Kamis, 21 Mei 2015

Biografi A.Hasan



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pada zaman penjajahan telah berdiri organisasi-organisasi Islam sebagai bentuk kesadaran masyarakat terutama umat Islam untuk selalu menegakkan agama Islam dan menentang tindakan-tindakan penjajah yang selalu menindas masyarakat Indonesia.Langkah-langkah yang ditempuh diantaranya adalah peningkatan kekuatan dalam bidang politik, budaya, ekonomi maupun dalam hal pendidikan.
Diantara organisasi-organisasi Islam tersebut terdapat sebuah organisasi yang kita kenal sebagai organisasi Persatuan Islam (Persis). Organisasi ini selain berupaya untuk menumbuhkan rasa nasionalisme pada masyarakat juga berupaya untuk menanamkan kesadaran pada masyarakat akan pentingnya pendidikan terutama pendidikan agama. Upaya tersebut dilakukan untuk meminimalisir keterbelakangan rakyat Indonesia dan memberikan modal keagamaan bagi mereka untuk menghadapi perlawanan-perlawanan yang datang dari luar.
Persatuan Islam didirikan di Bandung pada tanggal 12 September 1923. Persatuan Islam ini berdiri ketika di daerah-daerah lain itu telah mengadakan pembaharuan didalam agama dan di Bandung ini terlihat agak lambat didalam mulai pembaharuan dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Persis didirikan dengan tujuan untuk memberikan pemahaman Islam yang sesuai dengan aslinya yang dibawa oleh Rasulullah Saw dan memberikan pandangan berbeda dari pemahaman Islam tradisional yang dianggap sudah tidak orisinil karena bercampur dengan budaya local, sikap taklid buta, sikap tidak kritis, dan tidak mahu menggali Islam lebih dalam dengan membuka Kitab-kitab Hadits yang shahih.
Berbicara tentang persatuan islam, maka tidak akan terlepas dari sosok seorang ulama yang bernama A. Hassan, Yaitu seorang keturunan Indonesia India. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai riwayat hidup A. Hassan, maka di sini penulis akan memaparkan lima point mengenai A. Hassan yaitu riwayat hidup, pendidikan, pekerjaan, pengaruh pemikiran serta mengenai keluarga beliau.


B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah :
1.      Bagaimana riwayat hidup A. Hassan dari awal sampai meninggal?
C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dalam makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui bagaimana riwayat hidup A. Hassan dari awal sampai meninggal

















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Riwayat hidup A. Hassan
Ustadz Ahmad Hassan, untuk selanjutnya disebut dengan A. Hassan, lahir di Singapura para tahun 1887, berasal dari keluarga campuran Indonesia dan India. Ayahnya bernama Sinna Vappu Maricar, tetapi ia lebih di kenal dengan nama Ahmad. Ia seorang penulis yang ahli dalam agama islam dan kesusastraan Tamil, ia juga pemimpin surat kabar “Nurul Islam” yang terbit di Singapura. Dalam memimpin surat kabar itu, Ahmad dibantu oleh Ahmad Gani (ipar hasan) dan Abdul Wahid. Ahmad suka berdebat dalam masalah bahasa dan agama serta mengadakan tanya jawab dalam surat kabarnya.[1] Ibunya bernama Muznah, ia lahir di Surabaya, tetapi keluarganya berasal dari palekat Madras. Ahmad dan Muznah menikah di Surabaya dan kemudian mereka menetap di Singapura.
Pada kira-kira usia tujuh tahun, A. Hassan, sebagaimana anak-anak pada umunya, bersekolah dan mengaji. Ia mulai bekerja mencari nafkah pada usia 12 tahun sambil berusaha belajar privat untuk menguasai bahasa arab dengan bermaksud agar dapat memperdalam pengetahuannya tentang islam. Pelajaran yang diterima A. Hassan pada saat itu sama saja dengan apa yang diterima oleh anak-anak lain, seperti tata cara shalat, wudlu dan shaum.
