BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
a. Pengertian Problematika Menurut Para Ahli
Istilah problema/problematika berasal dari bahasa
Inggris yaitu "problematic" yang artinya persoalan atau masalah.
Sedangkan dalam bahasa Indonesia, problema berarti hal yang belum dapat
dipecahkan; yang menimbulkan permasalahan.[1]
Sedangkan yang lainmenyatakan bahwa "problema/problematika
merupakan suatu kesenjangan antara
harapan dan kenyataan.[2]
Masalah adalah sesuatu yang dipertanyakan dan sangat penting untuk
dipecahkan, hal ini diungkapkan dalam buku Pedoman Karya Tulis Ilmiah yang
dijadikan referensi oleh STAI Persis Garut.
Jadi dapat disimpulkan bahwa problematika adalah
berbagai persoalan yang belum dapat terselesaikan, hingga terjadi kesenjangan
antara harapan dan kenyataan yang dihadapi dalam proses pemberdayaan, baik yang
datang dari individu Guru maupun dalam upaya pemberdayaan masyarakat Islami
secara langsung dalam masyarakat.
b. Pengertian Pendidikan Islam
Istilah umum yang digunakan dalam pendidikan Islam,
yaitu Tarbiyah (pengetahuan tentang ar-rabb), Ta’lim (ilmu teoritik,
kreativitas, komitmen tinggi dalam mengembangkan ilmu, serta sikap hidup yang
menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah), Ta’dib (integrasi ilmu dan amal). [3]
1. Istilah Tarbiyah
Kata Tarbiyah berasal dari kata dasar “Rabba” (رَبَّى),
yurabbi (يُرَبِّى) menjadi “tarbiyah” yang berarti memelihara, membesarkan dan
mendidik. Dalam statusnya sebagai khalifah berarti manusia hidup di alam
mendapat kuasa dari Allah untuk mewakili sekaligus sebagai pelaksana dari peran
dan fungsi Allah di alam. Dengan demikian manusia sebagai bagian dari alam
memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang bersama alam lingkungannya. Tetapi
sebagai khalifah Allah maka manusia memiliki tugas untuk memadukan pertumbuhan
dan perkembangannya bersama dengan alam.[4]
2. Istilah Ta’lim
Secara etimologi, ta’lim berkonotasi pembelajaran,
yaitu proses memindahkan ilmu
pengetahuan. Hakekat ilmu pengetahuan bersumber dari Allah SWT. Adapun proses
pembelajaran (ta’lim) secara simbolis dinyatakan dalam informasi al-Qur’an
ketika penciptaan Adam as oleh Allah SWT, ia menerima pemahaman tentang konsep
ilmu pengetahuan langsung dari penciptanya. Proses pembelajaran ini disajikan
dengan menggunakan konsep ta’lim yang sekaligus menjelaskan hubungan antara
pengetahuan Adam as dengan Tuhannya. [5]
3. Istilah Ta’dib
Menurut al-Attas, istilah yang paling tepat untuk
menunjukkan pendidikan Islam adalah Ta’dib, konsep ini didasarkan pada hadits
Nabi:
اِدَّ بَنِيْ رَبِّى فَأَحْسَنَ تَـأْدِيْبِيْ {رواه
العسكرى عن على}
Artinya : “Tuhan telah mendidikku, maka ia sempurnakan
pendidikanku”
(HR. al-Askary dari Ali r.a).
Ta’dib berarti pengenalan dan pengetahuan secara
berangsur-angsur yang ditanamkan ke dalamdiri manusia (peserta didik) tentang
tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan.
Dengan pendekatan ini pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah
pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan
kepribadiannya.
Dari bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta
didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. [6]
c. Pengertian Problematika Pendidikan Islam
Dapat penulis simpulkan dari pengertian problematika +
pendidikan islam. Berarti problematika pendidikan islam adalah masalah-masalah
yang terjadi dalam pendidikan islam.
B. Poblematika pendidikan islam modern
Ketertinggalan
pendidikan Islam salah satunya dikarenakan oleh terjadinya penyempitan terhadap
pemahaman pendidikan Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi
yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atauaspek kehidupan rohani yang
terpisah dengan kehidupan jasmani.
