BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Perbedaan idul fitri dan idul adha sering terjadi di indonesia.
Penyebab utama bukan perbedaan metode hisab (perhitungan) dan rukyat
(pengamatan), tetapi pada perbedaan kriterianya. Kalau mau lebih spesifik merujuk
akar masalah, sumber masalah utama adalah muhammadiyah yang masih kukuh
menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan sudah positif di atas ufuk,
tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan
rukyat, batas kemungkinan untuk diamati) atau lebih rendah lagi, dapat
dipastikan terjadi perbedaan. Perbedaan terakhir kita alami pada idul fitri
1327 h/2006 m dan 1428 h/2007 h serta idul adha 1431/2010. Idul fitri 1432/2011
tahun ini juga hampir dipastikan terjadi perbedaan. Kalau kriteria muhammadiyah
tidak diubah, dapat dipastikan awal ramadhan 1433/2012, 1434/2013, dan
1435/2014 juga akan beda. Masyarakat dibuat bingung, tetapi hanya disodori
solusi sementara, “mari kita saling menghormati”. Adakah solusi permanennya? Ada,
muhammadiyah bersama ormas-ormas islam harus bersepakati untuk mengubah
kriterianya.
Mengapa perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang
sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk? Kita ambil kasus penentuan
idul fitri 1432/2011. Pada saat maghrib 29 ramadhan 1432/29 agustus 2011 tinggi
bulan di seluruh indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang, tetapi sudah
positif. Perlu diketahui, kemampuan hisab sudah dimiliki semua ormas islam
secara merata, termasuk nu dan persis, sehingga data hisab seperti itu sudah
diketahui umum. Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini
bisa menghisabnya. Dengan posisi bulan seperti itu, muhammadiyah sejak awal
sudah mengumumkan idul fitri jatuh pada 30 agustus 2011 karena bulan (“hilal”)
sudah wujud di atas ufuk saat maghrib 29 agustus 2011. Tetapi ormas lain yang
mengamalkan hisab juga, yaitu persis (persatuan islam), mengumumkan idul fitri
jatuh pada 31 agustus 2011 karena mendasarkan pada kriteria imkan rukyat
(kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat maghrib 29 agustus 2011 bulan masih
terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati. Nu yang mendasarkan
pada rukyat masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian
sebelumnya seperti 1427/2006 dan 1428/2007, laporan kesaksian hilal pada saat
bulan sangat rendah sering kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan
seringkali pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal.
Jadi, selama muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul
hilalnya, kita selalu dihantui adanya perbedaan hari raya dan awal
ramadhan. Seperti apa sesungguhnya hisab
wujudul hilal itu? Banyak kalangan di intern muhammadiyah mengagungkannya,
seolah itu sebagai simbol keunggulan hisab mereka yang mereka yakini, terutama
ketika dibandingkan dengan metode rukyat.
Tentu saja mereka anggota fanatik muhammadiyah, tetapi sesungguhnya
tidak faham ilmu hisab, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal.
Penentuan dan penetapan waktu dalam pelaksanaan
ibadah-ibadah tersebut itu menjadi sangat penting artinya untuk kemantapan;
keyakinan serta menghapuskan keragu-raguan apa lagi dalam hal pelaksanaan
ibadah mahdhah. Dan masyarakat tidak dibuat bingung dengan
beranekaragamnya praktek yang terdapat di tengah-tengah masyarakat.
Di antara sumber yang merupakan salah satu akar
permasalahan penyebab perbedaan tersebut adalah penafsiran tentang hadits
adanya hilal. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang perbedaan
persamaan wujudul hilal.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
itu wujudul hilal ?
2.
Apa
itu astronomi ?
3.
Bagaimana
perbedaan dan persamaan wujudul hilal dan astronomi?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui apa itu wujudul hilal.
2.
Untuk
mengetahui apa itu astronomi.
3.
Untuk
mengetahui perbedaan dan persamaan wujudul hilal dan astronomi.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Wujudul Hilal
Wujudul hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender)
hijryah dengan menggunakand dua prinsip: ijtimak (konjungsi) telah terjadi
sebelum matahari terbenam (ijtma’ qoblal ghurub), dan bulan terbenam setelah
matahari terbenam (moonset after sunset) maka pada petang hari tersebut
dinyatakan sebagai awal bulan kalender hijryah, tanpa melihat berapapun sudut
ketinggian (altitude) bulan saat matahari terbenam.
Ada
dua metode hisab yang seringdipertentangkanpertama imkanurrukyat dankedua wujudulhilal.Dari
duametodeitu wujudulhilal yang
dipilihPersyarikatan.PilihanPersyarikatanpadahisabwujudulhilalsejalandenganprinsipkeilmuan
yang dikemukakanolehFilsufbernama William Ockham Razor (1280-1347) yang
menegaskanmanakalauntukmemastikansesuatuditemukanbeberapacarapastikanlahdengansatucara
yang lebihmudahdanmemberikankepastiansegera. Metode wujudulhilal memenuhiprinsip-prinsipkeilmuan
yang objektif,
murahdanmudahdanmemberikankepastian.Dikatakanobjektifkarenanilai-nilaiobjektivitas wujudulhilal betul-betuljauhdariprakiraan
yang sulituntukdirealisasikan.Iniberbedadenganmetode imkanuurrukyatyangmengasumsikanangkaderajattertentu
yang di
lapanganjarangsekaliteraplikasikan.Ironipadaimkaanurukyatadalahmetodehisab yang
semestinyamemberikankepastianmenjadisulituntukdiaplkasikankarenaadanyasyaratderajattertentu
yang
tidakdapatdikembalikanasal-usulnyapadaandasansyar’Idankelimuan.Dikatakanmurahdanmudahkarenadenganperangkat
yang sangatsederhanaseseorangdapatmempraktekkanmetodewujudulhilal di
manapunkapanpuntanpamemerlukanbiayasidangistbat yang miliaran rupiah
itu.Dikatakanmemberikankepastiankarena wujudulhilal dapatsegeramemastikansuatuperistiwaituterjadidalamwaktu
yang segerajauhsebelumperistiwaituterjadisehinggasegalasesuatu yang
dihajatkandapatdipersiapakanjauhsebelumhari H nya.Analogiwujudulhilalsamadenganlampulalulintas
yang digital itu. Tatkalaparapenggunakendaraanberhentimenungguberjalannyawaktutertentu
yang diprogramdansaatangkamenunjukkanangka 0 parapengendara pun
bersiap-siapmelajukankendaraannyatanpamenungguangka digital di
lampumenunjukangka 2, 3,4, 5 danseterusnya.
Hisab
yang diusung Muhammadiyah adalah metodeyang semata-mata mengandalkan
perhitungan astronomi dalam menentukan bulanbaru. Metode hisab ini di
Muhammadiyah dinamai “Wujudul Hilal”. Kriterianyaadalah:
1. Telahterjadinya
ijtimak/konjungsi antara bumi, bulan dan matahari
2.
Bulantenggelam belakangan setelah matahari tenggelam pada petang itu.
Kekuatandari
metode ini adalah: Kemudahan dan kepastian. Karena dalam astronomi,
semuapergerakan benda2 angkasa sudah bisa dipetakan dan dibuat rumus atau
dibuattabel untuk tahun2 ke depan. Kelemahan dari metode ini adalah:
membuangsama sekali faktor “rukyat” atau melihat bulan. Padahal di hadits2
shahih jelassekali menerangkan faktor “keterlihatan” hilal.
Rukyat
adalah metode menentukan bulan baru dengan pengamatan/observasi semata. Jikalau
bulan tidak terlihat/terhalang,maka hitungan hari pada bulan tersebut
digenapkan menjadi 30. Sebaliknya jika bulan kelihatan pada petang tersebut,
maka keesokan harinya adalah tanggal 1.
Kekuatanmetode
ini: Sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh nash2 shahih, yaitudengan
me”rukyat” /melihat hilal. Kelemahan metode ini adalah: Ketidak pastian.Kita
sebagai umat islam tentu menginginkan kalender hijriyah superior darisistem
penanggalan lainnya. Tetapi kalau tidak pasti, bagaimana kita bisamenonjolkan?
Misalkan jika memesan tiket pesawat tanggal 30 Julhijah seminggusebelumnya,
tetapi sehari sebelum keberangkatan ternyata hasil rukyatmenyatakan bulan
julhijah tahun itu hanya 29 hari, kan berarti tiketnya hangus.
Makanya ada jalan tengah, yaitu:
Imkanur
Rukyat adalah metode jalan tengah yang dimotori oleh pakar astronomi yang sudah
muak dengan perbedaan hisab vs rukyat. Dalam metode imkanur rukyat ini, ada
tambahankriteria seperti minimal tinggi bulan sebelum dirukyat dan atau umur
bulansebelum dirukyat dan atau lengkung sudut bulan terhadap matahari sebelum
dirukyat. Meskipun secara nominal belum ada kesepakatan misalkan berapa tinggi
bulan sebelum dirukyat, tetapi ini merupakan kemajuan yang sangat berarti
untukmenjembatani perbedaan hisab vs rukyat.
Kekuatan
metode imkanur rukyat adalah: Kepastian dan pemenuhan faktor rukyat yang
tertera di hadits2 shahih. Kepastian karena dengan menentukan minimal
berapaderajat ketinggian bulan sebelum dirukyat, akan meminimalkan kesalahan
prediksiapakah bulan akan terlihat atau tidak. Kelemahannya: boleh dibilang
tidak ada.Karena ini adalah hasil musyawarah, menentukan secara nominal
misalkan berapaketinggian bulan yang disepakati sebelum dirukyat.
Pemerintahdan
ormas-ormas Islam secara umum (kecuali Muhammadiyah) sudah bersepakat
untukmengedepankan metode imkanur rukyat, meskipun belum ada kesepahaman
berapanilai nominal dari tambahan kriteria rukyat tersebut. Pada umumnya ormas2
Islammensyaratkan minimal 2 derajat sementara para ahli astronomi
mengisyaratkanbulan sebenarnya tidak bakal terlihat jika masih di bawah 4
derajat di atasufuk setelah matahari tenggelam. Sementara Muhammadiyah masih
tetap bersikukuhdengan metode wujudul hilal yang murni penghitungan.
إِذَا
رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا
Dari
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian
melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari
rayalah. ” (HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080). Jadi hilal
harus terlihat dan bukan sekedar ada.
Mengenai
kriteria metode wujudul hilal disebutkan ada tiga sebagai berikut:
1-
telah terjadi ijtimak (konjungsi),
2-
ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan
3-
pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan
baru telah wujud).
Ketiga
kriteria ini penggunaannya adalah secara kumulatif, dalam arti ketiganya harus
terpenuhi sekaligus. Apabila salah satu tidak terpenuhi, maka bulan baru belum
mulai.
Atau
pemahaman mudahnya, “Jika setelah terjadi ijtimak, bulan terbenam setelah
terbenamnya matahari maka malam itu ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah
tanpa melihat berapapun sudut ketinggian bulan saat matahari terbenam.”
Dari
metode ini, bila posisi hilal (bulan baru) pada saat matahari terbenam sudah di
atas ufuk, berapapun tingginya, asal lebih besar dari pada NOL derajat, maka
sudah dianggap masuk bulan baru.
Berikut
keterangan pakar hisab, T. Djamaluddin (Profesor Riset Astronomi-Astrofisika,
LAPAN dan Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementeria Agama RI) mengenai metode
wujudul hilal:
Mengapa
perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi
sudah positif di atas ufuk? Kita ambil kasus penentuan Idul Fitri 1432/2011.