B.     Pendidikan A. Hassan
Sekitar umur tujuh tahun, Hassan belajar Al-Quran dan agama. Setelah itu ia masuk ke sekolah Melayu. Disini, ia belajar bahasa Arab, Melayu, Tmil dan Inggris. Hassan tidak pernah menamatkan sekolah dasarnya di Singapura.Dia telah mulai bekerja ketika berumur 12 tahun.Ia bekerja pada sebuah toko kepunyaan iparnya, Sulaiman, sambil belajar mengaji pada Haji Ahmad di Bukittiung dan pada Muhammad Thalib, seorang guru yang terkenal di Minto Road. Haji Ahmad bukanlah seorang alim besar, tetapi buat ukuran Bukittiung ketika itu, ia adalah seorang guru yang disegani dan berakhlak tinggi.[2]
Ahmad Hassan lebih banyak mempelajari ilmu nahwu dan ilmu sharaf pada Muhammad Thalib. Pada saat gurunya pergi menunaikan ibadah haji, ia beralih mempelajari bahasa arab pada Said Abdullah Al-Musawi selama tiga tahun. Di Samping itu, ia pun belajar pada pamannya, Abdul Lathif seorang ulama terkenal di Malaka dan Singapura., serta belajar pula pada syekh Ibrahim ulama asal India. Semua upaya untuk mempelajari dan memperdalam agama islam dari beberapa orang guru tersebut ditempuh sampai kira-kira tahun 1910, menjelang ia berusia 23 tahun
C.    Pekerjaan A. Hassan
Pada masa kecil Hassan bekerja sebagai tukang, serta membantu ayahnya dalam percetakan. Setelah menginjak umur remaja ia menjadi pelayan toko, kemudian dagang permata, minyak wangi, es, vulkanisir ban mobil dan kira-kira setahun bekerja sebagai kerani Jiddan Pilgrim’s Office, yaitu sebuah kantor yang didirikan oleh Mansfield dan Assegaf yang mengurus perjalanan haji.
Disamping usaha-usah tersebut tahun 1910 hingga tahun 1921, A. Hassan juga menekuni berbagai macam pekerjaan di Singapura. Sejak tahun 1910 ia telah menjadi guru tidak tetap di madrasah orang-orang India di Arab Street, Bagdad Street, dan Geylang hingga tahun 1913. Kemudian menjadi guru tetap menggantikan Fadlullah Suhaimi pada Madrasah Assegaf di jalan Sulthan. Sekitar tahun 1912-1913, A. Hassan  menjadi anggota reaksi surat kabar Utusan Melayu yang di terbitkan oleh Singapore Press di bawah pimpinan Inche Hamid dan Sa’dullah Khan.
Tulisan Hassan pertama kali ialah mengecam Qadli yang memeriksa perkara dengan mengumpulkan tempat duduk pria dan wanita.Ia juga dalam salah satu pidatonya mengencam kemunduran umat islam, sehingga oleh karena itu dianggap politik, maka ia tidak memperkenankan lagi berpidato.
Setelah berhenti beberapa saat, maka pada tahun 1915/1916 ia kembali membantu surat kabar ini , dengan bentuk tulisan yang sama. Dalam karimnya sebagai pengarang di Singapura, ia juga membuat cerita humor berjudul “Tertawa” sebanyak empat jilid.
Pada tahun  1921, A. Hassan hijrah dari Singapura ke Surabaya dengan maksud untuk mengambil alih pimpinan toko tekstil milik pamannya, Haji Abdul Lathif. Pada masa itu Surabaya menjadi tempat pertikaian antara kaum muda dengan kaum tua.Kaum muda di pelopori oleh Faqih Hasyim, seorang pendatang yang menaruh perhatian terhadap masalah-masalah keagamaan.Ia memimpin kaum muda dalam upaya melakukan gerakan pembaharuan pemikiran islam di Surabaya dengan cara tukar pikiran, tabligh, diskusi-diskusi keagamaan. Haji Abdul Lathif paman A. Hassan yang juga gurunya pada masa A. Hassan masih kecil, mengingatkan A. Hassan agar tidak melakukan hubungan dengan Faqih Hasyim yang dikatakan telah membawa masalah pertikaian agama di Surabaya, dan dianggap pula oleh pamannya sebagai orang wahabi.
Dalam suatu kunjungannya kepada Kiyai Haji Abdul Wahab, yang kemudian menjadi seorang tokoh Nahdatul Ulama, A. Hassan lebih banyak mendengar tentang pertikaian kaum muda dengan kaum tua. Dalam sebuah percakapan A. Hassan dengan Kiyai Wahab. Kiyai ini mengambil salah satu contoh pertentangan dalam masalah ussalli (pembacaan niat sebelum shalat) yang di peraktekan oleh kaum tua sebelum melakukan shalat sebelum bersuara, tetapi kaum muda menolak karena tidak ada dasarnya dari al-Qur’an dan Hadits Nabi. [3]
Besoknya ia mulai menyelidiki kitab Shahih Bukhari  kemudian Shahih Muslim serta ayat-ayat Al-Quran, tetapi alasan ushalli  tidak ditemukan. Pendiriannya membenarkan kaum muda bertambah tebal.
Dengan demikian maksudnya untuk semata-mata berdagang tidak dapat di pertahankan, bahkan kemudian bergaul rapat dengan Faqih dan golongan muda lainnya. Faqih Hasyim  adalah seorang yang berasal dari Padang dan berdiam di Surabaya kira-kira lima tahun. Sebagaimana pedagang ia acap kali pergi ke Bandung dan pada kesempatan ini pula menyebarkan pendiriannya tentang agama di kota tersebut. Betapa rapatnya hubungan Hassan denga Faqih ini, seorang anaknya yang bernama Noer di pungut oleh Hassan.
Dalam kesempatan bergaul dengan golongan muda itu pula Hassan berkenalan dengan tokoh-tokoh Syarikat Islam, seperti HOS Cokroaminoto, AM Sangaji, Bakrisurotmojo, Wondoaminseno, dan lain-lain.
Urusan daganganya di Surabaya pada akhirnya mengalami kemunduran dan toko yang diurusnya diserahkan kembali pada pamannya.Ia mulai usaha lain dengan membuka perusahaan tambal ban mobil, tetapi tidak lama kemudian tutup. Melihat usaha Hassan tidak mengalami kemajuan yang berarti, dua orang sahabatnya Bibi Wantee dan Muallimin, mengirim A. Hassan untuk mempelajari pertenunan di Kediri kemudian melanjutkan belajarnye ke Bandung.Inilah A. Hassan tinggal pada keluarga Muhammad Yunus, salah seorang pendiri organisasi Persatuan Islam (Persis). Dengan demikian tanpa sengaja A. Hassan telah mendekatkan dirinya pada pusat kegiatan penelaahan dan pengkajian islam dalam jam’iyyah persis.
Ia sangat tertarik dalam masalah keagamaan. Pada akhirnya dia pun tidak lagi berminat mendirikan perusahaan tenunnya di Surabaya, tetapi di Bandung, yang rupanya di setujui oleh kawan-kawannya. Akan tetapi urusan tenun yang didirikan gagal sehingga terpaksa ditutup. Sejak itulah minatnya untuk berusaha tidak ada lagi, malahan kemudian ia mengabdikan dirinya dalam penelaahan dan pengkajian Islam lalu berkiprah secara total dalam jam’iyah Persis.
Untuk menelusuri perubahan sikap A. Hassan dalam agama, tidak mudah untuk disimpulkan apakah terjadinya perubahan itu sejak ia belajar kepada para guru dan ulama ketika masih di Surabaya atau ketika ia bergaul di lingkungan jam’iyyah Persis di Bandung. Namun nampak perubahan ini datang lambat laun karena berbagai hal yang mempengaruhi sikap A. Hassan terhadap agama, antara lain pengaruh keluarga, pengaruh bacaan dan pengaruh pergaulan. Sehingga pada akhirnya ia mempunya dikap keagamaan yang mirip dengan gerakan wahabi.
Sebelum itu, A. Hassan telah sering melakukan kritik-kritik terhadap praktek yang tidak berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah, meskipun tidak sekeras setelah ia berada di Bandung dalam naungan jam’iyyah Persis. Kritik A. Hassan banyak di muat dalam surat kabar Utusan Melayu yang terbit di Singapura. Salah satu kritiknya antara lain mrngungkapkan masalah taqbil atas pengalamannya sendiri.
Sekitar tahun 1917 A. Hassan mempunyai hasrat untuk menulis sebuah buku tentang Islam yang didasarkan ataas al-Quran dan hadits shahih, tetapi ditinggalkannya maksud tersebut ketika ia mengetahui beberapa ajaran Syafi’i berlaawanana dengan studinya tentang Al-quran dan As-Sunnah. Selain itu, ia masih belum berani untuk meninggalkan atau menolak ajaran-ajaran madzhab Syafi’i.[4]

D.    Pengaruh Terhadap Fikiran Hassan
untuk mengatakan bahwa A. Hassan datang di Surabaya sama sekali masih berfahan tua dan baru berubah satelah bertemu dengan Wahab Hasbullah, adalah tidak mutlak banar. Pengaruh perubahan itu lebih tepat bila dikatakan terjadi berangsur-angsur pada dirinya, sungguhpun harus diakui bahwa aadakalanya kejaadian atau saat tertentu dalam hidup seseorang bisa memberi bekas yang mengubah sama sekali jalan fikirannya. Pengaruh-pengaruh yang berbekas pada diri Hassan itu antara lain:
1.      Pengaruh Turunan
Ketika Hassan masih kecil, di Singapura terkenal empat orang yang berasal dari India, yaitu : (a) Thalib Rajab Ali (b) Abdurrahman (c) Jaelani (d) Ahmad, ayah Hassan. Waktu masih kecil Hassan sering melihat ayahnya bila mengantarkan mayat, setelah dikubur, ia langsung pulang tanpa mengikuti ucapan talqin.
Keempat orang itu, di Singapura terkenal berfaham Wahabi, karena tidak membenarkan talqin, ushalli, tahlilan dan lain sebagainya, yang semuanya itu ditentang oleh gerakan Wahabi. [5]
Wahabi adalah suatu istilah yang dinisbatkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1791), seorang ulama yang mengadakan gerakan pemurnian agama Islam, terutama di bidang aqidah. Ia bergerak di daerah Nejed Arabia yang akhirnya berhasil memperoleh dukungan kekuatan dan kekuasaan Ibnu Su’ud. Corak gerakannya amat radikal, menggunakan kekerasan dengan membongkar bangunan-bangunan yang amat di hormati oleh tradisi sebagian ummat islam ketika itu, termasuk mesjiid-mesjid, kuburan Sahabat Nabi dan lain-lain. Berbagai kalangan termasuk sebagian ummat Islam, menganggap gerakan itu menghancurkan nila-nilai tradisi islam[6].
Nama Wahabi asal mulanya diberikan oleh lawan-lawan gerakan itu serta orang-orang Eropa, tetapi akhirnya menjadi istilah yang umum dipakai. Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikut-pengikutnya menamakan gerakan mereka “Muwahhidin” sehubungan dengan perhatian mereka terhadap masalah-maasalah tauhid[7].

2.      Pengaruh Bacaan
Bacaan yang ikut mempengaruhi jalan fikiran Hassan antara lain:
-          Kira-kira tahun 1906-1907, Abdul Ghani, ipar Hassan telah berlangganan majalah Al-Manar yang terbit di Mesir. Hassan pun membacanya meski tidak menguasai isinya.
-          Majalah Al-Imam  yang mula-mula dipimpin oleh Al-Hadi kemudian Thahir Jalaluddin dan akhirnya Abbas. Al-Imam ketika itu termasuk pembawa faham baru. Thahir Jalaludin adalah teman seperjuangan ulama-ulama Minangkabau seperti Abdul Karim Amrullah, Jamil Jambek, Abdullah Ahmad dan lain-lain. Thahir Jalaludin dikenal sebagai pembawa faham baru, dan Hassan pun mendengarnya sebagai seorang yang mengubah agama.
-          Sekitar tahun 1914-1915, Hassan mendapat buku “Kafa’ah, tulisan Ahmad Sukarti yang mengeluarkan fatwa bahwa dengan muslimah boleh kawin tanpa memandang golongan dan derajat.
-          Ketika di Surabaya, sesudah satu setengah tahun diam tanpa memperhatikan soal faham agama, ia melihat buku karangan Ibnu Rasyd “Bidayatul Mujtahid” pada saat bertemu di rumah sahabatnya Bibi Wantee. Buku tersebut dibuka hanya waktu tuan rumah pergi dari rumah mereka berbicara. Buku itu menarik perhatiannya sehingga besoknya ia membeli di toko buku. Ibnu Rasyid dalam bukunya itu membuat perbandingan keempat madzhab fiqih.
-          Bacaan yang berpengaruh ketika ia di Bandung antara lain:
1.      Zadul Ma’ad, karangan Ibnu Qayyim Al-Jauzi
2.      Nailul Authar, karangan Asy-Syaukani
3.      Al-Manar, bagian fatwa.
3.      Pengaruh Pergaulan
a.       Pada waktu di Singapura, selain mendapat pengaruh ayahnya, ia juga bergaul dengan salah seorang guru dari Mesir yang sama-sama mengajar di Sekolah Assegaf. Dalam beberapa kali pertemuan Hassan mencium tangan (tabil) seseorang yang termasuk golonngan sayyid. Pada waktu makan malam di rumah kawannya itu Hassan dicaci-maki karena sikapnya dianggap menghinakan diri terhadap sesama manusia. Hal inni mendorong Hassan menulis dalam “Utusan Melayu” tentang taqbil. Tulisan itu bersifat pertanyaan dengan kesimpulan “apakah soal tersebut tidak merendahkan sesuatu golongan diantara kaum muslimin”. Di samping itu, sekitar tahun 1917 ia bersama Hisyam Yunus (pengarang Warta Melayu) berniat mengarang sebab buku agama yang semata-mata beralasan Al-Quran dan A-Sunnah. Niat ini sampai pada usaha mengatakan persiapan-persiapan tetapi setelah menelaah kitab Shahih Bukhari mereka bertemu beberapa hal yang bertentangan dengan Madzhab Syafi’i, misalnya tentang air musta’mal. Oleh karena mereka tidak berani menentang ajaran Madzhab Syafi’i maka niatnya itu dibatalkan.
b.      Pada waktu di Surabaya, ia bergaul akrab dengan Faqih Hasyim serta menghadiri pertemuan-pertemuan Al-Irsyad di bawah bimbingan Ahmad Surkati.[8]
c.       Pada waktu di Bandung, ia bergaul akrab dengan Muhammad Yunus dan Zamzam, pendiri Persatuan Islam.
E.     Keluarga
Hassan kawin pada tahun 1911 di Singapura dengan seorang peranakan Tamil-Melayu dari keluarga pedagang dan pemegang agama.Orang tersebut bernama Maryam dan dialah satu-satunya istri serta mempunyai tujuh orang anak.Semua anaknya dididik sendiri dalam sekolah Persatuan Islam.Mereka adalah (1) Abdul Qadir, (2) Jamilah, (3) Abdul Hakim, (4) Zulaikha, (5) Ahmad, (6) M. Said, (7) Manshur.[9]
Kiprah A. hassan di Persis sejalan dengan “program jihad” jam’iyyah Persis yang ditujukan terutama pada penyebaran cita-cita dan pemikirannya; yakni menegakan al-Quran dan as-sunnah. Hal ini ia lakukan dengan berbagai aktivitas, antara lain dengan mengadakan tabligh, kursus pendidikan islam bagi generasi muda, mendirikan pesantren, menerbitkan berbagai buku, majalah, dan selebaran-selebaran lainnya. Persis benar-benar mendapat tenaga yang luar biasa dengan keberanian A. Hassan dalam setiap perdebatan, meskipun kadang-kadang berlangsung sangat keras, namun hal ini menyebabkan terbukanya pemikiran kritis dalam menghancurkan taqlid dan kejumudan di kalangan umat Islam.
Masa-masa berikutnya boleh dikatakan perkembangan Persis dengan A. Hassan menjadi identik.Pandangan-pandangannya memberikan bentuk dan kepribadian yang nyata, dan dalam waktu yang bersamaan telah menempatkan Persis dalam barisan “muslim medernis” di Indonesia. A.Hassan dengan Persisnya atau persis dengan A. Hassannya banyak terlibat dalam berbagai pertukaran pikiran,dialog terbuka, perdebatan, serta polemic di berbagai media massa.
Menjelang pendudukan Jepang, pada tahun 1941, A. Hassan terpanggil untuk ke Surabaya.Kepindahannya ke Surabaya diikuti pula oleh sebagian para santrinya dari pesantren Persis Bandung. Di Bangil, kota kecil dekat Surabaya, ia mendirikan pesantren Persis seperti yang pernah dilakukannya di bandung untuk mendidik para santrinya. Di Bangil inilah, di samping kegiatan sehari-harinya sebagai pendidik, perhatian A. Hassan ditumpahkan pada penelitian agama Islam Lngsung dari sumber pokoknya al-Quran dan as-Sunnah. Puncaknya, A. Hassan berhasil menyusun tafsir al-Quran yang diberi judul Al-Furqan yang merupakan tafsir al-Quran pertama di Indonesia yang diterbitkan secara lengkap pertama kali tahun 1956.Selain itu, A. Hassan terus aktif menyampaikan pandangan dan pendiriannya tentang agama Islam dalam berbagai penerbitan, di samping membalas surat-surat dari berbagai pelosok tanah air mengenai masalah-masalah agama.
A. Hassan adalah sosok ulama yang sangat menaruh perhatian terhadap para pemuda Islam yang sedang bersekolah di sekolah-sekolah milik pemerintah colonial Belanda yang sangat kurang memberikan pelajaran agama Islam. A. Hassan menyadari bahwa anak-anak muda yang tengah menuntut ilmu itu adalah calon pemimpin di masaa datang yang perlu dibekali dengan pengetahuan agama yang memadai tekad A. Hassan untuk menarik para pemuda pelajar itu sangat kuat, bagaimanapun sibuknya, ia senantiasa menyempatkan diri untuk berbicara dengan para pemuda pelajar itu.ditundanya pekerjaan yang sedang dikerjakannya, baik sedang mengoreksi buku atau sedang menyusun tafsir, bercakap-cakap dengan para pemuda calon pemimpin ummat, itu dianggapnya lebih penting.
Mohammad Natsir adalah salah seorang yang terlibat dalam proses kaderisasi di bawah pimpinan A. Hassan. Dalam proses kaderisasi itu, kepribadian A. Hassan menampilkan kesan tersendiri bagi murid-muridnya. Dalam tulisannya yang berjudul “Membina Kader Bertanggungjawab” Natsir menuli; “…Kami, beberapa orang pemuda Islam yang berada di sekelilingnya, biasanya setiap sore datang ke rumah beliau.Beliau selalu menyambut kedatangan kami dengan hati terbuka dan serius.Ketika itulah beliau memberikan tuntunan yang berguna, pelajaran akhlak menurut yang dicontohkan Rasulullah SAW.Beliau memperlihatkan rasa dekatnya kepada kami.”
Natsir selanjutnya mengisahkan salah satu contoh dalam proses kaderisasi yang dilakukan A.Hassan dalam hal melatih memberikan reaksi terhadap tantangan yang dilancarkan oleh kelompok non-Islam. Pada suatu hari, surat kabar berbahasa Belanda Algmeen Indisch Dagblad (AID) di Bandung menurunkan tulisan khotbah seorang pendeta bersama Christoffles, isinya menghina Nabi Muhammad SAW. Natsir meminta pandangan A. Hassan tentang perlunya menangkis penghinaan itu, dan bahkan mengharapkan A. Hassan untuk membantahnya. A. Hassan menyatakan keharusan itu, tetapi mengusulkan agar Natsir sendiri yang menulisnya. Setelah selesai, tulisan itu tidak dibawa lagi ke A. Hassan, karena Natsir sudah menduga akan dikembalikan lagi dengan alasan bahwa A. Hassan tidak mengerti bahasa Belanda. Setelah tulisan itu dimuat dalam surat kabar AID, A. Hassan tersenyum dan menyatakan terima kasihnya. Tulisan itu kemudian terbit dalam bentuk risalah berjudul Muhammad als Profeet.
Dari pengalaman seperti ini Natsir menyatakan kesannya sebagai berikut: “…beliau tidak mau menyuapkan sesuatu ibarat makanan kepada kader-kadernya, tetapi haruslah berbuat sendiri dengan penuh tanggung jawab. Semboyannya adalah “bila seorang bayi selalu di pangku saja, dia tidak akan pandai berjalan”.Kalau beliau sudah menyetujui sesuatu, maka hendaklah kita pandai sendiri menyelesaikannya.Beliau mendidik kadernya berani bertanggungjawab dan sanggup berjuang menghadapi masalah-masalah, walaupun bagaimana rumitnya.Inilah yang dinilainya baik bagi angkatan pemuda Islam.Kami, pemuda-pemuda yang berada di dekat beliau selalu disiplin dengan ketat, dan diberi tanggung jawab masing-masing.Jika kami mengajukan suatu masalah agama, beliau tidak menjawabnya langsung, tetapi disuruhnya mencari dalam kitab-kitab yang ada dalam berbagai bahasa, terutama Arab dan Inggris.Saya diberi tugas tertentu, demikian juga Fakhruddin al-Kahiri, Abdurrahman, Qamaruddin Saleh, Isa Anshary, dan lainnya.
Hassan juga adalah orang yang memberikan pencerahan tentang Islam kepada Soekarno.Perkenalannya dengan Bung Karno diawali ketika keduanya sama-sama bertemu di percetakan Djukerij Ecunomy milik orang Cina. Pada waktu itu Soekarno sedang mencetak surat kabar propaganda politiknua, Fikiran Rakyat, sementara A. Hassan mencetak majalah-majalah dan buku-buku yang ia terbitkan. Dalam setiap pertemuannya di percetakan itu, antara keduanya sering terjadi dialog berbagai masalah.Rupanya sejak bergaul dengan A. Hassan, Soekarno yang tadinya kurang memahami betul tentang Islam, sedikit demi sedikit terbuka hatinya.Demikianlah, Soekarno mulai banyak belajar agama Islam kepada A. Hassan meski pada tahap permulaan hanya melalui obrolan di percetakan.Lambat laun Soekarno belajar lebih aktif melalui buku-buku dan majalah-majalah karangan A. Hassan.
Terlebih lagi ketika Soekarno menjalani hukuman pembuangan oleh pemerintah colonial Belanda di Endeh, Flores.Dalam kesepiannya Bung Karno merasa terhibur dengan datangnya kiriman buku-buku dan majalah-majalah dari A. Hassan. Setiap kapal yang merapat di Endeh, selalu membawa kiriman dari Bandung, dari tuan Hassan. Isinya tidak hanya buku dan majalah tetapi juga makanan kegemaran Bung Karno, biji jambu mede. Sejak di Endeh flores itulah, Soekarno mengakui A. Hassan sebagai gurunya dalam hal agama. Lihatlah beberapa surat yang dikirimkannya kepada A. Hassan yang terdapat dalam buku karangan Soekarno “Dibawah Bendera Revolusi” dalam satu bab khusus “Surat-surat Islam Dari Endeh; Dari Ir. Soekarno kepada Tuan Hassan, guru “Pesantren Islam”.
Surat-surat Islam dari Ir. Soekarno  kepada A. Hassan dapat menjadi saksi begitu dekatnya Soekarno dengan A. Hassan, meskipun sebelumnya terjadi polemic yang berkepanjangan tentang Island an faham kebangsaan. Dalam tulisan-tulisannya di majalah Pembela Islam, A. Hassan selalu menghantam kaum nasionalis netral agama di bawah pimpinan Soekarno dan kawan-kawannya. Hal ini terbukti ketika Soekarno berada di  dalam penjara Sukamiskin, A. Hassan dan kaum pembela Islam rajin menjenguknya dan memberukan buku-buku bacaan dalam penjara itu. Inilah satu hal yang istimewa dalam diri A. Hassan.Beliau menganggap Soekarno adalah lawannya, dan Soekarno tak pernah mendapat pijian dari padanya tentang gerakan dan cita-cita nasionalismenya, kecuali hanya kritik dan hantaman tajam.Tetapi, ketika Soekarno berada I pembuangannya di Endeh, A. Hassan memperlihatkan kebersihan hati dan jiwanya; A. Hassan beranggapan bahwa Soekarno adalah seorang muallaf yang perlu diberi bimbingan ruh batiniahnya dengan keislaman.Ia menganggap Soekarno adalah kawannya yang selalu ditentangnya, kawan yang selalu menjadi lawan polemic dan kritik. Dalam hal ini tepatlah jika Tamar Djaja mengistilahkan A. Hassan dengan perumpamaan “Singa dalam tulisan, tapi domba dalam pergaulan”.
Pada hari senin, tanggal 10 Nopember 1958 di rumah Sakit Karangmenjanga (Rumah Sakit Dr. Soetomo), Surabaya, A. Hassan berpulang ke Rahmatullah dalam usia 71 tahun. Ulama besar yang dikenal dengan A. Hassan Bandung (ketika masih di Bandung) atau A. Hassan Bangil (sejak bermukim di Bangil) telah menorehkan sejarah baru dala gerakan pemurnian ajaran Islam di Indonesia dengan ketegasan, keberanian, dan kegigihannya dalam menegakkan al-Quran dan as-Sunnah meski kadan disampaikannya dengan pemikiran yang radikal. Dengan ciri-ciri seperti ini tepat sekali ketika Syafiq A. Mughni (1980) memberi judul bukunya tentang A. Hassan dengan judul Hassan bandung. Pemikiran Islam Radikal.























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ustadz Ahmad Hassan, untuk selanjutnya disebut dengan A. Hassan, lahir di Singapura para tahun 1887, berasal dari ekeluarga campuran Indonesia dan India. Ayahnya bernama Sinna Vappu Maricar dan ibunya bernama Muznah. Hassan menikah  pada tahun 1911 di Singapura dengan seorang peranakan Tamil-Melayu dari keluarga pedagang dan pemegang agama. Orang tersebut bernama Maryam dan dialah satu-satunya istri serta mempunyai tujuh orang anak.Semua anaknya dididik sendiri dalam sekolah Persatuan Islam.Mereka adalah (1) Abdul Qadir, (2) Jamilah, (3) Abdul Hakim, (4) Zulaikha, (5) Ahmad, (6) M. Said, (7) Manshur.
Sekitar umur tujuh tahun, Hassan belajar Al-Quran dan agama. Setelah itu ia masuk ke sekolah Melayu. Disini, ia belajar bahasa Arab, Melayu, Tmil dan Inggris. Hassan tidak pernah menamatkan sekolah dasarnya di Singapura.Pada masa kecil pula Hassan bekerja sebagai tukang, serta membantu ayahnya dalam percetakan. Setelah menginjak umur remaja ia menjadi pelayan toko, kemudian dagang permata, minyak wangi, es, vulkanisir ban mobil dan kira-kira setahun bekerja sebagai kerani Jiddan Pilgrim’s Office, yaitu sebuah kantor yang didirikan oleh Mansfield dan Assegaf yang mengurus perjalanan haji.
Dan adapun mengenai Pengaruh terhadap pemikiran A Hasan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu keturunan, Bacaan dan pergaulan







[1] Deliar Noer, Riwayat Hidup Hassan, (Bangil: Pesantren Persatuan Islam Bangil Bagian Putera, tt), hal. 1
[2] Dr. Syafiq A. Mugni, M.A., PhD, Hassan Bandung Pemikiran Islam Radikal,  hal. 12
[3]Panduan Hidup Berjamaan di Jm’iyah Persis
[4]Panduan Hidup Berjamaah di Jam’iyah Persisi, hal. 120
[5]Delian Noer, hal. 9
[6] A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam (Djakarta: Djaja mumi, 1967), hal. 145-146
[7]Ahmad Amin, Zu’ama’ul Ishlah Fil ‘Ashril Hadits (Kairo: Maktabah Nahdlah Mishriyyah, 1965), hal. 10.
[8]Bisri Affandi, “Shhaykh Ahmad Century” (Tesis MA yang tak diterbitkan, institute of Islamic Studies Mc. Gill University, Montreal, 1976), hal. 62
[9]Abdul Qodir Hassan, Kepala Pesantren Persis Bangil, wawancara, Bangil, 20 Mei 1978

Tidak ada komentar:

Posting Komentar