraan guru
secara garis besar ada dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan Islam. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan.














[1](Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Bulan Bintang, 2002), hal. 276)
[2](Syukir, Dasar-dasarStrategi Dakwah Islami, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1983), hal. 65)
[3](Hasan Langgulung : 1988).
[4](Zuhairini, 1995:121).
[5](Jalaluddin, 2001:122).
[6](Samsul Nizar, 2002:32).