Pada saat maghrib 29 Ramadhan 1432/29 Agustus 2011 tinggi bulan di seluruh
Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang, tetapi sudah positif. Perlu
diketahui, kemampuan hisab sudah dimiliki semua ormas Islam secara merata,
termasuk NU dan Persis, sehingga data hisab seperti itu sudah diketahui umum.
Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa
menghisabnya. Dengan posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah
mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 30 Agustus 2011 karena bulan (“hilal”) sudah
wujud di atas ufuk saat maghrib 29 Agustus 2011. Tetapi Ormas lain yang
mengamalkan hisab juga, yaitu Persis (Persatuan Islam), mengumumkan Idul Fitri
jatuh pada 31 Agustus 2011 karena mendasarkan pada kriteria imkan rukyat
(kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat maghrib 29 Agustus 2011 bulan masih
terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati. NU yang mendasarkan
pada rukyat masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian
sebelumnya seperti 1427/2006 dan 1428/2007, laporan kesaksian hilal pada saat
bulan sangat rendah sering kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan
seringkali pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal.
Jadi,
selama Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, kita
selalu dihantui adanya perbedaan hari raya dan awal Ramadhan. Seperti apa
sesungguhnya hisab wujudul hilal itu? Banyak kalangan di intern Muhammadiyah
mengagungkannya, seolah itu sebagai simbol keunggulan hisab mereka yang mereka
yakini, terutama ketika dibandingkan dengan metode rukyat. Tentu saja mereka
anggota fanatik Muhammadiyah, tetapi sesungguhnya tidak faham ilmu hisab,
seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal.
Kita
ketahui, metode penentuan kalender yang paling kuno adalah hisab urfi (hanya
berdasarkan periodik, 30 dan 29 hari berulang-ulang, yang kini digunakan oleh
beberapa kelompok kecil di Sumatera Barat dan Jawa Timur, yang hasilnya berbeda
dengan metode hisab atau rukyat modern). Lalu berkembang hisab imkan rukyat
(visibilitas hilal, menghitung kemungkinan hilal teramati), tetapi masih
menggunakan hisab taqribi (pendekatan) yang akurasinya masih rendah.
Muhammadiyah pun sempat menggunakannya pada awal sejarahnya. Kemudian untuk
menghindari kerumitan imkan rukyat, digunakan hisab ijtimak qablal ghurub
(konjungsi sebelum matahari terbenam) dan hisab wujudul hilal (hilal wujud di
atas ufuk yang ditandai bulan terbenam lebih lambat daripada matahari). Kini
kriteria ijtimak qablal ghurub dan wujudul hilal mulai ditinggalkan, kecuali
oleh beberapa kelompok atau negara yang masih kurang keterlibatan ahli
hisabnya, seperti oleh Arab Saudi untuk kalender Ummul Quro-nya. Kini para
pembuat kalender cenderung menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa
dibandingkan dengan hasil rukyat. Perhitungan imkan rukyat kini sangat mudah
dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak astronomi. Informasi
imkanur rukyat atau visibilitas hilal juga sangat mudah diakses secara online
di internet.
Muhammdiyah
yang tampaknya terlalu ketat menjauhi rukyat terjebak pada kejumudan (kebekuan
pemikiran) dalam ilmu falak atau astronomi terkait penentuan sistem
kelendernya. Mereka cukup puas dengan wujudul hilal, kriteria lama yang secara
astronomi dapat dianggap usang. Mereka mematikan tajdid (pembaharuan) yang
sebenarnya menjadi nama lembaga think tank mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid.
Sayang sekali. Sementara ormas Islam lain terus berubah. NU yang pada awalnya
cenderung melarang rukyat dengan alat, termasuk kacamata, kini sudah melengkapi
diri dengan perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Mungkin jumlah ahli
hisab di NU jauh lebih banyak daripada di Muhammadiyah, walau mereka pengamal
rukyat. Sementara Persis (Persatuan Islam), ormas “kecil” yang sangat aktif
dengan Dewan Hisab Rukyat-nya berani beberapa kali mengubah kriteria hisabnya.
Padahal, Persis kadang mengidentikan sebagai “saudara kembar” Muhammadiyah
karena memang mengandalkan hisab, tanpa menunggu hasil rukyat. Persis beberapa
kali mengubah kriterianya, dari ijtimak qablal ghrub, imkan rukyat 2 derajat,
wujudul hilal di seluruh wilayah Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang
diterapkan.
Demi
penyatuan ummat melalui kalender hijriyah, memang saya sering mengkritisi
praktek hisab rukyat di NU, Muhammadiyah, dan Persis. NU dan Persis sangat
terbuka terhadap perubahan. Muhammadiyah cenderung resisten dan defensif dalam
hal metode hisabnya. Pendapatnya tampak merata di kalangan anggota
Muhammadiyah, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal. Itu sudah
menjadi keyakinan mereka yang katanya sulit diubah. Gerakan tajdid
(pembaharuan) dalam ilmu hisab dimatikannya sendiri. Ketika diajak membahas
kriteria imkan rukyat, tampak apriori seolah itu bagian dari rukyat yang
terkesan dihindari.
Lalu
mau kemana Muhammadiyah? Kita berharap Muhammadiyah, sebagai ormas besar yang
modern, mau berubah demi penyatuan Ummat. Tetapi juga sama pentingnya adalah
demi kemajuan Muhammadiyah sendiri, jangan sampai muncul kesan di komunitas
astronomi “Organisasi Islam modern, tetapi kriteria kalendernya usang”. Semoga
Muhammadiyah mau berubah! (Sumber: Metode
Hisab Wujudul Hilal ‘ala Muhammadiyah yang Sudah Usang)
Kita
dapat simpulkan bahwa kelemahan metode hisab terletak saat menggunakan alat
hitung yang tidak sempurna sehingga hasilnya dapat berbeda dengan ahli hisab
yang lainnya. Selain itu banyaknya macam dalam metode hisab mengakibatkan
berbeda juga hasilnya, antara lain hisab urfi dengan hasil hisab modern atau
kontemporer. Karena hasil yang berbeda dari berbagai metode, itu menunjukkan
kelemahan cara manusia dibandingkan jika ditempuh cara yang telah digariskan
Islam.
Cara
Islam Menentukan Awal Bulan Hijriyah
Cara
menentukan awal dan akhir Ramadhan sudah digariskan oleh Islam melalui lisan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perhatikan hadits berikut.
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا [ قَالَ ]: سَمِعْتُ
رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ: إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا,
وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Dari
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian
melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari
rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).”
(Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080).
Hadits
di atas menunjukkan bahwa penentuan awal Ramadhan hanya dengan dua cara, tidak
ada cara ketiga. Cara pertama adalah dengan rukyatul hilal. Cara kedua adalah
menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
2.
Pengertian
Astronomi
Astronomi
adalah cabang ilmu alam yang melibatkan pengamatan benda-benda langit seperti
bintang, komet, nebula gugus bintang atau galaksi serta fenomena-fenomena alam
yang terjadi diluar atmosfer bumi misalnya radiasi latar belakang kosmik
(radiasi CMB). Ilmu ini secara pokok mempelajari berbagai sisi dari benda-benda
langit seperti asal-usul, sifat fisika/kimia, meteorologi dan gerak dan
bagaimana pengetahuan akan benda-benda tersebut menjelaskan pembentukkan dan
perkembangan alam semesta.
Astronomi
sebagai ilmu adalah salah satu yang tertua, sebagaimana diketahui dari
artifak-attifak astronomis yang berasal dari era prasejarah; misalnya monumen
dari Mesir dan Nubia, atau Stonehenge yang berasal dari Britania. Orang-orang
dari peradaban awal semacam Babilonia, Yunani, Cina, India dan Maya juga
didapati telah melakukan pengamatan yang metodologis atas langit malam. Akan
tetapi meskipun memilki sejarah yang panjang, astronom baru dapat berkembang
menjadi cabang ilmu pengetahuan modern melalui penemuan teleskop.
Cukup
banyak cabang-cabang ilmu yang pernah turut disertakan sebagai bagian dari
astronomi, dan apabila diperhatikan, sifat cabang-cabang ini sangat beragam: dari
astronomi pelayaran berbasis angkasa, astronomibservasional, sampai dengan
penyususnan kalender dan astrologi. Meski demikan astronomi dewasa ini identik
dengan astrofisika.
Pada
abad 20, astronomi dibagi menjad 2 cabang: astronomi observasional dan
astronomi teoritis. Yang pertama melibatkan pengumpulan data dari pengamatan
atas benda-benda langit, yang kemudian akan dianalisis menggunakan
prinsip-prinsip fisika. Yang kedua terpusat pada upaya pengembangan model-model
komputer/analitis guna menjelaskan sifat-sifat benda-benda langit serta
fenomena-fenomena alam lainnya. Adapun kedua cabang ini bersifat komplementer –
astonomi teortis berusaha untuk menerangkan hasil-hasil pengamatan astronomi
observasional, dan astronomi
observasional kemudian akan mencoba untuk memuktikan kesimpulan yang dibuat
oleh astronomi teoritis.
Astronomi
harus dibedakan dari astrologi, yang merupakan kepercayaan bahwa nasib dan
urusan manusia berhubungan dengan letak benda-benda langit seperti bintang atau
rasinya. Memang betul bahwa dua bidang ini memilki asal-usul yang sama namun
pada saat ini keduanya sangat berbeda.
v
Penggunaan istilah “astronomi” dan
“astrofsika”
Secara umum baik astronomi maupun astrofisika boleh digunakan untuk
menyebut ilmu yang sama. Apabila hendak merujuk ke definisi-definisi kamus yang
baku, astronomi bermakna “penelitian benda-benda langit dan materi diluar
materi atmosfer bumi serta sifat-sifat kimia dan fisika benda-benda langit
tersebut”, sedang astrofisika adalah cabang dari astronomi yang berurusan
dengan “tingkah laku sifat-sifat fisika, serta proses-proses dinamis dari
benda-benda dan fenomena langit”.
Dalam
kasus tertentu, misalnya pada pembukaan buku The Physical Unlverse oleh
Frank Shu, astronomi boleh dipergunakan untuk sisi kualitatif dari ilmu ini,
sedang astrofisika untuk sisi lainnya yang lebih berorientasi fisika.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Pengertian Wujudul Hilal
Wujudul hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender)
hijryah dengan menggunakand dua prinsip: ijtimak (konjungsi) telah terjadi
sebelum matahari terbenam (ijtma’ qoblal ghurub), dan bulan terbenam setelah
matahari terbenam (moonset after sunset) maka pada petang hari tersebut
dinyatakan sebagai awal bulan kalender hijryah, tanpa melihat berapapun sudut
ketinggian (altitude) bulan saat matahari terbenam.
2.
Pengertian Astronomi
Astronomi adalah cabang ilmu alam yang melibatkan pengamatan
benda-benda langit seperti bintang, komet, nebula gugus bintang atau galaksi
serta fenomena-fenomena alam yang terjadi diluar atmosfer bumi misalnya radiasi
latar belakang kosmik (radiasi CMB). Ilmu ini secara pokok mempelajari berbagai
sisi dari benda-benda langit seperti asal-usul, sifat fisika/kimia, meteorologi
dan gerak dan bagaimana pengetahuan akan benda-benda tersebut menjelaskan
pembentukkan dan perkembangan alam semesta.
3.
Persamaan perbedaan wujudul hilal
dan astronomi
DAF
TAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar