Kamis, 21 Mei 2015

Karakteristik Wujudul Hilal



BAB  I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Perbedaan idul fitri dan idul adha sering terjadi di indonesia. Penyebab utama bukan perbedaan metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan), tetapi pada perbedaan kriterianya. Kalau mau lebih spesifik merujuk akar masalah, sumber masalah utama adalah muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat, batas kemungkinan untuk diamati) atau lebih rendah lagi, dapat dipastikan terjadi perbedaan. Perbedaan terakhir kita alami pada idul fitri 1327 h/2006 m dan 1428 h/2007 h serta idul adha 1431/2010. Idul fitri 1432/2011 tahun ini juga hampir dipastikan terjadi perbedaan. Kalau kriteria muhammadiyah tidak diubah, dapat dipastikan awal ramadhan 1433/2012, 1434/2013, dan 1435/2014 juga akan beda. Masyarakat dibuat bingung, tetapi hanya disodori solusi sementara, “mari kita saling menghormati”. Adakah solusi permanennya? Ada, muhammadiyah bersama ormas-ormas islam harus bersepakati untuk mengubah kriterianya.
Mengapa perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk? Kita ambil kasus penentuan idul fitri 1432/2011. Pada saat maghrib 29 ramadhan 1432/29 agustus 2011 tinggi bulan di seluruh indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang, tetapi sudah positif. Perlu diketahui, kemampuan hisab sudah dimiliki semua ormas islam secara merata, termasuk nu dan persis, sehingga data hisab seperti itu sudah diketahui umum. Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa menghisabnya. Dengan posisi bulan seperti itu, muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan idul fitri jatuh pada 30 agustus 2011 karena bulan (“hilal”) sudah wujud di atas ufuk saat maghrib 29 agustus 2011. Tetapi ormas lain yang mengamalkan hisab juga, yaitu persis (persatuan islam), mengumumkan idul fitri jatuh pada 31 agustus 2011 karena mendasarkan pada kriteria imkan rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat maghrib 29 agustus 2011 bulan masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati. Nu yang mendasarkan pada rukyat masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian sebelumnya seperti 1427/2006 dan 1428/2007, laporan kesaksian hilal pada saat bulan sangat rendah sering kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan seringkali pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal.
Jadi, selama muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, kita selalu dihantui adanya perbedaan hari raya dan awal ramadhan.  Seperti apa sesungguhnya hisab wujudul hilal itu? Banyak kalangan di intern muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu sebagai simbol keunggulan hisab mereka yang mereka yakini, terutama ketika dibandingkan dengan metode rukyat.  Tentu saja mereka anggota fanatik muhammadiyah, tetapi sesungguhnya tidak faham ilmu hisab, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal.
Penentuan dan penetapan waktu dalam pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut itu menjadi sangat penting artinya untuk kemantapan; keyakinan serta menghapuskan keragu-raguan apa lagi dalam hal pelaksanaan ibadah mahdhah. Dan masyarakat tidak dibuat bingung dengan beranekaragamnya praktek yang terdapat di tengah-tengah masyarakat.
Di antara sumber yang merupakan salah satu akar permasalahan penyebab perbedaan tersebut adalah penafsiran tentang hadits adanya hilal. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang perbedaan persamaan wujudul hilal.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu wujudul hilal ?
2.      Apa itu astronomi ?
3.      Bagaimana perbedaan dan persamaan wujudul hilal dan astronomi?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui apa itu wujudul hilal.
2.      Untuk mengetahui apa itu astronomi.
3.      Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan wujudul hilal dan astronomi.




BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Wujudul Hilal
Wujudul hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) hijryah dengan menggunakand dua prinsip: ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum matahari terbenam (ijtma’ qoblal ghurub), dan bulan terbenam setelah matahari terbenam (moonset after sunset) maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan kalender hijryah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) bulan saat matahari terbenam.
Ada dua metode hisab yang seringdipertentangkanpertama imkanurrukyat dankedua wujudulhilal.Dari duametodeitu wujudulhilal yang dipilihPersyarikatan.PilihanPersyarikatanpadahisabwujudulhilalsejalandenganprinsipkeilmuan yang dikemukakanolehFilsufbernama William Ockham Razor (1280-1347) yang menegaskanmanakalauntukmemastikansesuatuditemukanbeberapacarapastikanlahdengansatucara yang lebihmudahdanmemberikankepastiansegera. Metode wujudulhilal memenuhiprinsip-prinsipkeilmuan yang objektif, murahdanmudahdanmemberikankepastian.Dikatakanobjektifkarenanilai-nilaiobjektivitas wujudulhilal betul-betuljauhdariprakiraan yang sulituntukdirealisasikan.Iniberbedadenganmetode imkanuurrukyatyangmengasumsikanangkaderajattertentu yang di lapanganjarangsekaliteraplikasikan.Ironipadaimkaanurukyatadalahmetodehisab yang semestinyamemberikankepastianmenjadisulituntukdiaplkasikankarenaadanyasyaratderajattertentu yang tidakdapatdikembalikanasal-usulnyapadaandasansyar’Idankelimuan.Dikatakanmurahdanmudahkarenadenganperangkat yang sangatsederhanaseseorangdapatmempraktekkanmetodewujudulhilal di manapunkapanpuntanpamemerlukanbiayasidangistbat yang miliaran rupiah itu.Dikatakanmemberikankepastiankarena wujudulhilal dapatsegeramemastikansuatuperistiwaituterjadidalamwaktu yang segerajauhsebelumperistiwaituterjadisehinggasegalasesuatu yang dihajatkandapatdipersiapakanjauhsebelumhari H nya.Analogiwujudulhilalsamadenganlampulalulintas yang digital itu. Tatkalaparapenggunakendaraanberhentimenungguberjalannyawaktutertentu yang diprogramdansaatangkamenunjukkanangka 0 parapengendara pun bersiap-siapmelajukankendaraannyatanpamenungguangka digital di lampumenunjukangka 2, 3,4, 5 danseterusnya.
Hisab yang diusung Muhammadiyah adalah metodeyang semata-mata mengandalkan perhitungan astronomi dalam menentukan bulanbaru. Metode hisab ini di Muhammadiyah dinamai “Wujudul Hilal”. Kriterianyaadalah:

1. Telahterjadinya ijtimak/konjungsi antara bumi, bulan dan matahari
2. Bulantenggelam belakangan setelah matahari tenggelam pada petang itu.
Kekuatandari metode ini adalah: Kemudahan dan kepastian. Karena dalam astronomi, semuapergerakan benda2 angkasa sudah bisa dipetakan dan dibuat rumus atau dibuattabel untuk tahun2 ke depan. Kelemahan dari metode ini adalah: membuangsama sekali faktor “rukyat” atau melihat bulan. Padahal di hadits2 shahih jelassekali menerangkan faktor “keterlihatan” hilal.
Rukyat adalah metode menentukan bulan baru dengan pengamatan/observasi semata. Jikalau bulan tidak terlihat/terhalang,maka hitungan hari pada bulan tersebut digenapkan menjadi 30. Sebaliknya jika bulan kelihatan pada petang tersebut, maka keesokan harinya adalah tanggal 1.
Kekuatanmetode ini: Sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh nash2 shahih, yaitudengan me”rukyat” /melihat hilal. Kelemahan metode ini adalah: Ketidak pastian.Kita sebagai umat islam tentu menginginkan kalender hijriyah superior darisistem penanggalan lainnya. Tetapi kalau tidak pasti, bagaimana kita bisamenonjolkan? Misalkan jika memesan tiket pesawat tanggal 30 Julhijah seminggusebelumnya, tetapi sehari sebelum keberangkatan ternyata hasil rukyatmenyatakan bulan julhijah tahun itu hanya 29 hari, kan berarti tiketnya hangus.

Makanya ada jalan tengah, yaitu:
Imkanur Rukyat adalah metode jalan tengah yang dimotori oleh pakar astronomi yang sudah muak dengan perbedaan hisab vs rukyat. Dalam metode imkanur rukyat ini, ada tambahankriteria seperti minimal tinggi bulan sebelum dirukyat dan atau umur bulansebelum dirukyat dan atau lengkung sudut bulan terhadap matahari sebelum dirukyat. Meskipun secara nominal belum ada kesepakatan misalkan berapa tinggi bulan sebelum dirukyat, tetapi ini merupakan kemajuan yang sangat berarti untukmenjembatani perbedaan hisab vs rukyat.
Kekuatan metode imkanur rukyat adalah: Kepastian dan pemenuhan faktor rukyat yang tertera di hadits2 shahih. Kepastian karena dengan menentukan minimal berapaderajat ketinggian bulan sebelum dirukyat, akan meminimalkan kesalahan prediksiapakah bulan akan terlihat atau tidak. Kelemahannya: boleh dibilang tidak ada.Karena ini adalah hasil musyawarah, menentukan secara nominal misalkan berapaketinggian bulan yang disepakati sebelum dirukyat.
Pemerintahdan ormas-ormas Islam secara umum (kecuali Muhammadiyah) sudah bersepakat untukmengedepankan metode imkanur rukyat, meskipun belum ada kesepahaman berapanilai nominal dari tambahan kriteria rukyat tersebut. Pada umumnya ormas2 Islammensyaratkan minimal 2 derajat sementara para ahli astronomi mengisyaratkanbulan sebenarnya tidak bakal terlihat jika masih di bawah 4 derajat di atasufuk setelah matahari tenggelam. Sementara Muhammadiyah masih tetap bersikukuhdengan metode wujudul hilal yang murni penghitungan.
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. ” (HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080). Jadi hilal harus terlihat dan bukan sekedar ada.
Mengenai kriteria metode wujudul hilal disebutkan ada tiga sebagai berikut:
1- telah terjadi ijtimak (konjungsi),
2- ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan
3- pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud).
Ketiga kriteria ini penggunaannya adalah secara kumulatif, dalam arti ketiganya harus terpenuhi sekaligus. Apabila salah satu tidak terpenuhi, maka bulan baru belum mulai.
Atau pemahaman mudahnya, “Jika setelah terjadi ijtimak, bulan terbenam setelah terbenamnya matahari maka malam itu ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah tanpa melihat berapapun sudut ketinggian bulan saat matahari terbenam.”
Dari metode ini, bila posisi hilal (bulan baru) pada saat matahari terbenam sudah di atas ufuk, berapapun tingginya, asal lebih besar dari pada NOL derajat, maka sudah dianggap masuk bulan baru.
Berikut keterangan pakar hisab, T. Djamaluddin (Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN dan Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementeria Agama RI) mengenai metode wujudul hilal:
Mengapa perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk? Kita ambil kasus penentuan Idul Fitri 1432/2011. Pada saat maghrib 29 Ramadhan 1432/29 Agustus 2011 tinggi bulan di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang, tetapi sudah positif. Perlu diketahui, kemampuan hisab sudah dimiliki semua ormas Islam secara merata, termasuk NU dan Persis, sehingga data hisab seperti itu sudah diketahui umum. Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa menghisabnya. Dengan posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 30 Agustus 2011 karena bulan (“hilal”) sudah wujud di atas ufuk saat maghrib 29 Agustus 2011. Tetapi Ormas lain yang mengamalkan hisab juga, yaitu Persis (Persatuan Islam), mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 31 Agustus 2011 karena mendasarkan pada kriteria imkan rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat maghrib 29 Agustus 2011 bulan masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati. NU yang mendasarkan pada rukyat masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian sebelumnya seperti 1427/2006 dan 1428/2007, laporan kesaksian hilal pada saat bulan sangat rendah sering kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan seringkali pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal.
Jadi, selama Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, kita selalu dihantui adanya perbedaan hari raya dan awal Ramadhan. Seperti apa sesungguhnya hisab wujudul hilal itu? Banyak kalangan di intern Muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu sebagai simbol keunggulan hisab mereka yang mereka yakini, terutama ketika dibandingkan dengan metode rukyat. Tentu saja mereka anggota fanatik Muhammadiyah, tetapi sesungguhnya tidak faham ilmu hisab, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal.
Kita ketahui, metode penentuan kalender yang paling kuno adalah hisab urfi (hanya berdasarkan periodik, 30 dan 29 hari berulang-ulang, yang kini digunakan oleh beberapa kelompok kecil di Sumatera Barat dan Jawa Timur, yang hasilnya berbeda dengan metode hisab atau rukyat modern). Lalu berkembang hisab imkan rukyat (visibilitas hilal, menghitung kemungkinan hilal teramati), tetapi masih menggunakan hisab taqribi (pendekatan) yang akurasinya masih rendah. Muhammadiyah pun sempat menggunakannya pada awal sejarahnya. Kemudian untuk menghindari kerumitan imkan rukyat, digunakan hisab ijtimak qablal ghurub (konjungsi sebelum matahari terbenam) dan hisab wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk yang ditandai bulan terbenam lebih lambat daripada matahari). Kini kriteria ijtimak qablal ghurub dan wujudul hilal mulai ditinggalkan, kecuali oleh beberapa kelompok atau negara yang masih kurang keterlibatan ahli hisabnya, seperti oleh Arab Saudi untuk kalender Ummul Quro-nya. Kini para pembuat kalender cenderung menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa dibandingkan dengan hasil rukyat. Perhitungan imkan rukyat kini sangat mudah dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak astronomi. Informasi imkanur rukyat atau visibilitas hilal juga sangat mudah diakses secara online di internet.
Muhammdiyah yang tampaknya terlalu ketat menjauhi rukyat terjebak pada kejumudan (kebekuan pemikiran) dalam ilmu falak atau astronomi terkait penentuan sistem kelendernya. Mereka cukup puas dengan wujudul hilal, kriteria lama yang secara astronomi dapat dianggap usang. Mereka mematikan tajdid (pembaharuan) yang sebenarnya menjadi nama lembaga think tank mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid. Sayang sekali. Sementara ormas Islam lain terus berubah. NU yang pada awalnya cenderung melarang rukyat dengan alat, termasuk kacamata, kini sudah melengkapi diri dengan perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Mungkin jumlah ahli hisab di NU jauh lebih banyak daripada di Muhammadiyah, walau mereka pengamal rukyat. Sementara Persis (Persatuan Islam), ormas “kecil” yang sangat aktif dengan Dewan Hisab Rukyat-nya berani beberapa kali mengubah kriteria hisabnya. Padahal, Persis kadang mengidentikan sebagai “saudara kembar” Muhammadiyah karena memang mengandalkan hisab, tanpa menunggu hasil rukyat. Persis beberapa kali mengubah kriterianya, dari ijtimak qablal ghrub, imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh wilayah Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang diterapkan.
Demi penyatuan ummat melalui kalender hijriyah, memang saya sering mengkritisi praktek hisab rukyat di NU, Muhammadiyah, dan Persis. NU dan Persis sangat terbuka terhadap perubahan. Muhammadiyah cenderung resisten dan defensif dalam hal metode hisabnya. Pendapatnya tampak merata di kalangan anggota Muhammadiyah, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal. Itu sudah menjadi keyakinan mereka yang katanya sulit diubah. Gerakan tajdid (pembaharuan) dalam ilmu hisab dimatikannya sendiri. Ketika diajak membahas kriteria imkan rukyat, tampak apriori seolah itu bagian dari rukyat yang terkesan dihindari.
Lalu mau kemana Muhammadiyah? Kita berharap Muhammadiyah, sebagai ormas besar yang modern, mau berubah demi penyatuan Ummat. Tetapi juga sama pentingnya adalah demi kemajuan Muhammadiyah sendiri, jangan sampai muncul kesan di komunitas astronomi “Organisasi Islam modern, tetapi kriteria kalendernya usang”. Semoga Muhammadiyah mau berubah! (Sumber: Metode Hisab Wujudul Hilal ‘ala Muhammadiyah yang Sudah Usang)
Kita dapat simpulkan bahwa kelemahan metode hisab terletak saat menggunakan alat hitung yang tidak sempurna sehingga hasilnya dapat berbeda dengan ahli hisab yang lainnya. Selain itu banyaknya macam dalam metode hisab mengakibatkan berbeda juga hasilnya, antara lain hisab urfi dengan hasil hisab modern atau kontemporer. Karena hasil yang berbeda dari berbagai metode, itu menunjukkan kelemahan cara manusia dibandingkan jika ditempuh cara yang telah digariskan Islam.

Cara Islam Menentukan Awal Bulan Hijriyah
Cara menentukan awal dan akhir Ramadhan sudah digariskan oleh Islam melalui lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perhatikan hadits berikut.
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا [ قَالَ ]: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ: إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080).
Hadits di atas menunjukkan bahwa penentuan awal Ramadhan hanya dengan dua cara, tidak ada cara ketiga. Cara pertama adalah dengan rukyatul hilal. Cara kedua adalah menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
2.      Pengertian Astronomi
Astronomi adalah cabang ilmu alam yang melibatkan pengamatan benda-benda langit seperti bintang, komet, nebula gugus bintang atau galaksi serta fenomena-fenomena alam yang terjadi diluar atmosfer bumi misalnya radiasi latar belakang kosmik (radiasi CMB). Ilmu ini secara pokok mempelajari berbagai sisi dari benda-benda langit seperti asal-usul, sifat fisika/kimia, meteorologi dan gerak dan bagaimana pengetahuan akan benda-benda tersebut menjelaskan pembentukkan dan perkembangan alam semesta.
Astronomi sebagai ilmu adalah salah satu yang tertua, sebagaimana diketahui dari artifak-attifak astronomis yang berasal dari era prasejarah; misalnya monumen dari Mesir dan Nubia, atau Stonehenge yang berasal dari Britania. Orang-orang dari peradaban awal semacam Babilonia, Yunani, Cina, India dan Maya juga didapati telah melakukan pengamatan yang metodologis atas langit malam. Akan tetapi meskipun memilki sejarah yang panjang, astronom baru dapat berkembang menjadi cabang ilmu pengetahuan modern melalui penemuan teleskop.
Cukup banyak cabang-cabang ilmu yang pernah turut disertakan sebagai bagian dari astronomi, dan apabila diperhatikan, sifat cabang-cabang ini sangat beragam: dari astronomi pelayaran berbasis angkasa, astronomibservasional, sampai dengan penyususnan kalender dan astrologi. Meski demikan astronomi dewasa ini identik dengan astrofisika.
Pada abad 20, astronomi dibagi menjad 2 cabang: astronomi observasional dan astronomi teoritis. Yang pertama melibatkan pengumpulan data dari pengamatan atas benda-benda langit, yang kemudian akan dianalisis menggunakan prinsip-prinsip fisika. Yang kedua terpusat pada upaya pengembangan model-model komputer/analitis guna menjelaskan sifat-sifat benda-benda langit serta fenomena-fenomena alam lainnya. Adapun kedua cabang ini bersifat komplementer – astonomi teortis berusaha untuk menerangkan hasil-hasil pengamatan astronomi observasional,  dan astronomi observasional kemudian akan mencoba untuk memuktikan kesimpulan yang dibuat oleh astronomi teoritis.
Astronomi harus dibedakan dari astrologi, yang merupakan kepercayaan bahwa nasib dan urusan manusia berhubungan dengan letak benda-benda langit seperti bintang atau rasinya. Memang betul bahwa dua bidang ini memilki asal-usul yang sama namun pada saat ini keduanya sangat berbeda.
v  Penggunaan istilah “astronomi” dan “astrofsika”
Secara umum baik astronomi maupun astrofisika boleh digunakan untuk menyebut ilmu yang sama. Apabila hendak merujuk ke definisi-definisi kamus yang baku, astronomi bermakna “penelitian benda-benda langit dan materi diluar materi atmosfer bumi serta sifat-sifat kimia dan fisika benda-benda langit tersebut”, sedang astrofisika adalah cabang dari astronomi yang berurusan dengan “tingkah laku sifat-sifat fisika, serta proses-proses dinamis dari benda-benda dan fenomena langit”.
Dalam kasus tertentu, misalnya pada pembukaan buku The Physical Unlverse oleh Frank Shu, astronomi boleh dipergunakan untuk sisi kualitatif dari ilmu ini, sedang astrofisika untuk sisi lainnya yang lebih berorientasi fisika.


 BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Pengertian Wujudul Hilal
Wujudul hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) hijryah dengan menggunakand dua prinsip: ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum matahari terbenam (ijtma’ qoblal ghurub), dan bulan terbenam setelah matahari terbenam (moonset after sunset) maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan kalender hijryah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) bulan saat matahari terbenam.
2.      Pengertian Astronomi
Astronomi adalah cabang ilmu alam yang melibatkan pengamatan benda-benda langit seperti bintang, komet, nebula gugus bintang atau galaksi serta fenomena-fenomena alam yang terjadi diluar atmosfer bumi misalnya radiasi latar belakang kosmik (radiasi CMB). Ilmu ini secara pokok mempelajari berbagai sisi dari benda-benda langit seperti asal-usul, sifat fisika/kimia, meteorologi dan gerak dan bagaimana pengetahuan akan benda-benda tersebut menjelaskan pembentukkan dan perkembangan alam semesta.

3.      Persamaan perbedaan wujudul hilal dan astronomi


DAF TAR PUSTAKA




Tidak ada komentar:

Posting Komentar