BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam sejarah tercatat bahwa sebelum
sampai di Indonesia, ajaran islam telah melewati pusat-pusat agama kultur
seperti Persia, India dan Cina. Bahkan, ketika sampai di Indonesia, penduduknya
telah menganut beragam agama dan kepercayaan, seperti animisme, dinamisme,
Hindu dan mistisisme lainnya. interaksi dan pergaulan antara pembawa ajaran
islam dengan penduduk yang didatangi itu menimbulkan saling mempengaruhi, dan
pada gilirannya ajaran islam menjadi ter-iltibas oleh nilai-nilai
kultur, baik dalam bidang akidah, ibadah, maupun mua’amalah. Timbulah syirik,
bid’ah, takhayul, khurafat, dan munkarat lainnya.[1]
Persatuan Islam
adalah sebuah Ormas yang hadir di tengah-tengah masyarakat pada saat itu,
sebagai jawaban atas tantangan dari kondisi umat islam yang tenggelam dalam
kejumudan berfikir,terperosok ke dalam kehidupan mistisisme, tumbuh suburnya khurafat,
bid’ah, takhayul dan syirik, serta umat islam terbelenggu oleh
penjajahan kolonial belanda yang berusaha memadamkan cahaya islam.[2]
A.Hassan dipandang sebagai guru
utama Persis yang telah memberikan dasar-dasar doktrinal pada masa awal
berdirinya Persis. Sedangkan M.Natsir merupakan peletak dasar organisasi
“Modern” yang kontribusi pemikirannya tidak hanya terhadap jam’iyyah Persis,
tetapi juga terhadap bangsa dan negara baik dalam lingkup nasional maupun
internasional. Isa Anshary yang tampil sebagai Ketua Umum Persis (1948-1960),
merupakan sosok yang berhasil menata kembali jam’iyyah persis dari puing-puing
keruntuhan yang disebabkan oleh penjajahan Jepang yang melarang aktivitas
seluruh organisasi Islam. Adapun ust. Latif Muchtar adalah generasi penerus
kepemimpinan Ustd Abdurrahman di penghujung abad ke-20. Beliau dikenal dngan
berbagai pemikiran yang cenderung mengarah pada era keterbukaan.[3]
Berbicara tentang
organisasi Persis dan tokoh-tokoh Persis sangat menarik sekali untuk disimak dan
dibahas lebih mendalam , tentang pola pemikiran para tokoh yang berpengaruh
dalam organisasi Persis, juga tentang Wijhah dakwah nya, serta yang saat ini berkembang
yaitu dalam bidang Pendidikan, maka dari itu penulis akan mencoba membahas
tentang” Wijhah Dakwah Persis dan Pendidikan Kontemporer”
B.
Rumusan
Masalah
a.
Bagaimana
Pola Pemikiran Tokoh-tokoh persis?
b.
Bagaimana
Wijhah Dakwah Persis?
c.
Bagaimana
Pendidikan Persis Kontemporer?
C.
Rumusan
Tujuan
a.
Untuk
Mengetahui Bagaimana Pola Pemikiran Tokoh-tokoh persis.
b.
Untuk
Mengetahui Bagaimana Wijhah Dakwah Persis.
c.
Untuk
Mengetahui Bagaimana Pendidikan Persis Kontemporer.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pola Pemikiran Tokoh-tokoh Persis
a)
A.Hassan:
Guru Utama Persis
Menurut Dadan Wildan dalam bukunya yang berjudul “Yang Dai Yang
Politikus” beliau mengatakan bahwa untuk menelusuri perubahan sikap A.Hassan
dalam agama, sukar disimpulkan. Apakah perubahannya itu terjadi di Surabaya
atau di Bandung? Namun, tampaknya perubahan ini terjadi secara bertahap.
Seperti pengaruh keluarga, pengaruh bacaan, dan pengaruh pergaulan.
