Kamis, 21 Mei 2015

Makalah Wijhah Dakwah PERSIS



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah tercatat bahwa sebelum sampai di Indonesia, ajaran islam telah melewati pusat-pusat agama kultur seperti Persia, India dan Cina. Bahkan, ketika sampai di Indonesia, penduduknya telah menganut beragam agama dan kepercayaan, seperti animisme, dinamisme, Hindu dan mistisisme lainnya. interaksi dan pergaulan antara pembawa ajaran islam dengan penduduk yang didatangi itu menimbulkan saling mempengaruhi, dan pada gilirannya ajaran islam menjadi ter-iltibas oleh nilai-nilai kultur, baik dalam bidang akidah, ibadah, maupun mua’amalah. Timbulah syirik, bid’ah, takhayul, khurafat, dan munkarat lainnya.[1]
            Persatuan Islam adalah sebuah Ormas yang hadir di tengah-tengah masyarakat pada saat itu, sebagai jawaban atas tantangan dari kondisi umat islam yang tenggelam dalam kejumudan berfikir,terperosok ke dalam kehidupan mistisisme, tumbuh suburnya khurafat, bid’ah, takhayul dan syirik, serta umat islam terbelenggu oleh penjajahan kolonial belanda yang berusaha memadamkan cahaya islam.[2]
A.Hassan dipandang sebagai guru utama Persis yang telah memberikan dasar-dasar doktrinal pada masa awal berdirinya Persis. Sedangkan M.Natsir merupakan peletak dasar organisasi “Modern” yang kontribusi pemikirannya tidak hanya terhadap jam’iyyah Persis, tetapi juga terhadap bangsa dan negara baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Isa Anshary yang tampil sebagai Ketua Umum Persis (1948-1960), merupakan sosok yang berhasil menata kembali jam’iyyah persis dari puing-puing keruntuhan yang disebabkan oleh penjajahan Jepang yang melarang aktivitas seluruh organisasi Islam. Adapun ust. Latif Muchtar adalah generasi penerus kepemimpinan Ustd Abdurrahman di penghujung abad ke-20. Beliau dikenal dngan berbagai pemikiran yang cenderung mengarah pada era keterbukaan.[3]
            Berbicara tentang organisasi Persis dan tokoh-tokoh Persis  sangat menarik sekali untuk disimak dan dibahas lebih mendalam , tentang pola pemikiran para tokoh yang berpengaruh dalam organisasi Persis, juga tentang Wijhah dakwah nya, serta yang saat ini berkembang yaitu dalam bidang Pendidikan, maka dari itu penulis akan mencoba membahas tentang” Wijhah Dakwah Persis dan Pendidikan Kontemporer”
B.     Rumusan Masalah
a.    Bagaimana Pola Pemikiran Tokoh-tokoh persis?
b.    Bagaimana Wijhah Dakwah Persis?
c.    Bagaimana Pendidikan Persis Kontemporer?
C.     Rumusan Tujuan
a.    Untuk Mengetahui Bagaimana Pola Pemikiran Tokoh-tokoh persis.
b.   Untuk Mengetahui Bagaimana Wijhah Dakwah Persis.
c.    Untuk Mengetahui Bagaimana Pendidikan Persis Kontemporer.









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pola Pemikiran Tokoh-tokoh Persis
a)      A.Hassan: Guru Utama Persis
Menurut Dadan Wildan dalam bukunya yang berjudul “Yang Dai Yang Politikus” beliau mengatakan bahwa untuk menelusuri perubahan sikap A.Hassan dalam agama, sukar disimpulkan. Apakah perubahannya itu terjadi di Surabaya atau di Bandung? Namun, tampaknya perubahan ini terjadi secara bertahap. Seperti pengaruh keluarga, pengaruh bacaan, dan pengaruh pergaulan.
Selama di Bandung A.Hassan sering mengikuti pengajian-pegajian dalam lingkungan Persis. Yang pada akhirnya ia memasuki organisasi Persis pada tahun 1926, tiga tahun setelah organisasi itu berdiri -Persis berdiri pada tanggal 26 September 1923-. A.Hassan masuk Persis sebenarnya bukan karena ia tertarik dengan paham-paham Persis, karena justru dialah yang membawa Persis menjadi gerakan ishlah. Ia sadar bahwa pemikirannya harus dituangkan dalam sebuah gerakan agar bisa berkembang secara efektif. Maka nampaklah gabungan antara watak A.Hassan yang tajam dalam berpikir dan ciri Persis yang Keras. Hasilnya, sebuah gerakan tajdid yang cepat meluas. Dia telah membawa Persis menjadi organisasi pembaharu yang terkenal tegas dalam masalah-masalah fiqhiyyah. Di tangannyalah, Persis tampil dengan corak dan warna baru dalam gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia.
Kiprah A.Hassan di Persis sejalan dengan “program jihad” jam’iyyah Persis yang ditujukan terutama pada penyebaran cita-cita dan pemikirannya. Yakni menegakkan Al-Quran dan Sunnah. Hal tersebut ia lakukan dengan berbagai aktifitas, antara lain dengan mengadakan tablig-tablig, menyelenggarakan kursus pendidikan Islam bagi generasi muda, mendirikan pesantren, menerbitkan berbagai buku, majalah, dan selebaran-selebaran lainnya.Persis benar-benar mendapat tenaga yang luar biasa dengan keberanian A. Hassan dalam setiap perdebatan, meskipun kadang-kadang berlangsung sangat keras, namun hal ini menyebabkan terbukanya pemikiran kritis dalam menghancurkan taqlid dan kejumudan di kalangan umat Islam.
Masa-masa berikutnya boleh dikatakan perkembangan Persis dengan A. Hassan menjadi identik. Pandangan-pandangannya memberikan bentuk dan kepribadian yang nyata, dan dalam waktu yang bersamaan telah menempatkan Persis dalam barisan “muslim modernis” di Indonesia. A.Hassan dengan Persisnya atau persis dengan A. Hassannya banyak terlibat dalam berbagai pertukaran pikiran, dialog terbuka, perdebatan, serta polemik di berbagai media massa.[4]
b)      Mohammad Natsir: Ulama Politikus
Menurut Dadan Wildan pula dalam bukunya yang berjudul “Yang Dai Yang Politikus” beliau mengatakan bahwa Muhammad Natsir ini adalah salah satu dari murid-muridnya A.Hassan yang sering datang ke rumahnya A.Hassan untuk bertanya dan membahas soal-soal agama Islam. Natsir ini adalah orang yang terlibat dalam proses kaderisasi di bawah bimbingan A.Hassan.
Oleh karena Natsir ini adalah muridnya A.Hassan, maka ia pun banyak pula melahirkan karya-karya tulisan. Dalam berbagai tulisannya, Natsir menempatkan Islam tidak semata-mata suatu agama, tetapi juga suatu “pandangan hidup” yang meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Baginya, Islam adalah sumber perjuangan, sumber penentangan terhadap segala bentuk penjajahan, eksploitasi manusia atas manusia, sumber pemberantasan kebodohan dan kejahilan, sumber pemberantasan kedewaan, juga sumber pemberantasan kemelaratan dan kemiskinan. Dalam pandangannya, Islam tidak memisahkan antara keagamaan dan kenegaraan. Islam adalah primer.
Sebagai seorang ulama yang terjun di bidang politik, Kegiatan politik Muhammad Natsir menonjol sesudah dibukanya kesempatan mendirikan partai politik pada bulan November 1945. Bahkan ia pun penah menjabat sebagi menteri penerangan pada KabinetSyahrir I dan II (1946-1947) dandalamkabinetHatta 1948.[5]

c)      KH. E. Abdurrahman:
Peran, kedudukan, dan aktivitas K.H. E. Abdurahman  dalam konteks sejarah pembaharuan Islam di Indonesia, baik dalam kedudukannya sebagai pemikir, pendakwah maupun pelanjut gerakan tajdid dalam jam’iyyah persis, telah memberi warna tersendiri. Ia tampil sebagai sosok ulama rendah hati, berwibawa, dan berwawasan luas. Dengan gaya kepimimpinan yang luwes, ia telah membawa persis pada garis perjuangan yang berbeda: tampil low profile, dengan pendekatan persuasif edukatif, tanpa keras namun tetap teguh dalam prinsip berdasarkan Al-Quran dan Sunnah. 
Ustad Abdurahman dikenal sebagai seorang ulama besar, ahli hukum yang tawadlu. Ia tidak ingin disanjung sehingga tidak banyak dikenal umum. Penghargaannya terhadap waktu sangat luar biasa. Ia menghabisakan waktunya menelaah kitab-kitab, mengajar di pesantren, dan hampir setiap malam mengisi berbagai pengajian.
Dalam penilaian Mohammad Natsir, ustad Abdurahman mempunyai kelebihan dalam hal kecermatannya ketika menetapkan hukum dari ijtihadnya, dengan landasan dalil yang selalu kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Menurutnya ulama seperti ini termasuk langka, bahkan jarang ditemui, bahkan di luar negri sekalipun.
Dalam aktivitas organisasi di jamiyyah persis, ustad Abdurahman menunjukan sikap loyal. Ia aktif sebagai anggota persis sejak tahun 1934. Jabatan dalam jamiyyah yang pertama kali dipegangnya adalah ketua bagian tabligh dan pendidikan pada tahun 1952. Pada tahun 1953 (pada muktamar persis di Bandung) ustad Abdurahman terpilih sebagai sekretaris umum pusat pimpinan persis, mendampingi K.H. Mohammad Isa Anshary sebagai ketua umum.
Pasca mukhtamar VII persis, pada tahun 1962, ustad Abdurrahman terpilih sebagai ketua umum pusat pimpinan Persis melalui referendum. Periode kepemimpinan ustad Abdurahman ini merupakan periode kepemimpinan persis ketiga setelah berakhirnya kepemimipinan K.H. Mohammad Isa Anshary. Periode kepemimpinan Persis ketiga ini merupakan regerenasi kepemimpinan dari generasi pertama Persis ke eksponen Pemuda Persis yang merupakan organisasi otonom persis, tempat pembentukan kader-kader persis. Tampilnya KH.E. Abdurrahman, Eman sar’an, rusyad nurdin, dan E. Bachrum yang merupakan mantan pimpinan pemuda persis periode awal, membuktikan adanya pewarisan tongkat estafet kepemimpinan kepada kelompok muda dari organisasi otonom persis.
            Berbagai persoalan mulai muncul pada masa kepemimpinan ustad abdurahman. Namun masalah yang paling mendasar adalah bagaimana mempertaruhkan eksistensi persis ditengah gejolak sosial politik yang tidak menentu. Jihad perjuangan persis dihadapkan pada masalah-masalah pada politik yang beragam. Pembubaran masyumi oleh soekarno karena dianggap kontra revolusi, dan lepasnya persis sebagai anggota istimewa Masyumi, serta ancaman akan dibubarkannya Persis oleh pemerintahan Orde Lama karena tidak memasukan Nasakom dalam Qanun Asasi Persis, sampai pada meletusnya G.30 S/PKI merupakan masalah politis yang dihadapi pada masa awal kepemimpinan ustad Abdurahman.
Pada masa kepemimpinan ustad Abdurahman, permaslahan interen organisasi pun berkembang, terutama setelah terjadinya G.30 S/PKI, karena ada anggota anggota yang diragukan ittikad baiknya dalam organisasi Persis. Pengawasan ketat dilakukan. Selain menghendaki dan mengutamakan kualitas pelaksanaan, pengalaman ajaran agama yang berdasarkan ajaran Al-Quran dan Sunnah, Persis juga mengutamakan kualitas pelaksanaan disiplin organisasi yang berdasarkan qanun asasi dan qanun dakhili (anggaran dasar dan anggaran rumah tangga), peraturan-peraturan, tausiyyah, dan seperangkat tata kerja yang berlaku dalam organisasi. Meskipun kuantitas tidak diabaikan, ada suatu kekhawatiran jika jumlah yang banyak hanya menambah beban, seperti buih, tidak memberi manfaat sebagaimana yang diharapkan, bahkan sebaliknya malah mendatangkan madarat bagi keutuhan dan tegaknya jamiyyah.
            Pengawasan yang ketat inilah yang menjadi ciri khas kepemimpinan ustad Abdurrahman. Hal itu dilatarbelakangi oleh adanya pemalsuan nama organisasi Persis untuk keuntungan pribadi, selain karena terputusnya hubungan antara pusat pimpinan persis dengan cabang-cabang yang ada di sumatera, kalimantan, dan sulawesi akibat peristiwa G.30S/PKI. Sebagai perbandingan, tahun 1964 terdapat 63 cabang dengan jumlah anggota 7.173 pada tahun 1967 turun menjadi 56 cabang dengan jumlah 4.455 anggota, dan pada tahun 1980 terdapat 81 cabang dengan jumlah angota hanya 3.717 orang. Ini menunjukan adanya perbedaan yang mencolok antara jumlah cabang dan banyaknya anggota.
            Dalam hal Ini dapat difahami, karena yang menjadi dasar dari ustad abdurahman sebagai ketua umum pusat pimpinan persis  tentang keangotaan persis berorientasi pada penekanan kualitas bukan kuantitas.
Jika dilihat dari aktifitas organisasinya, pada masa kepemimpin ustad abdurrahaman, sejak tahun 1962 hingga 1983, menunjukan kecenderungan pada kegiatan-kegiatan sekitar tabligh dan pendidikan, dari tingkat pusat hingga ke tingkat cabang. Hal ini tidak lepas dari langkah dan kebijakan ustad abdurahman. Menurut Mohammad Natsir, ustad Abdurrahaman lebih banyak mewarnai arah dan perjuangan Persis dan tablig-tablig  dan pengembangan lembaga-lembaga pendidiakan (pesantren), sehingga Persis sebagai organisasi masa tidak memperlihatkan langkah perjuangannya ke arah politik. Ustad Abdurahman dalam memimpin organisasi Persis lebih mengorientasikan pada “organisasi agama”, sebab ia mengambil pola kepemimpinan ulama, bukan political leaders.
Pembaharuan Persis sejak awal hingga kepemimpinan ustad Abdurahman yang menyangkut praktik-praktik peribadatan tertentu, menerut Federspiel memberikan sumbangan bagi penguatan pemikiran perilaku kaum muslimin Suni di Indonesia. Penyampaian khotbah dalam bahasa lokal yang dimaksudkan untuk memperdalam pengetahuan Islam mengenai agama, yang menjadi target para ulama. Pembaharuan dalam praktik penguburan bertujuan untuk memisahkan kepercayaan dan praktik Islam yang mendasar dari adat kebiasaan dan ajaran kuno yang telah menjadi bahan pertentangan dikalangan ulama selama berabad-abad. Tuntutan untuk membersihkan upacara keagamaan dari praktik yang sebetulnya tidak diperintahkan dalam Al-Quran dan Sunnah.
Pesis menyatakan bahwa segala suatu diluar masalah ibadat diizinkan oleh Islam apabila tidak ada larangan secara khusus. Prinsip seperti ini ditafsirkan secara luas dalam berbagai bidang, misalnya ekonomi, kedokteran, dan ilmu pengetahuan modern. Bagi Persis, kitab suci merupakan otoritas final menyangkut apa yang boleh dan tidak boleh diterima.
Bagaimanapun, persis sejak awal berdirinya hingga berada dibawah kepemimpinan ustad Abdurahman telah memberikan konstribusi yang cukup besar dalam gerakan pembaharuan Islam di indonesia. Menurut Federspiel, nilai Persis, sebagai suatu topik bagi penelitian ilmiah, tidak terletak pada organisasinya, karena ia kecil dan tidak kukuh juga tidak terletak pada partisipasinya dalam kehidupan politik Indonesia, karena aktifitasnya bersifat insidental dan pinggiran bagi arus utama  perkembangan politik. Walaupun peran persis dalam pendidikan agama cukup besar terhadap perkembangan umat Islam Indonesia, tetapi dalam hal pengaruhnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan organisasi-organisasi lain. Begitu pula, usaha-usaha dalam melalui penerbitan yang dilakukannya, meskipun cukup berpengaruh pada waktu itu, sambutan dari pembaca dikalangan masyarakat indonesia secara umum masih sedikit.
Meskipun demikian, peran Persis penting dikaji karena ia telah berusaha mendefinisikan Islam yang sebenarnya, baik dalam segi prinsip dasarnya maupun dalam hal tuntutan perilaku religius  yang tepat bagi umat Islam. Dalam hal ini, karena usahnaya senantiasa menghadiri berbagai konsep dan generalisasi yang kabur, ia mirip dengan berbagai konsep gerakan Islam Indonesia lainnya, yakni dalam hal kesamaan perhatian. Selain itu, peran Persis terasa penting karena telah memberikan solusi tersendiri bagi persolan besar yang menghadang umat Islam Indonesia abad 20. Semua usaha Persis itu tentu saja tidak terlepas dari peran ulamanya, sejak didirikannya oleh H.Zamzam dan H. Muhamad Yunus, kemudian dikembangkan dengan dasar-dasar doktrinal pada masa kepemimpinan Isa Anshary, walaupun akhirnya melamah pada masa kepemimpinan ustad Abdurahman. Dan nampaknya, pada masa kepemimpin ustad Abdurahman inilah persis kembali pada garis perjuangannya: tablig dan pendidikan berdasarkan Al-Quran Dan Sunnah.
Terhadap kepemimpinan ustad Abdurahman ini, Surya Negara pernah memberikan penilaian: Pertama, ustad  Abdurahman sebagai pemegang amanah, ia telah berusaha menyebrangkan persis di tengah badai Nasakom dengan gaya dan cara mempertahankan eksistensi dengan mewujudkan dan melesterikan amanah para pendiri dan pendahulu persis sebagai organisasi dakwah. Kedua, ustad Abdurahman sebagai “penyelamat” Persis ia tidak berpartisispasi menerima Nasakom pada masa Orde Lama, padahal organisasi lain membuka diri tanpa reserve sebagai pendukung Nasakom. Ketiga, ustad Abdurahman lebih memilih intensifikasi dan konsolidasi ke dalam organisasi Persis daripada ekstensifikasi yang melemahkan kontrol organisasi. Keempat, ustad Abdurahman menampilkan sikap kepemimpinan yang istiqamah, mempertahankan Persis sebagai organisasi dakwah, dan tidak membenarkannya berganti nama atau busana, ia lebih mengutamakan Persis sebagai organisasi kualitas yang berpengaruh besar.
Dalam konteks sejarah pembaharuan Islam di Indonesia kepemimpinan ustad Abdurahman dalam jam’iyyah Persis lebih cenderung memperkuat peran, fungsi, dan kedudukan Persis sebagai organisasi yang berjaung mengembalikan umat kepada Al-Quran Dan Sunnah sejak generasi awal melalui pendidikan, dakwah tablig, dan publikasi atau penerbitan yang terbatas. Nilai Persis memang bukan terletak pada organisasinya, tetapi pada upaya penyebaran pahamnya; yang diakui atau tidak telah menembus batas-batas organisasinya sendiri_organisasinya tidak dikenal luas tetapi pahamnya telah menembus batas-batas kekakuan dan kekaburan pemahaman keislaman di Indonesia.[6]


B.     Wijhah Dakwah Tokoh-tokoh Persis
Berdasarkan hasil wawancara kami kepada ustadz Tiar Anwar Bachtiar, wijhah (arah) dakwah tokoh-tokoh persis dari semenjak A.Hassan sampai sekarang sebenarnya semua sama, dan tidak mengalami perbedaan/pergeseran. Yaitu untuk mengembangkan Islam atau lebih tepatnya mengarahkan umat Islam ke arah yang benar sesuai Al-Quran dan Sunnah. Hanya saja yang berbeda itu adalah dikarenakan situasi tantangan zaman dari setiap tokoh itu berbeda, maka ada penyikapan yang berbeda pula dari berbagai tokoh tersebut dikarenakan situasi yang berbeda.
a)      A.Hassan
Di tahun 1920-an ketika zaman Belanda, umat Islam sangat dikekang tidak boleh melakukan banyak kegiatan, tidak boleh melakukan tindakan politik, tidak boleh mengambil kebijakan-kebijakan, semua tindak-tanduk umat Islam dikontrol oleh Belanda. Maka, terjadilah kejumudan pada kondisi umat Islam saat itu. Maka di dalam kondisi yang seperti itu terjadilah repormasi Islam. Repormasi Islam di sini sebenarnya bukan merepormasi Islam karena di dalam Islam tidak ada yang namanya repormasi Islam. Maksud dari repormasi di sini adalah Tajdid (memperbaharui metode) karena umat jauh dari ilmu, mereka banyak yang tidak paham tentang ajaran agamanya sendiri. Dan kalaupun ada yang paham tentang ajaran agama itu elit, artinya hanya segelintir orang saja yang tahu seperti kiai-kiai, ulama-ulama. Sementara umat Islam pada umumnya mereka dijauhkan dari ajaran agamanya. Apalagi di dalam kebijakan Belanda itu, kiai-kiai disingkirkan dari masyarakat, mereka tidak boleh terlalu dekat dengan masyarakat. Belanda berpendapat bahwa kiai-kiai itu akan membayakan bagi eksistensi mereka.
Berdasarkan pada kondisi zaman yang seperti itu, maka muncullah A.Hassan yang ingin melakukan sesuatu yang bisa menjawab tantangan zaman dengan cara menuliskan masalah-masalah agama di dalam majalah, media yang bisa dibaca oleh masyarakat awam. Karena zaman itu tidak ada majalah yang membahas tentang fiqih, tafsir, maupun hadits. Dan itulah yang dinamakan sebagai reformasi Islam.Hal tersebut cukup berhasil bahwa Islam itu bisa lebih dikenal oleh masyarakat dengan fakta bahwa tumbuh kesadaran dalam umat Islam untuk kembali membela agamanya. Seperti terbitnya majalah Pembela Islam, Tafsir Al-Furqon, dsb.

b)      Muhammad Natsir
Pada tahun 1945, Indonesia merdeka. Belanda pun sudah tidak menguasai lagi Indonesia. Dan itu artinya tantangan yang dihadapi pun baru lagi. Pada zaman pasca kemerdekaan ini politik dibuka seluas-luasnya dan orang pun turut pula berbondong-bondong ke politik. Dikarenakan pada zaman ini politik dibuka seluas-luasnya, maka tokoh persis yang terkenal/yang muncul itu adalah ia yang aktif di politik seperti Muhammad Natsir dan Isa Anshary. Karena Persis aktif di politik maka ada imbasnya juga kepada Persis, misalnya tahun ’48 Persis mengembangkan cabangnya kemana-mana, padahal kalau dilihat dari sebelumnya Persis itu tidaka pernah memikirkan untuk membuat cabang-cabang. Karena yang dipikirkan Persis itu bagaimana memproduksi pikiran. Akan tetapi di zaman politik itu keberadaan cabang itu menjadi perlu, karena sudah berpikir bagaimana harus menarik masa sebanyak-banyaknya (banyak pendukung). Pada zaman ini, Persis mulai bergeser sedikit dari organisasi pemikiran menjadi gerakan masa (Ormas).
c)      KH. E. Abdurrahman
Ketika masa KH. E. Abdurrahman, masa yang dihadapi adalah masa Orde Baru. Masa Orde Baru sangat represif terhadap gerakan-gerakan yang berbau Islam. Jadi Islam itu dikekang karena hasil dari politik. Oleh karena sebab dikekang, Persis pun tidak lagi bebas mendakwahkan pemikiranya. Maka pekerjaan KH. E Abdurrahman hanya mengurusi organisasi saja. Tetapi karena sebab dikekang itu, justru malah menjadi berkah tersendiri bagi Persis atau bisa dikatakan Persis itu mendapatkan berkah dari kesulitan. Artinya mendapatkan berkah yang tidak disangka-sangka. Misal: ketika zaman A.Hassan, pesantren Persis yang dimiliki hanya satu, penerimaan santrinya pun hanya lima tahun sekali. Tetapi pada zaman KH. E. Abdurrahman, karena situasi Orde Baru sangat represif, dia hanya tidak menghalangi itu kepada organisasi yang mengurusi agama saja. Maka KH. E. Abdurrahman berkonsentrasi mengembangkan pesantren dan dakwah. Pada zaman ini timbul istilah fokus Persis itu pada pendidikan dan dakwah.
KH. E. Abdurrahman ini mewarisi dua hal. Pertama, ia mewarisi intelektualnya A.Hassan. Ia belajar dari A.Hassan itu menulis sampai ia pun menerbitkan majalah Arrisalah.Kedua, yang diwarisi oleh Kh. E Abdurrahman itu adalah cabang-cabang. Tinggal menata dan membenahi. Pekerjaan KH. E abdurrahman ini tinggal memantapkan organisasi. Jadi yang sebenarnya membentuk Persis hingga sampai seperti sekarang ini adalah Kh. E Abrurrahman. Dan momentnya itu adalah pada Muktamar Muakhkhot di Bandung. Itulah yang menjadi pertanda Persis itu mulai bangkit.
Selain itu juga beliau mempunyai kader yang cerdas dan brilian, ia mempunyai ide yang sangat bagus. Yaitu Latief Muchtar. Latief Muchtar ini menjabat sebagai sekretaris. Pada tahun ’70-’71-an, KH. E. Abdurrahman ini sangat terbantu sekali di dalam mengembangkan organisasi, karena Latief Muchtar inilah yang menjadi seorang aktifis yang sesungguhnya. Kalau diibaratkan KH. E Abdurrahman itu ulama, maka Latief Muchtar lah yang menjadi aktifisnya.
Maka setelah KH. E Abdurrahman meninggal. Kepemimpinan jatuh kepada Latief Muchtar dan sebenarnya Latief Muchtar pun hanya melanjutkan pekerjaan KH.E Abdurrahman itu. Seperti ekspansi cabang-cabang, sekolah diperbanyak sampai pada akhirnya sekolah Persis ada di mana-mana.
Setelah Latief Muchtar kepemimpinan dilanjutkan oleh Shiddiq Amin. dan ustad Shiddiq pun hanya melanjutkan. perbedaannya pada zaman ustad Shiddiq itu ia menhadapi Zaman Repormasi. Zaman Repormasi ini zaman bebas lagi, hal tersebut yang menyebabkan Persis ketarik lagi ke politik. Berbeda halnya pada zaman Orde Baru yang tidak boleh berpolitik, karena kalau ada yang berpolitik pasti semuanya akan berurusan dengan pengadilan. [7]
C.    Pendidikan Persis Kontemporer
Pendidikan Persis dulu dan sekarang itu perbedaannya adalah dari segi kuantitasnya saja. Kalau dahulu lembaganya hanya satu, sekarang itu sudah banyak. Ada pun dari segi kurikulum, sebenarnya yang dilakukan Persis itu adalah membuat revolusi yaitu mencoba ingin santri itu jangan hanya tahu kitab saja. menjembatani antara pendidikan Barat dan pesanten kobong. Maka sejak pertama didirikan Pesantren Persis tahun 1936, maka dasar dari komposisi kurikulum, pelajarannya adalah 80 % pelajaran agama, 20 % pelajaran umum. Bahkan Pendis (Pendidikan Islam) pun “sekolah umum” komposisi kurikulum pelajarannya 70 % pelajaran agama, 30 % pelajaran umum.
Kemudian yang menjadi kekurangan atau berubah belakangan sampai tahun 2000-an dari Pesantern Persis itu adalah SDM (sumber daya manusia). Penyebabnya adalah kuantitas pesantren persis semakin banyak, SDM pun dibutuhkan banyak. Oleh karena pesantren itu harus terus berjalan, SDM tidak ada, yang pada akhirnya dengan kondisi seadanya pula. Jadi yang menjadi problem itu adalah guru, maksudnya antara guru dengan bidang studi yang diampu itu terkadang tidak sesuai, seperti harus mengajar tafsir-hadits tapi guru tersebut tidak bisa bahasa Arab, makanya terpaksa harus menggunakan buku-buku terjemahan bahkan sampai menggunakan buku-buku yang terbitan dari DePag.
Hal tersebutlah yang menyebabkan degradasi. Karena semangat mengembangkan pesantren tidak diimbangi dengan semangat penyiapan SDMnya yang terkontrol sehingga bisa terus mengajar sesuai dengan keahlian guru tersebut. Itulah yang menyebabkan penurunan kualitas, sebab murid itu tergantung dari guru. Kalau gurunya bagus, murid pun akan bagus. Tetapi kalau sebaliknya, mungkin hal itu pula yang akan terjadi pada muridnya.
Kalau berbicara mengenai perbaikan kualitas, yang pertama harus diperbaiki itu adalah SDM. Dan nantinya baik materi pelajaran ataupun kurikulum itu akan mengikuti. Seperti dalam rumus pendidikan yang mengatakan “Guru itu lebih penting dari pada materi pelajaran”, sebab materi pelajaran itu semua tergantung gurunya. Sebab guru itu ia yang akan mengarahkan murid akan dibawa kemana. Jadi central perubahan murid itu ada di guru.[8]











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
a.       Setiap kepala dan setiap jiwa pasti memiliki pemikiran serta watak yang berbeda-beda. Begitu halnya dengan beberapa tokoh Persis seperti A. Hassan, M.Natsir, Isa Anshary, KHE. Abdurrahman dll. A. Hassan sebagai guru utama persis yang melahirkan M.Natsir, Isa Anshary, KHE. Abdurrahman, dll. telah memberikan banyak kontribusi terhadap Persis, dan memberikan corak tersendiri  terhadap Persis. M.Natsir dan Isa Anshary yang terjun dalam bidang Politik pun membuat Persis semakin dikenal luas. KHE Abdurrahman yang mengembalikan Persis kepada wajah aslinya sebagai gerakan keagamaan. Adapun setelah masa KHE Abdurrahman, Persis kembali menjadi bebas karena kembali membuka ruang politik.
b.      Berkaca pada latar belakang pendirian Persis adalah untuk memberantas kejumudan berfikir,membasmi TBC, dll. Dakwah itu pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, hanya saja tantangan yang berbeda, serta pasti membutuhkan solusi dan penanganan yang berbeda. Setiap tokoh dalam Ormas Persis memiliki tantangan berbeda yang tentunya harus disikapi secara berbeda pula. Dan hingga saat ini Persis terlihat masih konsisten terhadap gerakan dalam bidang keagamaan hanya saja ada beberapa kepemimpinan yang membuat persis seakan terbuka bukan hanya dalam bidang agama saja tetapi dalam bidang politik juga.
c.       Lembaga pendidikan Persis saat ini sudah semakin banyak, ini berarti Pesantren Persis sudah berhasil dalam meningkatkan kuantitas dan mengambil hati masyarakat.Tapi,semangat mengembangkan pesantren tidak diimbangi dengan semangat penyiapan SDMnya yang terkontrol sehingga bisa terus mengajar sesuai dengan keahlian guru tersebut. Itulah yang menyebabkan penurunan kualitas, sebab murid itu tergantung dari guru. Kalau gurunya bagus, murid pun akan bagus. Tetapi kalau sebaliknya, mungkin hal itu pula yang akan terjadi pada muridnya.


[1] Sambutan ketua Umum PP Persis, Drs. KH. Shiddiq Amien, dalam buku “ Yang Da’i Yang Politikus” karya Drs. Dadan Wildan, M.Hum
[2] “Panduan Hidup Berjama’ah dalam Jam’iyyah Persis “, hal. 101
[3] “ Yang Da’i Yang Politikus” karya Drs. Dadan Wildan, M.Hum

[4] Yang Dai Yang Politikus. Hlm: 25-30
[5] Yang Dai Yang Politikus. Hlm:53-79
[6]Yang Dai Yang Politikus. Hlm: 121-138
[7] Penuturan ustad Tiar Anwar Bactiar, S. Sos. I., M. Hum
[8] Penuturan ustad Tiar Anwar Bactiar, S. Sos. I., M. Hum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar