BAB
I
A.
Latar
Belakang Masalah
Pada
zaman penjajahan telah berdiri organisasi-organisasi Islam sebagai bentuk
kesadaran masyarakat terutama umat Islam untuk selalu menegakkan agama Islam
dan menentang tindakan-tindakan penjajah yang selalu menindas masyarakat
Indonesia.Langkah-langkah yang ditempuh diantaranya adalah peningkatan kekuatan
dalam bidang politik, budaya, ekonomi maupun dalam hal pendidikan.
Diantara
organisasi-organisasi Islam tersebut terdapat sebuah organisasi yang kita kenal
sebagai organisasi Persatuan Islam (Persis). Organisasi ini selain berupaya
untuk menumbuhkan rasa nasionalisme pada masyarakat juga berupaya untuk
menanamkan kesadaran pada masyarakat akan pentingnya pendidikan terutama
pendidikan agama. Upaya tersebut dilakukan untuk meminimalisir keterbelakangan
rakyat Indonesia dan memberikan modal keagamaan bagi mereka untuk menghadapi
perlawanan-perlawanan yang datang dari luar.
Persatuan
Islam didirikan di Bandung pada tanggal 12 September 1923. Persatuan Islam ini
berdiri ketika di daerah-daerah lain itu telah mengadakan pembaharuan didalam
agama dan di Bandung ini terlihat agak lambat didalam mulai pembaharuan
dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Persis didirikan dengan tujuan untuk
memberikan pemahaman Islam yang sesuai dengan aslinya yang dibawa oleh
Rasulullah Saw dan memberikan pandangan berbeda dari pemahaman Islam
tradisional yang dianggap sudah tidak orisinil karena bercampur dengan budaya
local, sikap taklid buta, sikap tidak kritis, dan tidak mahu menggali Islam
lebih dalam dengan membuka Kitab-kitab Hadits yang shahih.
Berbicara
tentang persatuan islam, maka tidak akan terlepas dari sosok seorang ulama yang
bernama A. Hassan, Yaitu seorang keturunan Indonesia India. Untuk mengetahui
lebih lanjut mengenai riwayat hidup A. Hassan, maka di sini penulis akan
memaparkan lima point mengenai A. Hassan yaitu riwayat hidup, pendidikan,
pekerjaan, pengaruh pemikiran serta mengenai keluarga beliau.
B.
Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah dalam penulisan makalah ini adalah :
1.
Bagaimana
riwayat hidup A. Hassan dari awal sampai meninggal?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan dalam makalah ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui bagaimana riwayat hidup A. Hassan dari awal sampai meninggal
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat hidup A. Hassan
Ustadz Ahmad Hassan, untuk
selanjutnya disebut dengan A. Hassan, lahir di Singapura para tahun 1887,
berasal dari keluarga campuran Indonesia dan India. Ayahnya bernama Sinna Vappu
Maricar, tetapi ia lebih di kenal dengan nama Ahmad. Ia seorang penulis yang
ahli dalam agama islam dan kesusastraan Tamil, ia juga pemimpin surat kabar “Nurul Islam” yang terbit di Singapura.
Dalam memimpin surat kabar itu, Ahmad dibantu oleh Ahmad Gani (ipar hasan) dan
Abdul Wahid. Ahmad suka berdebat dalam masalah bahasa dan agama serta
mengadakan tanya jawab dalam surat kabarnya.[1]
Ibunya bernama Muznah, ia lahir di Surabaya, tetapi keluarganya berasal dari
palekat Madras. Ahmad dan Muznah menikah di Surabaya dan kemudian mereka
menetap di Singapura.
Pada kira-kira usia tujuh tahun, A.
Hassan, sebagaimana anak-anak pada umunya, bersekolah dan mengaji. Ia mulai
bekerja mencari nafkah pada usia 12 tahun sambil berusaha belajar privat untuk
menguasai bahasa arab dengan bermaksud agar dapat memperdalam pengetahuannya
tentang islam. Pelajaran yang diterima A. Hassan pada saat itu sama saja dengan
apa yang diterima oleh anak-anak lain, seperti tata cara shalat, wudlu dan
shaum.
B.
Pendidikan A. Hassan
Sekitar umur tujuh tahun, Hassan
belajar Al-Quran dan agama. Setelah itu ia masuk ke sekolah Melayu. Disini, ia
belajar bahasa Arab, Melayu, Tmil dan Inggris. Hassan tidak pernah menamatkan
sekolah dasarnya di Singapura.Dia telah mulai bekerja ketika berumur 12
tahun.Ia bekerja pada sebuah toko kepunyaan iparnya, Sulaiman, sambil belajar
mengaji pada Haji Ahmad di Bukittiung dan pada Muhammad Thalib, seorang guru
yang terkenal di Minto Road. Haji Ahmad bukanlah seorang alim besar, tetapi
buat ukuran Bukittiung ketika itu, ia adalah seorang guru yang disegani dan
berakhlak tinggi.[2]
Ahmad Hassan lebih banyak
mempelajari ilmu nahwu dan ilmu sharaf pada Muhammad Thalib. Pada saat gurunya
pergi menunaikan ibadah haji, ia beralih mempelajari bahasa arab pada Said
Abdullah Al-Musawi selama tiga tahun. Di Samping itu, ia pun belajar pada pamannya,
Abdul Lathif seorang ulama terkenal di Malaka dan Singapura., serta belajar
pula pada syekh Ibrahim ulama asal India. Semua upaya untuk mempelajari dan
memperdalam agama islam dari beberapa orang guru tersebut ditempuh sampai
kira-kira tahun 1910, menjelang ia berusia 23 tahun
C. Pekerjaan A. Hassan
Pada masa kecil Hassan bekerja
sebagai tukang, serta membantu ayahnya dalam percetakan. Setelah menginjak umur
remaja ia menjadi pelayan toko, kemudian dagang permata, minyak wangi, es,
vulkanisir ban mobil dan kira-kira setahun bekerja sebagai kerani Jiddan
Pilgrim’s Office, yaitu sebuah kantor yang didirikan oleh Mansfield dan Assegaf
yang mengurus perjalanan haji.
Disamping usaha-usah tersebut tahun
1910 hingga tahun 1921, A. Hassan juga menekuni berbagai macam pekerjaan di
Singapura. Sejak tahun 1910 ia telah menjadi guru tidak tetap di madrasah
orang-orang India di Arab Street, Bagdad Street, dan Geylang hingga tahun 1913.
Kemudian menjadi guru tetap menggantikan Fadlullah Suhaimi pada Madrasah
Assegaf di jalan Sulthan. Sekitar tahun 1912-1913, A. Hassan menjadi anggota reaksi surat kabar Utusan Melayu
yang di terbitkan oleh Singapore Press di bawah pimpinan Inche Hamid dan
Sa’dullah Khan.
Tulisan Hassan pertama kali ialah
mengecam Qadli yang memeriksa perkara dengan mengumpulkan tempat duduk pria dan
wanita.Ia juga dalam salah satu pidatonya mengencam kemunduran umat islam,
sehingga oleh karena itu dianggap politik, maka ia tidak memperkenankan lagi
berpidato.
Setelah berhenti beberapa saat, maka
pada tahun 1915/1916 ia kembali membantu surat kabar ini , dengan bentuk
tulisan yang sama. Dalam karimnya sebagai pengarang di Singapura, ia juga
membuat cerita humor berjudul “Tertawa”
sebanyak empat jilid.
Pada tahun 1921, A. Hassan hijrah dari Singapura ke
Surabaya dengan maksud untuk mengambil alih pimpinan toko tekstil milik
pamannya, Haji Abdul Lathif. Pada masa itu Surabaya menjadi tempat pertikaian
antara kaum muda dengan kaum tua.Kaum muda di pelopori oleh Faqih Hasyim,
seorang pendatang yang menaruh perhatian terhadap masalah-masalah keagamaan.Ia
memimpin kaum muda dalam upaya melakukan gerakan pembaharuan pemikiran islam di
Surabaya dengan cara tukar pikiran, tabligh, diskusi-diskusi keagamaan. Haji
Abdul Lathif paman A. Hassan yang juga gurunya pada masa A. Hassan masih kecil,
mengingatkan A. Hassan agar tidak melakukan hubungan dengan Faqih Hasyim yang
dikatakan telah membawa masalah pertikaian agama di Surabaya, dan dianggap pula
oleh pamannya sebagai orang wahabi.
Dalam suatu kunjungannya kepada Kiyai Haji
Abdul Wahab, yang kemudian menjadi seorang tokoh Nahdatul Ulama, A. Hassan
lebih banyak mendengar tentang pertikaian kaum muda dengan kaum tua. Dalam
sebuah percakapan A. Hassan dengan Kiyai Wahab. Kiyai ini mengambil salah satu
contoh pertentangan dalam masalah ussalli
(pembacaan niat sebelum shalat) yang di peraktekan oleh kaum tua sebelum
melakukan shalat sebelum bersuara, tetapi kaum muda menolak karena tidak ada
dasarnya dari al-Qur’an dan Hadits Nabi. [3]
Besoknya ia mulai menyelidiki kitab Shahih Bukhari kemudian Shahih
Muslim serta ayat-ayat Al-Quran, tetapi alasan ushalli tidak ditemukan. Pendiriannya membenarkan kaum muda bertambah tebal.
Dengan demikian maksudnya untuk
semata-mata berdagang tidak dapat di pertahankan, bahkan kemudian bergaul rapat
dengan Faqih dan golongan muda lainnya. Faqih Hasyim adalah seorang yang berasal dari Padang dan
berdiam di Surabaya kira-kira lima tahun. Sebagaimana pedagang ia acap kali
pergi ke Bandung dan pada kesempatan ini pula menyebarkan pendiriannya tentang
agama di kota tersebut. Betapa rapatnya hubungan Hassan denga Faqih ini,
seorang anaknya yang bernama Noer di pungut oleh Hassan.
Dalam kesempatan bergaul dengan
golongan muda itu pula Hassan berkenalan dengan tokoh-tokoh Syarikat Islam,
seperti HOS Cokroaminoto, AM Sangaji, Bakrisurotmojo, Wondoaminseno, dan
lain-lain.
Urusan daganganya di Surabaya pada
akhirnya mengalami kemunduran dan toko yang diurusnya diserahkan kembali pada
pamannya.Ia mulai usaha lain dengan membuka perusahaan tambal ban mobil, tetapi
tidak lama kemudian tutup. Melihat usaha Hassan tidak mengalami kemajuan yang
berarti, dua orang sahabatnya Bibi Wantee dan Muallimin, mengirim A. Hassan
untuk mempelajari pertenunan di Kediri kemudian melanjutkan belajarnye ke
Bandung.Inilah A. Hassan tinggal pada keluarga Muhammad Yunus, salah seorang
pendiri organisasi Persatuan Islam (Persis). Dengan demikian tanpa sengaja A. Hassan
telah mendekatkan dirinya pada pusat kegiatan penelaahan dan pengkajian islam
dalam jam’iyyah persis.
Ia sangat tertarik dalam masalah
keagamaan. Pada akhirnya dia pun tidak lagi berminat mendirikan perusahaan
tenunnya di Surabaya, tetapi di Bandung, yang rupanya di setujui oleh
kawan-kawannya. Akan tetapi urusan tenun yang didirikan gagal sehingga terpaksa
ditutup. Sejak itulah minatnya untuk berusaha tidak ada lagi, malahan kemudian
ia mengabdikan dirinya dalam penelaahan dan pengkajian Islam lalu berkiprah
secara total dalam jam’iyah Persis.
Untuk menelusuri perubahan sikap A.
Hassan dalam agama, tidak mudah untuk disimpulkan apakah terjadinya perubahan
itu sejak ia belajar kepada para guru dan ulama ketika masih di Surabaya atau
ketika ia bergaul di lingkungan jam’iyyah Persis di Bandung. Namun nampak
perubahan ini datang lambat laun karena berbagai hal yang mempengaruhi sikap A.
Hassan terhadap agama, antara lain pengaruh keluarga, pengaruh bacaan dan
pengaruh pergaulan. Sehingga pada akhirnya ia mempunya dikap keagamaan yang
mirip dengan gerakan wahabi.
Sebelum itu, A. Hassan telah sering
melakukan kritik-kritik terhadap praktek yang tidak berdasarkan Al-Quran dan
As-Sunnah, meskipun tidak sekeras setelah ia berada di Bandung dalam naungan
jam’iyyah Persis. Kritik A. Hassan banyak di muat dalam surat kabar Utusan Melayu yang terbit di Singapura.
Salah satu kritiknya antara lain mrngungkapkan masalah taqbil atas pengalamannya sendiri.
Sekitar tahun 1917 A. Hassan
mempunyai hasrat untuk menulis sebuah buku tentang Islam yang didasarkan ataas
al-Quran dan hadits shahih, tetapi ditinggalkannya maksud tersebut ketika ia
mengetahui beberapa ajaran Syafi’i berlaawanana dengan studinya tentang
Al-quran dan As-Sunnah. Selain itu, ia masih belum berani untuk meninggalkan
atau menolak ajaran-ajaran madzhab Syafi’i.[4]
D.
Pengaruh Terhadap Fikiran Hassan
untuk mengatakan bahwa A. Hassan datang di
Surabaya sama sekali masih berfahan tua dan
baru berubah satelah bertemu dengan Wahab Hasbullah, adalah tidak mutlak banar.
Pengaruh perubahan itu lebih tepat bila dikatakan terjadi berangsur-angsur pada
dirinya, sungguhpun harus diakui bahwa aadakalanya kejaadian atau saat tertentu
dalam hidup seseorang bisa memberi bekas yang mengubah sama sekali jalan
fikirannya. Pengaruh-pengaruh
yang berbekas pada diri Hassan itu antara lain:
1. Pengaruh Turunan
Ketika Hassan masih kecil, di
Singapura terkenal empat orang yang berasal dari India, yaitu : (a) Thalib
Rajab Ali (b) Abdurrahman (c) Jaelani (d) Ahmad, ayah Hassan. Waktu masih kecil
Hassan sering melihat ayahnya bila mengantarkan mayat, setelah dikubur, ia
langsung pulang tanpa mengikuti ucapan talqin.
Keempat orang itu, di Singapura
terkenal berfaham Wahabi, karena tidak membenarkan talqin, ushalli, tahlilan
dan lain sebagainya, yang semuanya itu ditentang oleh gerakan Wahabi. [5]
Wahabi adalah suatu istilah yang
dinisbatkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1791), seorang ulama yang
mengadakan gerakan pemurnian agama Islam, terutama di bidang aqidah. Ia
bergerak di daerah Nejed Arabia yang akhirnya berhasil memperoleh dukungan
kekuatan dan kekuasaan Ibnu Su’ud. Corak gerakannya amat radikal, menggunakan
kekerasan dengan membongkar bangunan-bangunan yang amat di hormati oleh tradisi
sebagian ummat islam ketika itu, termasuk mesjiid-mesjid, kuburan Sahabat Nabi
dan lain-lain. Berbagai kalangan termasuk sebagian ummat Islam, menganggap
gerakan itu menghancurkan nila-nilai tradisi islam[6].
Nama Wahabi asal mulanya diberikan
oleh lawan-lawan gerakan itu serta orang-orang Eropa, tetapi akhirnya menjadi
istilah yang umum dipakai. Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikut-pengikutnya
menamakan gerakan mereka “Muwahhidin” sehubungan
dengan perhatian mereka terhadap masalah-maasalah tauhid[7].
2. Pengaruh Bacaan
Bacaan yang ikut mempengaruhi jalan
fikiran Hassan antara lain:
-
Kira-kira
tahun 1906-1907, Abdul Ghani, ipar Hassan telah berlangganan majalah Al-Manar yang terbit di Mesir. Hassan
pun membacanya meski tidak menguasai isinya.
-
Majalah
Al-Imam yang mula-mula dipimpin oleh Al-Hadi kemudian
Thahir Jalaluddin dan akhirnya Abbas. Al-Imam ketika itu termasuk pembawa faham
baru. Thahir Jalaludin adalah teman seperjuangan ulama-ulama Minangkabau
seperti Abdul Karim Amrullah, Jamil Jambek, Abdullah Ahmad dan lain-lain.
Thahir Jalaludin dikenal sebagai pembawa faham baru, dan Hassan pun
mendengarnya sebagai seorang yang mengubah agama.
-
Sekitar
tahun 1914-1915, Hassan mendapat buku “Kafa’ah,
tulisan Ahmad Sukarti yang mengeluarkan fatwa bahwa dengan muslimah boleh
kawin tanpa memandang golongan dan derajat.
-
Ketika
di Surabaya, sesudah satu setengah tahun diam tanpa memperhatikan soal faham
agama, ia melihat buku karangan Ibnu Rasyd “Bidayatul
Mujtahid” pada saat bertemu di rumah sahabatnya Bibi Wantee. Buku tersebut
dibuka hanya waktu tuan rumah pergi dari rumah mereka berbicara. Buku itu
menarik perhatiannya sehingga besoknya ia membeli di toko buku. Ibnu Rasyid
dalam bukunya itu membuat perbandingan keempat madzhab fiqih.
-
Bacaan
yang berpengaruh ketika ia di Bandung antara lain:
1. Zadul
Ma’ad, karangan Ibnu Qayyim Al-Jauzi
2. Nailul
Authar, karangan Asy-Syaukani
3. Al-Manar,
bagian fatwa.
3. Pengaruh Pergaulan
a. Pada waktu di Singapura, selain mendapat pengaruh ayahnya, ia juga
bergaul dengan salah seorang guru dari Mesir yang sama-sama mengajar di Sekolah
Assegaf. Dalam beberapa kali pertemuan Hassan mencium tangan (tabil) seseorang
yang termasuk golonngan sayyid. Pada
waktu makan malam di rumah kawannya itu Hassan dicaci-maki karena sikapnya
dianggap menghinakan diri terhadap sesama manusia. Hal inni mendorong Hassan
menulis dalam “Utusan Melayu” tentang
taqbil. Tulisan itu bersifat pertanyaan dengan kesimpulan “apakah soal tersebut
tidak merendahkan sesuatu golongan diantara kaum muslimin”. Di samping itu,
sekitar tahun 1917 ia bersama Hisyam Yunus (pengarang Warta Melayu) berniat mengarang sebab buku agama yang semata-mata
beralasan Al-Quran dan A-Sunnah. Niat ini sampai pada usaha mengatakan
persiapan-persiapan tetapi setelah menelaah kitab Shahih Bukhari mereka bertemu
beberapa hal yang bertentangan dengan Madzhab Syafi’i, misalnya tentang air
musta’mal. Oleh karena mereka tidak berani menentang ajaran Madzhab Syafi’i
maka niatnya itu dibatalkan.
b. Pada waktu di Surabaya, ia bergaul akrab dengan Faqih Hasyim serta
menghadiri pertemuan-pertemuan Al-Irsyad di bawah bimbingan Ahmad Surkati.[8]
c. Pada waktu di Bandung, ia bergaul akrab dengan Muhammad Yunus dan
Zamzam, pendiri Persatuan Islam.
E.
Keluarga
Hassan kawin pada tahun 1911 di
Singapura dengan seorang peranakan Tamil-Melayu dari keluarga pedagang dan
pemegang agama.Orang tersebut bernama Maryam dan dialah satu-satunya istri
serta mempunyai tujuh orang anak.Semua anaknya dididik sendiri dalam sekolah
Persatuan Islam.Mereka adalah (1) Abdul Qadir, (2) Jamilah, (3) Abdul Hakim,
(4) Zulaikha, (5) Ahmad, (6) M. Said, (7) Manshur.[9]
Kiprah A. hassan di Persis sejalan
dengan “program jihad” jam’iyyah Persis yang ditujukan terutama pada penyebaran
cita-cita dan pemikirannya; yakni menegakan al-Quran dan as-sunnah. Hal ini ia
lakukan dengan berbagai aktivitas, antara lain dengan mengadakan tabligh,
kursus pendidikan islam bagi generasi muda, mendirikan pesantren, menerbitkan
berbagai buku, majalah, dan selebaran-selebaran lainnya. Persis benar-benar
mendapat tenaga yang luar biasa dengan keberanian A. Hassan dalam setiap
perdebatan, meskipun kadang-kadang berlangsung sangat keras, namun hal ini
menyebabkan terbukanya pemikiran kritis dalam menghancurkan taqlid dan
kejumudan di kalangan umat Islam.
Masa-masa berikutnya boleh dikatakan
perkembangan Persis dengan A. Hassan menjadi identik.Pandangan-pandangannya
memberikan bentuk dan kepribadian yang nyata, dan dalam waktu yang bersamaan
telah menempatkan Persis dalam barisan “muslim medernis” di Indonesia. A.Hassan
dengan Persisnya atau persis dengan A. Hassannya banyak terlibat dalam berbagai
pertukaran pikiran,dialog terbuka, perdebatan, serta polemic di berbagai media
massa.
Menjelang pendudukan Jepang, pada
tahun 1941, A. Hassan terpanggil untuk ke Surabaya.Kepindahannya ke Surabaya
diikuti pula oleh sebagian para santrinya dari pesantren Persis Bandung. Di
Bangil, kota kecil dekat Surabaya, ia mendirikan pesantren Persis seperti yang
pernah dilakukannya di bandung untuk mendidik para santrinya. Di Bangil inilah,
di samping kegiatan sehari-harinya sebagai pendidik, perhatian A. Hassan ditumpahkan
pada penelitian agama Islam Lngsung dari sumber pokoknya al-Quran dan
as-Sunnah. Puncaknya, A. Hassan berhasil menyusun tafsir al-Quran yang diberi
judul Al-Furqan yang merupakan tafsir al-Quran pertama di Indonesia yang
diterbitkan secara lengkap pertama kali tahun 1956.Selain itu, A. Hassan terus
aktif menyampaikan pandangan dan pendiriannya tentang agama Islam dalam
berbagai penerbitan, di samping membalas surat-surat dari berbagai pelosok
tanah air mengenai masalah-masalah agama.
A. Hassan adalah sosok ulama yang
sangat menaruh perhatian terhadap para pemuda Islam yang sedang bersekolah di
sekolah-sekolah milik pemerintah colonial Belanda yang sangat kurang memberikan
pelajaran agama Islam. A. Hassan menyadari bahwa anak-anak muda yang tengah menuntut
ilmu itu adalah calon pemimpin di masaa datang yang perlu dibekali dengan
pengetahuan agama yang memadai tekad A. Hassan untuk menarik para pemuda
pelajar itu sangat kuat, bagaimanapun sibuknya, ia senantiasa menyempatkan diri
untuk berbicara dengan para pemuda pelajar itu.ditundanya pekerjaan yang sedang
dikerjakannya, baik sedang mengoreksi buku atau sedang menyusun tafsir,
bercakap-cakap dengan para pemuda calon pemimpin ummat, itu dianggapnya lebih
penting.
Mohammad Natsir adalah salah seorang
yang terlibat dalam proses kaderisasi di bawah pimpinan A. Hassan. Dalam proses
kaderisasi itu, kepribadian A. Hassan menampilkan kesan tersendiri bagi
murid-muridnya. Dalam tulisannya yang berjudul “Membina Kader Bertanggungjawab”
Natsir menuli; “…Kami, beberapa orang pemuda Islam yang berada di
sekelilingnya, biasanya setiap sore datang ke rumah beliau.Beliau selalu
menyambut kedatangan kami dengan hati terbuka dan serius.Ketika itulah beliau
memberikan tuntunan yang berguna, pelajaran akhlak menurut yang dicontohkan
Rasulullah SAW.Beliau memperlihatkan rasa dekatnya kepada kami.”
Natsir selanjutnya mengisahkan salah
satu contoh dalam proses kaderisasi yang dilakukan A.Hassan dalam hal melatih
memberikan reaksi terhadap tantangan yang dilancarkan oleh kelompok non-Islam.
Pada suatu hari, surat kabar berbahasa Belanda Algmeen Indisch Dagblad (AID) di
Bandung menurunkan tulisan khotbah seorang pendeta bersama Christoffles, isinya
menghina Nabi Muhammad SAW. Natsir meminta pandangan A. Hassan tentang perlunya
menangkis penghinaan itu, dan bahkan mengharapkan A. Hassan untuk membantahnya.
A. Hassan menyatakan keharusan itu, tetapi mengusulkan agar Natsir sendiri yang
menulisnya. Setelah selesai, tulisan itu tidak dibawa lagi ke A. Hassan, karena
Natsir sudah menduga akan dikembalikan lagi dengan alasan bahwa A. Hassan tidak
mengerti bahasa Belanda. Setelah tulisan itu dimuat dalam surat kabar AID, A.
Hassan tersenyum dan menyatakan terima kasihnya. Tulisan itu kemudian terbit
dalam bentuk risalah berjudul Muhammad als Profeet.
Dari pengalaman seperti ini Natsir
menyatakan kesannya sebagai berikut: “…beliau tidak mau menyuapkan sesuatu
ibarat makanan kepada kader-kadernya, tetapi haruslah berbuat sendiri dengan
penuh tanggung jawab. Semboyannya adalah “bila seorang bayi selalu di pangku
saja, dia tidak akan pandai berjalan”.Kalau beliau sudah menyetujui sesuatu,
maka hendaklah kita pandai sendiri menyelesaikannya.Beliau mendidik kadernya
berani bertanggungjawab dan sanggup berjuang menghadapi masalah-masalah,
walaupun bagaimana rumitnya.Inilah yang dinilainya baik bagi angkatan pemuda
Islam.Kami, pemuda-pemuda yang berada di dekat beliau selalu disiplin dengan
ketat, dan diberi tanggung jawab masing-masing.Jika kami mengajukan suatu
masalah agama, beliau tidak menjawabnya langsung, tetapi disuruhnya mencari
dalam kitab-kitab yang ada dalam berbagai bahasa, terutama Arab dan
Inggris.Saya diberi tugas tertentu, demikian juga Fakhruddin al-Kahiri,
Abdurrahman, Qamaruddin Saleh, Isa Anshary, dan lainnya.
Hassan juga adalah orang yang
memberikan pencerahan tentang Islam kepada Soekarno.Perkenalannya dengan Bung
Karno diawali ketika keduanya sama-sama bertemu di percetakan Djukerij
Ecunomy milik orang Cina. Pada waktu itu Soekarno sedang mencetak surat
kabar propaganda politiknua, Fikiran Rakyat, sementara A. Hassan mencetak
majalah-majalah dan buku-buku yang ia terbitkan. Dalam setiap pertemuannya di
percetakan itu, antara keduanya sering terjadi dialog berbagai masalah.Rupanya
sejak bergaul dengan A. Hassan, Soekarno yang tadinya kurang memahami betul
tentang Islam, sedikit demi sedikit terbuka hatinya.Demikianlah, Soekarno mulai
banyak belajar agama Islam kepada A. Hassan meski pada tahap permulaan hanya
melalui obrolan di percetakan.Lambat laun Soekarno belajar lebih aktif melalui
buku-buku dan majalah-majalah karangan A. Hassan.
Terlebih lagi ketika Soekarno
menjalani hukuman pembuangan oleh pemerintah colonial Belanda di Endeh,
Flores.Dalam kesepiannya Bung Karno merasa terhibur dengan datangnya kiriman
buku-buku dan majalah-majalah dari A. Hassan. Setiap kapal yang merapat di
Endeh, selalu membawa kiriman dari Bandung, dari tuan Hassan. Isinya tidak
hanya buku dan majalah tetapi juga makanan kegemaran Bung Karno, biji jambu
mede. Sejak di Endeh flores itulah, Soekarno mengakui A. Hassan sebagai gurunya
dalam hal agama. Lihatlah beberapa surat yang dikirimkannya kepada A. Hassan
yang terdapat dalam buku karangan Soekarno “Dibawah Bendera Revolusi” dalam
satu bab khusus “Surat-surat Islam Dari Endeh; Dari Ir. Soekarno kepada Tuan
Hassan, guru “Pesantren Islam”.
Surat-surat Islam dari Ir.
Soekarno kepada A. Hassan dapat menjadi
saksi begitu dekatnya Soekarno dengan A. Hassan, meskipun sebelumnya terjadi
polemic yang berkepanjangan tentang Island an faham kebangsaan. Dalam tulisan-tulisannya
di majalah Pembela Islam, A. Hassan selalu menghantam kaum nasionalis netral
agama di bawah pimpinan Soekarno dan kawan-kawannya. Hal ini terbukti ketika
Soekarno berada di dalam penjara
Sukamiskin, A. Hassan dan kaum pembela Islam rajin menjenguknya dan memberukan
buku-buku bacaan dalam penjara itu. Inilah satu hal yang istimewa dalam diri A.
Hassan.Beliau menganggap Soekarno adalah lawannya, dan Soekarno tak pernah
mendapat pijian dari padanya tentang gerakan dan cita-cita nasionalismenya, kecuali
hanya kritik dan hantaman tajam.Tetapi, ketika Soekarno berada I pembuangannya
di Endeh, A. Hassan memperlihatkan kebersihan hati dan jiwanya; A. Hassan
beranggapan bahwa Soekarno adalah seorang muallaf yang perlu diberi bimbingan
ruh batiniahnya dengan keislaman.Ia menganggap Soekarno adalah kawannya yang
selalu ditentangnya, kawan yang selalu menjadi lawan polemic dan kritik. Dalam
hal ini tepatlah jika Tamar Djaja mengistilahkan A. Hassan dengan perumpamaan
“Singa dalam tulisan, tapi domba dalam pergaulan”.
Pada hari senin, tanggal 10 Nopember
1958 di rumah Sakit Karangmenjanga (Rumah Sakit Dr. Soetomo), Surabaya, A.
Hassan berpulang ke Rahmatullah dalam usia 71 tahun. Ulama besar yang dikenal
dengan A. Hassan Bandung (ketika masih di Bandung) atau A. Hassan Bangil (sejak
bermukim di Bangil) telah menorehkan sejarah baru dala gerakan pemurnian ajaran
Islam di Indonesia dengan ketegasan, keberanian, dan kegigihannya dalam
menegakkan al-Quran dan as-Sunnah meski kadan disampaikannya dengan pemikiran yang
radikal. Dengan ciri-ciri seperti ini tepat sekali ketika Syafiq A. Mughni
(1980) memberi judul bukunya tentang A. Hassan dengan judul Hassan bandung.
Pemikiran Islam Radikal.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ustadz Ahmad
Hassan, untuk selanjutnya disebut dengan A. Hassan, lahir di Singapura para
tahun 1887, berasal dari ekeluarga campuran Indonesia dan India. Ayahnya
bernama Sinna Vappu Maricar dan ibunya bernama Muznah. Hassan menikah pada tahun 1911 di Singapura dengan seorang
peranakan Tamil-Melayu dari keluarga pedagang dan pemegang agama. Orang
tersebut bernama Maryam dan dialah satu-satunya istri serta mempunyai tujuh
orang anak.Semua anaknya dididik sendiri dalam sekolah Persatuan Islam.Mereka
adalah (1) Abdul Qadir, (2) Jamilah, (3) Abdul Hakim, (4) Zulaikha, (5) Ahmad,
(6) M. Said, (7) Manshur.
Sekitar umur
tujuh tahun, Hassan belajar Al-Quran dan agama. Setelah itu ia masuk ke sekolah
Melayu. Disini, ia belajar bahasa Arab, Melayu, Tmil dan Inggris. Hassan tidak
pernah menamatkan sekolah dasarnya di Singapura.Pada masa kecil pula Hassan
bekerja sebagai tukang, serta membantu ayahnya dalam percetakan. Setelah
menginjak umur remaja ia menjadi pelayan toko, kemudian dagang permata, minyak
wangi, es, vulkanisir ban mobil dan kira-kira setahun bekerja sebagai kerani
Jiddan Pilgrim’s Office, yaitu sebuah kantor yang didirikan oleh Mansfield dan
Assegaf yang mengurus perjalanan haji.
Dan adapun
mengenai Pengaruh terhadap pemikiran A Hasan dipengaruhi oleh beberapa hal
yaitu keturunan, Bacaan dan pergaulan
[1] Deliar Noer, Riwayat Hidup Hassan, (Bangil: Pesantren
Persatuan Islam Bangil Bagian Putera, tt), hal. 1
[2] Dr. Syafiq A.
Mugni, M.A., PhD, Hassan Bandung
Pemikiran Islam Radikal, hal. 12
[3]Panduan Hidup
Berjamaan di Jm’iyah Persis
[4]Panduan Hidup
Berjamaah di Jam’iyah Persisi, hal. 120
[5]Delian
Noer, hal. 9
[6] A.
Hanafi, Pengantar Theologi Islam (Djakarta:
Djaja mumi, 1967), hal. 145-146
[7]Ahmad
Amin, Zu’ama’ul Ishlah Fil ‘Ashril Hadits
(Kairo: Maktabah Nahdlah Mishriyyah, 1965), hal. 10.
[8]Bisri
Affandi, “Shhaykh Ahmad Century” (Tesis
MA yang tak diterbitkan, institute of Islamic Studies Mc. Gill University,
Montreal, 1976), hal. 62
[9]Abdul
Qodir Hassan, Kepala Pesantren Persis Bangil, wawancara, Bangil, 20 Mei 1978
Tidak ada komentar:
Posting Komentar