Oleh karena
itu, akan tampak adanya perbedaan dan pemisahan antara yang dianggap agama dan
bukan agama, yang sakral dengan yang profan, antara dunia dan akhirat. Cara
pandang yang memisahkan antara yang satu dengan yang lain ini disebut sebagai
cara pandang dikotomi. Adanya dikotomi inilah yang salah satu penyebab ketertinggalan pendidikan
Islam. Hingga kini pendidikan Islam masih memisahkan antaraakal dan wahyu,
serta pikir dan zikir. Hal ini menyebabkan adanya ketidakseimbangan pola
fikir, yaitu kurang berkembangnya konsep humanisme religius dalam dunia
pendidikan Islam, karena pendidikan Islam lebih berorientasi pada konsep
‘abdullah (manusia sebagai hamba), ketimbang sebagai konsep khalifatullah
(manusia sebagai khalifah Allah).
a. Masalah Mendasar
1. Sekularisme sebagai Paradigma Pendidikan
Sekularisme
adalah suatu paham yang memisahkan antara dunia dan akhirat, kehidupan dunia
dan agama, pengalaman agama adalah masalah pribadi.
Jarang
ada orang mau mengakui dengan jujur, sistem pendidikan kita adalah sistem yang
sekular-materialistik. Biasanya yang dijadikan argumentasi, adalah UU Sisdiknas
No. 20 tahun 2003 Bab II Pasal 3 yang berbunyi, “Pendidikan nasional bertujuan
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”
Tapi
perlu diingat, sekularisme itu tidak otomatis selalu anti agama. Tidak selalu
anti “iman” dan anti “taqwa”. Sekularisme itu hanya menolak peran agama untuk
mengatur kehidupan publik, termasuk aspek pendidikan. Jadi, selama agama hanya
menjadi masalah pribadi dan tidak dijadikan asas untuk menata kehidupan publik
seperti sebuah sistem pendidikan, maka sistem pendidikan itu tetap sistem
pendidikan sekular, walaupun para individu pelaksana sistem itu beriman dan
bertaqwa (sebagai perilaku individu).
Sesungguhnya
diakui atau tidak, sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang
sekular-materialistik. Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada UU Sisdiknas
No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian
kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: “Jenis pendidikan mencakup pendidikan
umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagamaan, dan khusus”.
Dari
pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan
pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomi semacam ini terbukti telah gagal
melahirkan manusia yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan
perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.
Secara
kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui
madrasah, institut agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama;
sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan
serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek)
dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama.
Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses
pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar
sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan
dari seluruh aspek kehidupan.
2. Permasalahan lain
Masalah-masalah
cabang yang dimaksud di sini, adalah segala masalah selain masalah paradigma
pendidikan, yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan. Masalah-masalah
cabang ini tentu banyak sekali macamnya, di antaranya yang terpenting adalah
sebagai berikut:
1. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi Yang Tidak
Memperhatikan Masalah Agama
Pendidikan Islam saat ini menghadapi masalah
serius yang berkaitan dengan perubahan masyarakat yang terus menerus semakin
cepat, lebih-lebih perkembangan ilmu pengetahuan yang hampir tidak
memperdulikan sistem suatu agama.
Kondisi
sekarang ini, pendidikan Islam berada pada posisi determinisme historik dan
realisme. Dalam artian bahwa, satu sisi umat Islam berada padaromantisme
historis di mana mereka bangga karena pernah memiliki para pemikir-pemikir dan
ilmuwan-ilmuwan besar danmempunyai kontribusi yang besar pula bagi pembangunan
peradaban dan ilmu pengetahuan dunia sertamenjadi transmisi bagi khazanah
Yunani, namun di sisi lain mereka menghadapi sebuahkenyataan, bahwa pendidikan
Islam tidak berdaya dihadapkan kepada realitas masyarakatindustri dan teknologi
modern. Hal ini pun didukungdengan pandangan sebagian umat Islam yang
kurangmeminati ilmu-ilmu umum dan bahkansampai pada tingkat “diharamkan”.
2. Terjadi Pemilahan Antara Ilmu Umum dan Ilmu Agama
Terjadinya
pemilahan-pemilahan antara ilmu umum dan ilmu agama inilah yang membawa umat
Islam kepada keterbelakangan dan kemunduran peradaban, lantaran karena
ilmu-ilmu umum dianggap sesuatu yang berada di luar Islam dan berasal dari
non-Islam. Agama dianggap tidak ada kaitannya dengan ilmu, begitu juga ilmu
dianggap tidak memperdulikan agama, padahal sesungguhnya semua ilmu berasal
dari al-Quran. Begitulah gambaran praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan
di tanah air sekarang ini dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan
dirasakan oleh masyarakat. Sistem pendidikan Islam yang ada hanya mengajarkan
ilmu-ilmu agama saja. Di sisi lain, generasi muslim yang menempuh pendidikan di
luar sistem pendidikan Islam hanya mendapatkan porsi kecil dalam hal pendidikan
Islam atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan ilmu-ilmu keislaman.
3. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk
sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang
gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku
perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian
teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah
yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki
laboratorium dan sebagainya.
4. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan.
Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan
tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 tentang Sisdiknas
yaitu merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat.
Dari pasal tersebut, maka syarat-syarat untuk menjadi
guru dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Berijazah
b. Sehat jasmani dan rohani
c. Takwa kepada Tuhan YME dan berkelakuan baik
d. Bertanggung jawab
e. Berjiwa nasional
Walaupun
guru bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi guru merupakan
titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga
pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi
tanggung jawabnya.
5. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya
kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan
Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada
pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan sebesar Rp
3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5
juta. guru bantu Rp. 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp
10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru
terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain,
memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang
buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya. Dan itu semua mengganggu
terhadap efektifitas pembelajaran.
Dengan
adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak
lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam
pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan
memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji,
tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang
berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah
khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi,
kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul.
Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai
taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari
403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan
dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Timbulnya Masalah Pendidikan Islam
Masalah pendidikan Islam timbul karena dua faktor
yaitu faktor internal dan eksternal.
1. Faktor internal
·
Meliputi
manajemen pendidikan Islam yang pada umumnya belum mampu menyelenggarakan
pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan berkualitas. Hal ini
tercermin dari kalah bersaing dengan sekolah-sekolah yang berada di bawah
pembinaan Departemen Pendidikan Nasional [Diknas] yang umumnya dikelola secara
modern.
·
Faktor
kompensasi profesional guru yang masih sangat rendah. Para guru yang merupakan
unsur terpenting dalam kegiatan belajarmengajar, umumnya lemah dalam penguasaan
materi bidang studi, terutama menyangkut bidang studi umum, ketrampilan
mengajar, manajemen keles, dan motivasi mengajar. Hal ini terjadi karena sistem
pendidikan Islam kurang kondusif bagi pengembangan kompetensi profesional guru.
·
Adalah
faktor kepemimpinan, artinya tidak sedikit kepala-kepala madrasah yang tidak
memiliki visi, dan misi untuk mau ke mana pendidikan akan dibawa dan
dikembangkan. Kepala madrasah seharusnya merupakan simbol keunggulan dalam
kepemimpinan, moral, intelektual dan profesional dalam lingkungan lembaga
pendidikan formal, ternyata sulit ditemukan di lapangan pendidikan Islam.
Pimpinan pendidikan Islam bukan hanya sering kurang memiliki kemampuan dalam
membangun komunikasi internal dengan para guru, melainkan juga lemah dalam
komunikasi dengan masyarakat, orang tua, dan pengguna pendidikan untuk
kepentingan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Biasanya pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan birokratis daripada pendekatan kolegial
profesional. Mengelola pendidikan bukan berdasar pertimbangan profesional,
melainkan pendekatan like anddislike (Mahfudh Djunaidi, 2005),
dengan tidak memiliki visi dan misi yang jelas.
2. Faktor eksternal
·
Adanya
perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam. Pemerintah selama
ini cenderung menganggap dan memperlakukan pendidikan Islam sebagai anak tiri,
khususnya soal dana dan persoalan lain. Katakan saja, alokasi dana yang
diberikan pemerintah sangat jauh perbedaannya dengan pendidikan yang berada di
lingkungan Diknas (Mahfudh Djunaidi, 2005). Maka, terlepas itu semua, apakah
itu urusan Depag atau Depdiknas, mestinya alokasi anggaran negara pada
pendidikan Islam tidak terjadi kesenjangan, toh pendidikan Islam juga bermisi
untuk mencerdaskan bangsa, sebagaimana juga misi yang diemban oleh pendidikan umum.
·
Dapat
dikatakan bahwa paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih
didominasi oleh pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional. Pendidikan
Islam tidak dianggap bagian dari sektor pendidikan, lantaran urusannya tidak di
bawah Depdiknas. Beberapa indikator yang menunjukkan kesenjangan ini yaitu
mulai dari tingkat ketersediaan tenaga guru, status guru, kondisi ruang
belajar, tingkat pembiayaan (unit cost) siswa, hingga tidak adanya
standardisasi mutu pendidikan Islam, karena urusan pendidikan Islam tidak
berada di bawah Depdiknas (Abdul Aziz, Kompas, 2005), dan lebih tragis lagi
adalah sikap diskriminatif terhadap prodak atau lulusan pendidikan Islam.
·
Adalah
adanya diskriminasi masyarakat terhadap pendidikan Islam. Secara jujur harus
diakui, bahwa masyarakat selama ini cenderung acuh terhadap proses pendidikan
di madrasah atau sekolah-sekolah Islam. Rata-rata memandang pendidikan Islam
adalah pendidikan nomor dua dan biasanya bila menyekolahkan anaknya di lembaga
pendidikan Islam merupakan alternatif terakhir setelah tidak dapat diterima di
lembaga pendidikan di lingkungan Diknas (M Dahriman, 2005).
C. Solusi Problematika
Pendidikan Islam
Solusi Problematika
Pendidikan Islam saat ini mencermati kenyatan tersebut, maka mau tidak mau
persoalan konsep dualisme-dikotomik pendidikan harus segera ditumbangkan dan
dituntaskan, baik pada tingkatan filosofis-paradigmatik maupun teknis
departementel. Pemikiran filosofis menjadi sangat penting, karena pemikiran ini
nanti akan memeberikan suatu pandangan dunia yang menjadi landasan idiologis
dan moral bagi pendidikan.
a.1) Solusi Problem Mendasar: Sekularisme sebagai Paradigma Pendidikan
Penyelesaian problem
mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Itu hanya dapat diwujudkan
dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan
paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam. Ini sangat penting dan
utama.
Ibarat mobil yang salah
jalan, maka yang harus dilakukan adalah mengubah haluan atau arah mobil itu
terlebih dulu, menuju jalan yang benar agar bisa sampai ke tempat tujuan yang
diharapkan. Tak ada artinya mobil itu diperbaiki kerusakannya yang macam-macam
selama mobil itu tetap berada di jalan yang salah. Setelah membetulkan arah
mobil ke jalan yang benar, barulah mobil itu diperbaiki kerusakannya yang
bermacam-macam.
Artinya, setelah
masalah mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan
diselesaikan, baik itu masalah rendahnya sarana fisik, kualitas guru dan
kesejahteraan guru.
Solusi masalah mendasar
itu adalah merombak total asas sistem pendidikan yang ada, dari asas
sekularisme diubah menjadi asas Islam, bukan asas yang lain.
Bentuk nyata dari
solusi mendasar itu adalah mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada dengan
cara menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan Islam. Hal paling mendasar yang
wajib diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem
pendidikan itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem
pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.
b.1) Solusi terhadap perkembangan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi yang tidak memperhatikan masalah agama
Untuk menyelesaikan
masalah ini, penulis kira pendidikan islam harus segera menguasai pendidikan
berbasis teknologi, agar pendidikan islam tidak jauh tertinggal dalam
pendidikan.
b.2 )Solusi tentang
pemisahan antar ilmu dan agama
Pemisahan antar ilmu
dan agama hendaknya segera dihentikan dan menjadi sebuah upaya penyatuan
keduannya dalam satu sistem pendidikan integralistik. Namun persoalan integrasi
ilmu dan agama dalam satu sistem pendidikan ini bukanlah suatu persoalan yang
mudah, melainkan harus atas dasar pemikiran filosofis yang kuat, sehingga tidak
terkesan hanya sekedar tambal sulam. Langkah awal yang harus dilakukan dalam
mengadakan perubahan pendidikan adalah merumuskan “kerangka dasar filosofis
pendidikan” yang sesuai dengan ajaran Islam, kemudian mengembangkan secara
“empiris prinsip-prinsip” yang mendasari terlaksananya dalam konteks lingkungan
(sosio dan kultural) Filsafat Integralisme (hikmah wahdatiyah) adalah bagian
dari filsafat Islam yang menjadi alternatif dari pandangan holistik yang
berkembang pada era postmodern di kalangan masyarakat barat.
Inti dari pandangan
hikmah wahdatiyah ini adalah bahwa yang mutlak dan yang nisbi merupakan satu
kesatuan yang berjenjang, bukan sesuatu yang terputus sebagaimana pandangan
ortodoksi Islam. Pandangan Armahedi Mahzar, pencetus filsafat integralisme ini,
tentang ilmu juga atas dasar asumsi di atas, sehingga dia tidak membedakan
antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu Tuhan dan ilmu skular, ilmu dunia dan
ilmu akhirat. Dari pandangan dia tentang kesatuan tersebut juga akan
berimplikasi pula pada pemikiran Armahedi pada permasalahan yang lain, termasuk
juga pendidikan Islam.
Bagi Armahedi, pendidikan Islam
haruslah menjadi satu kesatuan yang utuh atau integral. Baginya,
manusia-manuisa saat ini merupakan produk dari pemikiran Barat Modern yang
mengalami suatu kepincangan, karena merupakan suatu perkembangan yang parsial.
Peradaban Islam adalah contoh lain. Keduanya dapat ditolong dengan membelokkan
arah perkembangannya ke arah perkembangan yang evolusioner yang lebih
menyeluruh dan seimbang. Hanya ada beberpa sisi saja dari kehidupan manusia
yang dikembangkan. Begitu juga halnya dengan masyarakat yang ada, pada
hakikatnya adalah cerminan dari satu sistem pendidikan yang ada saat itu.
Masyarakat saat ini adalah masyarakat
materialis yang dapat dibina dengan menggunakan suatu mesin raksasa yang
bernama teknostrutur. Di sini ada satu link yang hilang, yaitu spiritualisme.
Dengan demikian, pendidikan sebagai produksi sistem ini haruslah mengembangkan
seluruh aspek dari manusia dan masyarakat sesuai dengan fitrah Islam, yaitu
tauhid.
Pandangan filosofis inilah yang
menjadikan pentingnya kajian terhadap pemikiran Armahedi Mahzar tentang sistem
pendidikan Islam integratif, karena permasalahan pendidikan sebenarnya terletak
pada dua aspek, filosofis dan praktis. Persoalan filosofis ini yang menjadi
landasan pada ranah praktis pendidikan. Ketika ranah filosofis telah terbangun
kokoh, maka ranah praktis akan berjalan secara sistematis. Dengan demikian,
filsafat integralisme atau hikmah wahdatiyah nantinya akan menjadi landasan
idiologis dalam pengembangan sistem pendidikan integratif.
b.3.4.5 ) Rendahnya
sarana fisik, Rendahnya kualitas guru dan kesejahteraan guru
Untuk mengatasi
masalah-masalah cabang di atas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
Pertama, solusi
sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan
dengan sistem pendidikan Islam. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat
berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia
sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme yang
berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam
urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk
masalah-masalah cabang yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan
seperti rendahnya sarana fisik dan kesejahteraan guru berarti menuntut juga
perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan
sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka
sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi
Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala
pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis,
yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkaitan langsung dengan
pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru.
Maka, solusi untuk
masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk
meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di
samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan
membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan
memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru.
Kedua, solusi teknis,
yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkaitan langsung dengan
pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
A. Problematika pendidikan islam adalah masalah-masalah
yang terjadi dalam pendidikan islam.
B. Poblematika pendidikan islam modern
a. Masalah Mendasar
1. Sekularisme sebagai Paradigma Pendidikan
b. Permasalahan lain
1. perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang tidak memperhatikan masalah agama
2. pemisahan antar ilmu dan agama
3. Rendahnya sarana fisik
4. Rendahnya kualitas guru dan
5. Kesejahteraan guru
C. Solusi Problematika Pendidikan Islam
a. Solusi Problem Mendasar: Sekularisme sebagai Paradigma Pendidikan
Penyelesaian problem mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Itu
hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang
diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam.
Ini sangat penting dan utama.
b. Solusi terhadap perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang tidak
memperhatikan masalah agama
Untuk menyelesaikan
masalah ini, penulis kira pendidikan islam harus segera menguasai pendidikan
berbasis teknologi, agar pendidikan islam tidak jauh tertinggal dalam
pendidikan
c. Solusi tentang pemisahan antar ilmu dan agama
Pemisahan antar ilmu dan agama hendaknya segera dihentikan dan menjadi
sebuah upaya penyatuan keduannya dalam satu sistem pendidikan integralistik.
d. Rendahnya sarana fisik, Rendahnya kualitas guru dan Kesejahteraan guru
secara garis besar ada
dua solusi yaitu:
Pertama, solusi
sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan
dengan sistem pendidikan Islam. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat
berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia
sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme yang
berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam
urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.solusi untuk masalah-masalah
teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas
sistem pendidikan.