Selama
di Bandung A.Hassan sering mengikuti pengajian-pegajian dalam lingkungan
Persis. Yang pada akhirnya ia memasuki organisasi Persis pada tahun 1926, tiga
tahun setelah organisasi itu berdiri -Persis berdiri pada tanggal 26 September
1923-. A.Hassan masuk Persis sebenarnya bukan karena ia tertarik dengan
paham-paham Persis, karena justru dialah yang membawa Persis menjadi gerakan
ishlah. Ia sadar bahwa pemikirannya harus dituangkan dalam sebuah
gerakan agar bisa berkembang secara efektif. Maka nampaklah gabungan antara
watak A.Hassan yang tajam dalam berpikir dan ciri Persis yang Keras. Hasilnya,
sebuah gerakan tajdid yang cepat meluas. Dia telah membawa Persis
menjadi organisasi pembaharu yang terkenal tegas dalam masalah-masalah
fiqhiyyah. Di tangannyalah, Persis tampil dengan corak dan warna baru dalam
gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia.
Kiprah A.Hassan
di Persis sejalan dengan “program jihad” jam’iyyah Persis yang ditujukan
terutama pada penyebaran cita-cita dan pemikirannya. Yakni menegakkan Al-Quran
dan Sunnah. Hal tersebut ia lakukan dengan berbagai aktifitas, antara lain dengan
mengadakan tablig-tablig, menyelenggarakan kursus pendidikan Islam bagi
generasi muda, mendirikan pesantren, menerbitkan berbagai buku, majalah, dan
selebaran-selebaran lainnya.Persis benar-benar mendapat tenaga yang luar biasa
dengan keberanian A. Hassan dalam setiap perdebatan, meskipun kadang-kadang
berlangsung sangat keras, namun hal ini menyebabkan terbukanya pemikiran kritis
dalam menghancurkan taqlid dan kejumudan di kalangan umat Islam.
Masa-masa
berikutnya boleh dikatakan perkembangan Persis dengan A. Hassan menjadi identik.
Pandangan-pandangannya memberikan bentuk dan kepribadian yang nyata, dan
dalam waktu yang bersamaan telah menempatkan Persis dalam barisan “muslim modernis”
di Indonesia. A.Hassan dengan Persisnya atau persis dengan A. Hassannya banyak
terlibat dalam berbagai pertukaran pikiran, dialog terbuka, perdebatan, serta
polemik di berbagai media massa.[4]
b)
Mohammad
Natsir: Ulama Politikus
Menurut Dadan Wildan pula dalam bukunya yang berjudul “Yang Dai
Yang Politikus” beliau mengatakan bahwa Muhammad Natsir ini adalah salah
satu dari murid-muridnya A.Hassan yang sering datang ke rumahnya A.Hassan untuk
bertanya dan membahas soal-soal agama Islam. Natsir ini adalah orang yang
terlibat dalam proses kaderisasi di bawah bimbingan A.Hassan.
Oleh karena Natsir ini adalah muridnya A.Hassan, maka ia pun banyak
pula melahirkan karya-karya tulisan. Dalam berbagai tulisannya, Natsir
menempatkan Islam tidak semata-mata suatu agama, tetapi juga suatu “pandangan
hidup” yang meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
Baginya, Islam adalah sumber perjuangan, sumber penentangan terhadap segala
bentuk penjajahan, eksploitasi manusia atas manusia, sumber pemberantasan
kebodohan dan kejahilan, sumber pemberantasan kedewaan, juga sumber
pemberantasan kemelaratan dan kemiskinan. Dalam pandangannya, Islam tidak
memisahkan antara keagamaan dan kenegaraan. Islam adalah primer.
Sebagai seorang ulama yang terjun di bidang politik, Kegiatan
politik Muhammad Natsir menonjol sesudah dibukanya kesempatan mendirikan partai
politik pada bulan November 1945. Bahkan ia pun penah menjabat sebagi menteri
penerangan pada KabinetSyahrir I dan II
(1946-1947) dandalamkabinetHatta 1948.[5]
c)
KH.
E. Abdurrahman:
Peran, kedudukan, dan aktivitas K.H. E. Abdurahman dalam konteks sejarah pembaharuan Islam di
Indonesia, baik dalam kedudukannya sebagai pemikir, pendakwah maupun pelanjut
gerakan tajdid dalam jam’iyyah persis, telah memberi warna tersendiri. Ia
tampil sebagai sosok ulama rendah hati, berwibawa, dan berwawasan luas. Dengan
gaya kepimimpinan yang luwes, ia telah membawa persis pada garis perjuangan
yang berbeda: tampil low profile, dengan pendekatan persuasif edukatif,
tanpa keras namun tetap teguh dalam prinsip berdasarkan Al-Quran dan
Sunnah.
Ustad Abdurahman dikenal sebagai seorang ulama besar, ahli hukum
yang tawadlu. Ia tidak ingin disanjung sehingga tidak banyak dikenal umum.
Penghargaannya terhadap waktu sangat luar biasa. Ia menghabisakan waktunya
menelaah kitab-kitab, mengajar di pesantren, dan hampir setiap malam mengisi
berbagai pengajian.
Dalam penilaian Mohammad Natsir, ustad Abdurahman mempunyai
kelebihan dalam hal kecermatannya ketika menetapkan hukum dari ijtihadnya,
dengan landasan dalil yang selalu kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Menurutnya ulama seperti ini termasuk langka, bahkan jarang ditemui, bahkan di
luar negri sekalipun.
Dalam aktivitas organisasi di jamiyyah persis, ustad Abdurahman
menunjukan sikap loyal. Ia
aktif sebagai anggota persis sejak tahun 1934. Jabatan dalam jamiyyah yang
pertama kali dipegangnya adalah ketua bagian tabligh dan pendidikan pada tahun
1952. Pada tahun 1953 (pada muktamar persis di Bandung) ustad Abdurahman
terpilih sebagai sekretaris umum pusat pimpinan persis, mendampingi K.H.
Mohammad Isa Anshary sebagai ketua umum.
Pasca mukhtamar VII persis, pada tahun 1962, ustad Abdurrahman
terpilih sebagai ketua umum pusat pimpinan Persis melalui referendum. Periode
kepemimpinan ustad Abdurahman ini merupakan periode kepemimpinan persis ketiga
setelah berakhirnya kepemimipinan K.H. Mohammad Isa Anshary. Periode
kepemimpinan Persis ketiga ini merupakan regerenasi kepemimpinan dari generasi
pertama Persis ke eksponen Pemuda Persis yang merupakan organisasi otonom
persis, tempat pembentukan kader-kader persis. Tampilnya KH.E. Abdurrahman,
Eman sar’an, rusyad nurdin, dan E. Bachrum yang merupakan mantan pimpinan
pemuda persis periode awal, membuktikan adanya pewarisan tongkat estafet
kepemimpinan kepada kelompok muda dari organisasi otonom persis.
Berbagai
persoalan mulai muncul pada masa kepemimpinan ustad abdurahman. Namun masalah
yang paling mendasar adalah bagaimana mempertaruhkan eksistensi persis ditengah
gejolak sosial politik yang tidak menentu. Jihad perjuangan persis dihadapkan
pada masalah-masalah pada politik yang beragam. Pembubaran masyumi oleh
soekarno karena dianggap kontra revolusi, dan lepasnya persis sebagai anggota
istimewa Masyumi, serta ancaman akan dibubarkannya Persis oleh pemerintahan
Orde Lama karena tidak memasukan Nasakom dalam Qanun Asasi Persis, sampai pada
meletusnya G.30 S/PKI merupakan masalah politis yang dihadapi pada masa awal
kepemimpinan ustad Abdurahman.
Pada masa kepemimpinan ustad Abdurahman, permaslahan
interen organisasi pun berkembang, terutama setelah terjadinya G.30 S/PKI,
karena ada anggota anggota yang diragukan ittikad baiknya dalam organisasi Persis.
Pengawasan ketat dilakukan. Selain menghendaki dan mengutamakan kualitas
pelaksanaan, pengalaman ajaran agama yang berdasarkan ajaran Al-Quran dan
Sunnah, Persis juga mengutamakan kualitas pelaksanaan disiplin organisasi yang
berdasarkan qanun asasi dan qanun dakhili (anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga), peraturan-peraturan, tausiyyah, dan seperangkat tata kerja yang
berlaku dalam organisasi. Meskipun kuantitas tidak diabaikan, ada suatu kekhawatiran
jika jumlah yang banyak hanya menambah beban, seperti buih, tidak memberi
manfaat sebagaimana yang diharapkan, bahkan sebaliknya malah mendatangkan
madarat bagi keutuhan dan tegaknya jamiyyah.
Pengawasan
yang ketat inilah yang menjadi ciri khas kepemimpinan ustad Abdurrahman. Hal
itu dilatarbelakangi oleh adanya pemalsuan nama organisasi Persis untuk
keuntungan pribadi, selain karena terputusnya hubungan antara pusat pimpinan
persis dengan cabang-cabang yang ada di sumatera, kalimantan, dan sulawesi
akibat peristiwa G.30S/PKI. Sebagai perbandingan, tahun 1964 terdapat 63 cabang
dengan jumlah anggota 7.173 pada tahun 1967 turun menjadi 56 cabang dengan
jumlah 4.455 anggota, dan pada tahun 1980 terdapat 81 cabang dengan jumlah
angota hanya 3.717 orang. Ini menunjukan adanya perbedaan yang mencolok antara
jumlah cabang dan banyaknya anggota.
Dalam
hal Ini dapat difahami, karena yang menjadi dasar dari ustad abdurahman sebagai
ketua umum pusat pimpinan persis tentang
keangotaan persis berorientasi pada penekanan kualitas bukan kuantitas.
Jika dilihat dari aktifitas organisasinya, pada masa
kepemimpin ustad abdurrahaman, sejak tahun 1962 hingga 1983, menunjukan
kecenderungan pada kegiatan-kegiatan sekitar tabligh dan pendidikan, dari
tingkat pusat hingga ke tingkat cabang. Hal ini tidak lepas dari langkah dan
kebijakan ustad abdurahman. Menurut Mohammad Natsir, ustad Abdurrahaman lebih
banyak mewarnai arah dan perjuangan Persis dan tablig-tablig dan pengembangan lembaga-lembaga pendidiakan
(pesantren), sehingga Persis sebagai organisasi masa tidak memperlihatkan
langkah perjuangannya ke arah politik. Ustad Abdurahman dalam memimpin
organisasi Persis lebih mengorientasikan pada “organisasi agama”, sebab ia
mengambil pola kepemimpinan ulama, bukan political leaders.
Pembaharuan Persis sejak awal hingga kepemimpinan ustad Abdurahman
yang menyangkut praktik-praktik peribadatan tertentu, menerut Federspiel
memberikan sumbangan bagi penguatan pemikiran perilaku kaum muslimin Suni di Indonesia.
Penyampaian khotbah dalam bahasa lokal yang dimaksudkan untuk memperdalam
pengetahuan Islam mengenai agama, yang menjadi target para ulama. Pembaharuan
dalam praktik penguburan bertujuan untuk memisahkan kepercayaan dan praktik Islam
yang mendasar dari adat kebiasaan dan ajaran kuno yang telah menjadi bahan
pertentangan dikalangan ulama selama berabad-abad. Tuntutan untuk membersihkan
upacara keagamaan dari praktik yang sebetulnya tidak diperintahkan dalam
Al-Quran dan Sunnah.
Pesis menyatakan bahwa segala suatu diluar masalah ibadat diizinkan
oleh Islam apabila tidak ada larangan secara khusus. Prinsip seperti ini
ditafsirkan secara luas dalam berbagai bidang, misalnya ekonomi, kedokteran,
dan ilmu pengetahuan modern. Bagi Persis, kitab suci merupakan otoritas final
menyangkut apa yang boleh dan tidak boleh diterima.
Bagaimanapun, persis sejak awal berdirinya hingga berada dibawah
kepemimpinan ustad Abdurahman telah memberikan konstribusi yang cukup besar
dalam gerakan pembaharuan Islam di indonesia. Menurut Federspiel, nilai Persis,
sebagai suatu topik bagi penelitian ilmiah, tidak terletak pada organisasinya,
karena ia kecil dan tidak kukuh juga tidak terletak pada partisipasinya dalam
kehidupan politik Indonesia, karena aktifitasnya bersifat insidental dan
pinggiran bagi arus utama perkembangan
politik. Walaupun peran persis dalam pendidikan agama cukup besar terhadap
perkembangan umat Islam Indonesia, tetapi dalam hal pengaruhnya tidak seberapa
jika dibandingkan dengan organisasi-organisasi lain. Begitu pula, usaha-usaha dalam
melalui penerbitan yang dilakukannya, meskipun cukup berpengaruh pada waktu
itu, sambutan dari pembaca dikalangan masyarakat indonesia secara umum masih
sedikit.
Meskipun demikian, peran Persis penting dikaji karena ia telah
berusaha mendefinisikan Islam yang sebenarnya, baik dalam segi prinsip dasarnya
maupun dalam hal tuntutan perilaku religius
yang tepat bagi umat Islam. Dalam hal ini, karena usahnaya senantiasa
menghadiri berbagai konsep dan generalisasi yang kabur, ia mirip dengan
berbagai konsep gerakan Islam Indonesia lainnya, yakni dalam hal kesamaan
perhatian. Selain itu, peran Persis terasa penting karena telah memberikan
solusi tersendiri bagi persolan besar yang menghadang umat Islam Indonesia abad
20. Semua usaha Persis itu tentu saja tidak terlepas dari peran ulamanya, sejak
didirikannya oleh H.Zamzam dan H. Muhamad Yunus, kemudian dikembangkan dengan
dasar-dasar doktrinal pada masa kepemimpinan Isa Anshary, walaupun akhirnya
melamah pada masa kepemimpinan ustad Abdurahman. Dan nampaknya, pada masa
kepemimpin ustad Abdurahman inilah persis kembali pada garis perjuangannya:
tablig dan pendidikan berdasarkan Al-Quran Dan Sunnah.
Terhadap kepemimpinan ustad Abdurahman ini, Surya Negara pernah
memberikan penilaian: Pertama, ustad
Abdurahman sebagai pemegang amanah, ia telah berusaha menyebrangkan
persis di tengah badai Nasakom dengan gaya dan cara mempertahankan eksistensi
dengan mewujudkan dan melesterikan amanah para pendiri dan pendahulu persis sebagai
organisasi dakwah. Kedua, ustad Abdurahman sebagai “penyelamat” Persis
ia tidak berpartisispasi menerima Nasakom pada masa Orde Lama, padahal
organisasi lain membuka diri tanpa reserve sebagai pendukung Nasakom. Ketiga,
ustad Abdurahman lebih memilih intensifikasi dan konsolidasi ke dalam
organisasi Persis daripada ekstensifikasi yang melemahkan kontrol organisasi. Keempat,
ustad Abdurahman menampilkan sikap kepemimpinan yang istiqamah, mempertahankan
Persis sebagai organisasi dakwah, dan tidak membenarkannya berganti nama atau
busana, ia lebih mengutamakan Persis sebagai organisasi kualitas yang
berpengaruh besar.
Dalam konteks sejarah pembaharuan Islam di Indonesia kepemimpinan ustad
Abdurahman dalam jam’iyyah Persis lebih cenderung memperkuat peran, fungsi, dan
kedudukan Persis sebagai organisasi yang berjaung mengembalikan umat kepada Al-Quran
Dan Sunnah sejak generasi awal melalui pendidikan, dakwah tablig, dan publikasi
atau penerbitan yang terbatas. Nilai Persis memang bukan terletak pada
organisasinya, tetapi pada upaya penyebaran pahamnya; yang diakui atau tidak
telah menembus batas-batas organisasinya sendiri_organisasinya tidak dikenal
luas tetapi pahamnya telah menembus batas-batas kekakuan dan kekaburan
pemahaman keislaman di Indonesia.[6]
B.
Wijhah Dakwah Tokoh-tokoh Persis
Berdasarkan hasil
wawancara kami kepada ustadz Tiar Anwar Bachtiar, wijhah (arah) dakwah
tokoh-tokoh persis dari semenjak A.Hassan sampai sekarang sebenarnya semua
sama, dan tidak mengalami perbedaan/pergeseran. Yaitu untuk mengembangkan Islam
atau lebih tepatnya mengarahkan umat Islam ke arah yang benar sesuai Al-Quran
dan Sunnah. Hanya saja yang berbeda itu adalah dikarenakan situasi tantangan
zaman dari setiap tokoh itu berbeda, maka ada penyikapan yang berbeda pula dari
berbagai tokoh tersebut dikarenakan situasi yang berbeda.
a)
A.Hassan
Di tahun
1920-an ketika zaman Belanda, umat Islam sangat dikekang tidak boleh melakukan
banyak kegiatan, tidak boleh melakukan tindakan politik, tidak boleh mengambil
kebijakan-kebijakan, semua tindak-tanduk umat Islam dikontrol oleh Belanda.
Maka, terjadilah kejumudan pada kondisi umat Islam saat itu. Maka di dalam
kondisi yang seperti itu terjadilah repormasi Islam. Repormasi Islam di sini
sebenarnya bukan merepormasi Islam karena di dalam Islam tidak ada yang namanya
repormasi Islam. Maksud dari repormasi di sini adalah Tajdid (memperbaharui
metode) karena umat jauh dari ilmu, mereka banyak yang tidak paham tentang
ajaran agamanya sendiri. Dan kalaupun ada yang paham tentang ajaran agama itu
elit, artinya hanya segelintir orang saja yang tahu seperti kiai-kiai,
ulama-ulama. Sementara umat Islam pada umumnya mereka dijauhkan dari ajaran
agamanya. Apalagi di dalam kebijakan Belanda itu, kiai-kiai disingkirkan dari
masyarakat, mereka tidak boleh terlalu dekat dengan masyarakat. Belanda
berpendapat bahwa kiai-kiai itu akan membayakan bagi eksistensi mereka.
Berdasarkan pada kondisi zaman yang seperti itu, maka muncullah A.Hassan
yang ingin melakukan sesuatu yang bisa menjawab tantangan zaman dengan cara
menuliskan masalah-masalah agama di dalam majalah, media yang bisa dibaca oleh
masyarakat awam. Karena zaman itu tidak ada majalah yang membahas tentang
fiqih, tafsir, maupun hadits. Dan itulah yang dinamakan sebagai reformasi Islam.Hal
tersebut cukup berhasil bahwa Islam itu bisa lebih dikenal oleh masyarakat
dengan fakta bahwa tumbuh kesadaran dalam umat Islam untuk kembali membela
agamanya. Seperti terbitnya majalah Pembela Islam, Tafsir Al-Furqon,
dsb.
b)
Muhammad
Natsir
Pada tahun
1945, Indonesia merdeka. Belanda pun sudah tidak menguasai lagi Indonesia. Dan
itu artinya tantangan yang dihadapi pun baru lagi. Pada zaman pasca kemerdekaan
ini politik dibuka seluas-luasnya dan orang pun turut pula berbondong-bondong
ke politik. Dikarenakan pada zaman ini politik dibuka seluas-luasnya, maka
tokoh persis yang terkenal/yang muncul itu adalah ia yang aktif di politik
seperti Muhammad Natsir dan Isa Anshary. Karena Persis aktif di politik maka
ada imbasnya juga kepada Persis, misalnya tahun ’48 Persis mengembangkan
cabangnya kemana-mana, padahal kalau dilihat dari sebelumnya Persis itu tidaka
pernah memikirkan untuk membuat cabang-cabang. Karena yang dipikirkan Persis
itu bagaimana memproduksi pikiran. Akan tetapi di zaman politik itu keberadaan
cabang itu menjadi perlu, karena sudah berpikir bagaimana harus menarik masa
sebanyak-banyaknya (banyak pendukung). Pada zaman ini, Persis mulai bergeser
sedikit dari organisasi pemikiran menjadi gerakan masa (Ormas).
c)
KH.
E. Abdurrahman
Ketika masa KH.
E. Abdurrahman, masa yang dihadapi adalah masa Orde Baru. Masa Orde Baru sangat
represif terhadap gerakan-gerakan yang berbau Islam. Jadi Islam itu dikekang
karena hasil dari politik. Oleh karena sebab dikekang, Persis pun tidak lagi
bebas mendakwahkan pemikiranya. Maka pekerjaan KH. E Abdurrahman hanya
mengurusi organisasi saja. Tetapi karena sebab dikekang itu, justru malah menjadi
berkah tersendiri bagi Persis atau bisa dikatakan Persis itu mendapatkan berkah
dari kesulitan. Artinya mendapatkan berkah yang tidak disangka-sangka. Misal:
ketika zaman A.Hassan, pesantren Persis yang dimiliki hanya satu, penerimaan
santrinya pun hanya lima tahun sekali. Tetapi pada zaman KH. E. Abdurrahman,
karena situasi Orde Baru sangat represif, dia hanya tidak menghalangi itu
kepada organisasi yang mengurusi agama saja. Maka KH. E. Abdurrahman
berkonsentrasi mengembangkan pesantren dan dakwah. Pada zaman ini timbul
istilah fokus Persis itu pada pendidikan dan dakwah.
KH. E.
Abdurrahman ini mewarisi dua hal. Pertama, ia mewarisi intelektualnya A.Hassan.
Ia belajar dari A.Hassan itu menulis sampai ia pun menerbitkan majalah Arrisalah.Kedua,
yang diwarisi oleh Kh. E Abdurrahman itu adalah cabang-cabang. Tinggal menata
dan membenahi. Pekerjaan KH. E abdurrahman ini tinggal memantapkan organisasi.
Jadi yang sebenarnya membentuk Persis hingga sampai seperti sekarang ini adalah
Kh. E Abrurrahman. Dan momentnya itu adalah pada Muktamar Muakhkhot di Bandung.
Itulah yang menjadi pertanda Persis itu mulai bangkit.
Selain itu juga
beliau mempunyai kader yang cerdas dan brilian, ia mempunyai ide yang sangat
bagus. Yaitu Latief Muchtar. Latief Muchtar ini menjabat sebagai sekretaris.
Pada tahun ’70-’71-an, KH. E. Abdurrahman ini sangat terbantu sekali di dalam
mengembangkan organisasi, karena Latief Muchtar inilah yang menjadi seorang
aktifis yang sesungguhnya. Kalau diibaratkan KH. E Abdurrahman itu ulama, maka Latief
Muchtar lah yang menjadi aktifisnya.
Maka setelah
KH. E Abdurrahman meninggal. Kepemimpinan jatuh kepada Latief Muchtar dan
sebenarnya Latief Muchtar pun hanya melanjutkan pekerjaan KH.E Abdurrahman itu.
Seperti ekspansi cabang-cabang, sekolah diperbanyak sampai pada akhirnya
sekolah Persis ada di mana-mana.
Setelah Latief
Muchtar kepemimpinan dilanjutkan oleh Shiddiq Amin. dan ustad Shiddiq pun hanya
melanjutkan. perbedaannya pada zaman ustad Shiddiq itu ia menhadapi Zaman Repormasi.
Zaman Repormasi ini zaman bebas lagi, hal tersebut yang menyebabkan Persis
ketarik lagi ke politik. Berbeda halnya pada zaman Orde Baru yang tidak boleh
berpolitik, karena kalau ada yang berpolitik pasti semuanya akan berurusan
dengan pengadilan. [7]
C.
Pendidikan Persis Kontemporer
Pendidikan
Persis dulu dan sekarang itu perbedaannya adalah dari segi kuantitasnya saja.
Kalau dahulu lembaganya hanya satu, sekarang itu sudah banyak. Ada pun dari
segi kurikulum, sebenarnya yang dilakukan Persis itu adalah membuat revolusi
yaitu mencoba ingin santri itu jangan hanya tahu kitab saja. menjembatani
antara pendidikan Barat dan pesanten kobong. Maka sejak pertama didirikan
Pesantren Persis tahun 1936, maka dasar dari komposisi kurikulum, pelajarannya adalah
80 % pelajaran agama, 20 % pelajaran umum. Bahkan Pendis (Pendidikan Islam) pun
“sekolah umum” komposisi kurikulum pelajarannya 70 % pelajaran agama, 30 %
pelajaran umum.
Kemudian yang
menjadi kekurangan atau berubah belakangan sampai tahun 2000-an dari Pesantern
Persis itu adalah SDM (sumber daya manusia). Penyebabnya adalah kuantitas
pesantren persis semakin banyak, SDM pun dibutuhkan banyak. Oleh karena
pesantren itu harus terus berjalan, SDM tidak ada, yang pada akhirnya dengan
kondisi seadanya pula. Jadi yang menjadi problem itu adalah guru, maksudnya
antara guru dengan bidang studi yang diampu itu terkadang tidak sesuai, seperti
harus mengajar tafsir-hadits tapi guru tersebut tidak bisa bahasa Arab, makanya
terpaksa harus menggunakan buku-buku terjemahan bahkan sampai menggunakan
buku-buku yang terbitan dari DePag.
Hal tersebutlah
yang menyebabkan degradasi. Karena semangat mengembangkan pesantren tidak
diimbangi dengan semangat penyiapan SDMnya yang terkontrol sehingga bisa terus
mengajar sesuai dengan keahlian guru tersebut. Itulah yang menyebabkan
penurunan kualitas, sebab murid itu tergantung dari guru. Kalau gurunya bagus,
murid pun akan bagus. Tetapi kalau sebaliknya, mungkin hal itu pula yang akan
terjadi pada muridnya.
Kalau berbicara
mengenai perbaikan kualitas, yang pertama harus diperbaiki itu adalah SDM. Dan
nantinya baik materi pelajaran ataupun kurikulum itu akan mengikuti. Seperti
dalam rumus pendidikan yang mengatakan “Guru itu lebih penting dari pada materi
pelajaran”, sebab materi pelajaran itu semua tergantung gurunya. Sebab guru itu
ia yang akan mengarahkan murid akan dibawa kemana. Jadi central perubahan murid
itu ada di guru.[8]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
a.
Setiap
kepala dan setiap jiwa pasti memiliki pemikiran serta watak yang berbeda-beda.
Begitu halnya dengan beberapa tokoh Persis seperti A. Hassan, M.Natsir, Isa
Anshary, KHE. Abdurrahman dll. A. Hassan sebagai guru utama persis yang
melahirkan M.Natsir, Isa Anshary, KHE. Abdurrahman, dll. telah memberikan
banyak kontribusi terhadap Persis, dan memberikan corak tersendiri terhadap Persis. M.Natsir dan Isa Anshary yang
terjun dalam bidang Politik pun membuat Persis semakin dikenal luas. KHE
Abdurrahman yang mengembalikan Persis kepada wajah aslinya sebagai gerakan keagamaan. Adapun setelah masa KHE Abdurrahman,
Persis kembali menjadi bebas karena kembali membuka ruang politik.
b.
Berkaca
pada latar belakang pendirian Persis adalah untuk memberantas kejumudan
berfikir,membasmi TBC, dll. Dakwah itu pada dasarnya memiliki tujuan yang sama,
hanya saja tantangan yang berbeda, serta pasti membutuhkan solusi dan penanganan
yang berbeda. Setiap tokoh dalam Ormas Persis memiliki tantangan berbeda yang
tentunya harus disikapi secara berbeda pula. Dan hingga saat ini Persis
terlihat masih konsisten terhadap gerakan dalam bidang keagamaan hanya saja ada
beberapa kepemimpinan yang membuat persis seakan terbuka bukan hanya dalam
bidang agama saja tetapi dalam bidang politik juga.
c.
Lembaga
pendidikan Persis saat ini sudah semakin banyak, ini berarti Pesantren Persis
sudah berhasil dalam meningkatkan kuantitas dan mengambil hati masyarakat.Tapi,semangat
mengembangkan pesantren tidak diimbangi dengan semangat penyiapan SDMnya yang
terkontrol sehingga bisa terus mengajar sesuai dengan keahlian guru tersebut.
Itulah yang menyebabkan penurunan kualitas, sebab murid itu tergantung dari
guru. Kalau gurunya bagus, murid pun akan bagus. Tetapi kalau sebaliknya,
mungkin hal itu pula yang akan terjadi pada muridnya.
[1] Sambutan
ketua Umum PP Persis, Drs. KH. Shiddiq Amien, dalam buku “ Yang Da’i Yang
Politikus” karya Drs. Dadan Wildan, M.Hum
[2] “Panduan
Hidup Berjama’ah dalam Jam’iyyah Persis “, hal. 101
[3] “ Yang
Da’i Yang Politikus” karya Drs. Dadan Wildan, M.Hum
[4] Yang Dai
Yang Politikus. Hlm: 25-30
[5] Yang Dai
Yang Politikus. Hlm:53-79
[6]Yang Dai
Yang Politikus. Hlm: 121-138
[7]
Penuturan ustad Tiar Anwar Bactiar, S. Sos. I., M. Hum
[8]
Penuturan ustad Tiar Anwar Bactiar, S. Sos. I., M. Hum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar