Rabu, 29 Oktober 2014

Hukum,Hakim ,Mahkum Alaihi


BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Alloh.Dia-lah sang pembuat hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang berkait dengan hukum taklifi (seperti:wajib,sunnah,haram,makruh,mubah,maupun yang terkait) dengan hukum wad’i (seperti:sebab,syarat,halangan,sah,batal,fazid,azimah dan rukhsoh).untuk menyebut istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqih disebut mahkum fih,karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum haram.atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ itu adalah mahkum fih,sedangkan seseorang yang di kenai khitob itulah yang disebut mahkum alaih (mukallaf) berikut penjelasan masing-masing.
Yang melatar belakangi masalah ini adalah bagaimana kita menyikapi definisi tentang ma’na hukum yang sebenarnya. Di sini diungkapkan oleh beberapa ulama ushul fiqh yang dengan pendapatnya masing-masing, di sana kita dapat menyimpulkan arti dari kata hukum tersebut. Karena Hakim merupakan persoalan mendasar dalam ushul fiqih, karena berkaitan dengan “siapa pembuat hukum sebenarnya dalam  syari’at Islam”; “siapakah yang menentukan hukum syara”, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya selain wahyu. Dalam ilmu ushul fiqh, hakim juga disebut dengan syar’i.
Pembahasan yang paling penting yang berkaitan dengan hukum, yang pertama, yang paling mendesak untuk dijelaskan adalah pengetahuan tentang siapa yang menjadi rujukan sumber hukum, maksudnya siapa al-hakim itu, karena pengetahuan atas hukum dan kategorisasinya tergantung pada pengetahuan tentang al-hakim tersebut. Dan yang dimaksud dengan al-hakim disini bukanlah pemegang kekuasaan yang menerapkan semua hal yang dia memiliki kekuasaan atas hal tersebut, tapi yang dimaksud dengan al-hakim disini adalah yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan hukum atas perbuatan dan sesuatu. Sebab apa saja yang ada yang bersifat indrawi tidak akan keluar dari kategori sebagai perbuatan manusia atau sesuatu yang tidak termasuk perbuatan manusia. Ketika manusia dengan sifatnya sebagai manusia yang hidup di dalam alam semesta ini menjadi obyek bahasan, maka pengeluaran hukum adalah karena manusia dan berkaitan dengannya. Karenanya adalah merupakan keharusan adanya hukum atas perbuatan manusia dan sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan manusia tersebut.
Definisi dari Syar’i adalah “titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan untuk berbuat dan ketentuan-ketentuan. Dari definisi ini dapat dipahami bahwa “pembuat hukum” dalam pengertian Islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia dan yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik hubungannya dengan kepentingan hidup dunia maupun untuk kepentingan hidup di akhirat. Baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah serta manusia dengan manusia dan alam sekitarnya. Serta dapa diambil kesimpulan bahwa pembuat hukum dalam Islam adalah Allah SWT.
Hakim termasuk persoalan yang sangat penting dalam Ushul Fiqh, sebab berkaitan dengan pembuat hukum dalam syariat Islam, atau pembuat hukum syara’ yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam ilmu Ushul Fiqh, hakim juga disebut dengan Syar’i.







  1. Perumusan Masalah
Didalam Makalah ini akan di rumuskan beberapa masalah,  diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Apa Definisi Hukum itu ?
  2. Apa Definisi Hakim itu ?
  3. Apa Definisi Mahkum Alaih itu ?
  4.  Apa Definisi Mahkum Fih itu ?









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Al-Hukmu
Secara etimlogi, hukum berarti man’u yang berarati mencegah, disamping itu juga hukum berarti Qodha’ yang memiliki arti putusan. Sedangkan Ulama Usul Fiqh mengatakan bahwa apabila disebut hukum, maka artinya adalah:
1. Menetapkan sesuatu atas sesuatu meniadakannya, seperti menetapkan terbitnya bulan dan meniadakan pengelapan dengan terbitnya matahari.
2. Khitab allah seperti, Aqimus Al-Shalata (Mendirikan Sholat).
Secara terminologi, Hukum ialah: Khitab Allah yang menyebutkan segala perbuatan mukallaf baik khitab itu mengandung perintah untuk dikerjakan atau larangan untuk ditinggalkan atau menjelaskan kebolehan, atau menjadikan sebab atau pengahalang bagi suatu hukum.
Pada dasarnya para Ahli Usul Fiqih menjadikan hukum itu, nama bagi segala titah Allah/ Nabi. Baik titah itu mengandung makna peritah, larangan ataupun yang bersifat takhyir yangg berarti kebolehan bagi mukallaf untuk memilih untuk dikerjakan dan ditinggalkan maupun titah itu menyatakan suatu sebab, syarat, dan mani’ atau mencegah/menghlangi suatu pekerjaan atau perbuatan yang sah atau rusak. Seperti firman Allah yang artinya:
“Janganlah kamu mendekati zina”
Menurut para ahli Usul Fiqh Hukum ialah : Akibat dari khitab Allah itu pada perbuatan mukallaf seperti wajib, haram, dan mubah mungkin timbul perkiraan sementara orang menggap bahwa hukum syara’ itu terbatas pada yang tercamtum aka nash saja. Karena itu, ijma, qiyas, dan sumber-sumber yang lain seperti yang serupa dengan ijma, qiyas, dan sebagainya.
Penjelasan Definisi al-Hukum Yang dimaksud Khithabullah adalah semua bentuk dalil-dalil hukum, baik Quran, Sunnah, maupun Ijma’ dan Qiyas. Namun Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil hanya Quran dan Sunnah, adapun ijma dan qiyas sebagai metode menyingkapkan hukum dari Quran dan sunnah. Al-Quran dianggap sebagai kalam Allah secara langsung, dan sunnah sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena Rasulullah Saw tidak mengucapkan sesuatu dibidang hukum kecuali berdasarkan wahyu.
Demikian pula dengan ijma’ harus mempunyai sandaran kepada al-Quran dan sunnah. Yang dimaksud perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa, berakal sehat, termasuk perbuatan hati (seperti niat), dan perbuatan ucapan (seperti ghibah).
Adapun pembagian Hukum yaitu ada dua macam menurut Abdul wahab khalaf, dalam kitabnya ilmu usul al-fiqih.
1. Hukum Taklifi
Hukum Taklifi ialah : Khitab atau Firman Allah yang berhubungan dengan segala perbuatan para mukallaf baik atas dasar iqtidha atau atas dasar-dasar takhyir (Yaitu titah Allah yang berbebtuk tuntutan atau pilihan).
Dengan demikian Hukum Taklifi ialah; yang dituntut melakuakannya atau tidak melakukannya atau dipersilahkan untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan. Khitab Allah yang mengandung tuntutan seprti dalam firman Allah yang artinya:
“Hai orang yang beriman penuhilah akad-akad itu”
Ayat ini mengandung tuntutan untuk memenuhi janji, disamping itu ada lagi tututan untuk tidak melakukan suatu perbuatan, seperti dalam firman Allah yang artinya:
“Dan janganlah kalian mendekati zina”
Adapun pembagian Hukum Taklifi yaitu ada lima, yaitu:
    1. Ijab(Mewajibkan), yaitu ayat atau hadis dalam bentuk perintah yang mengharuskan untuk melakukan suatu perbuatan.misalnya ayat yang memerintahkan untuk melakukan sholat.
    2. Nadbu(Anjuran untuk melakukan), yaitu ayat atau hadis yang menganjurkan untuk melakukan suatu perbuatan.
    3. Tahrim(Melarang) yaitu ayat atau hadis yang melarang secara pasti untuk melakukan suatu perbuatan.
    4. Karahah,(Membenci), yaitu ayat atau hadis yang menganjurkan untuk meninggalkan suatu perbuatan.
    5. Ibahah(Membolehkan), yaitu ayat atau hadis yang memberi pilihan seseorang untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.
Seperti dikemukakan Abdul-Wahhab khallaf,terbagi kepada 5 macam yaitu: wajib, mandub,haram,makruh dan mubah.

1.   Wajib
a.   Pengertian Wajib
Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti.secara terminology, sperti dikemukakan Abd. Al-karim zaidan,ahli hukum islam berkebangsaan irak,wajib berarti:
Sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan rosul nya untuk dilaksanakan oleh orang mukallaf,dan apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa. 
Contoh: makan atau minum dengan menggunakan tangan kanan adalah wajib hukumnya, jika seorang Muslim memakai tangan kiri untuk makan atau minum, maka berdosalah dia.
Contoh lain, Shalat subuh hukumnya wajib, yakni suatu ketentuan dari agama yaharus dikerjakan,,jika tidak berdosalah ia.Alasan yang dipakai untuk menetapkan pengertian diatas adalah atas dasar firman Allah swt:
(فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (النور:63
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”(An-nur;63).
Dari ayat diatas telah jelas bahwa setiap orang yang melanggar perintah agama maka akan ditimpa musibah atau adzab, dan orang yang ditimpa adzab itu tidak lain melainkan mereka yang menyalahi aturan yang telah ditetapkan.
b.      Pembagian Wajib
Bila dilihat dari segi orang yang di bebani kewajiban hukum wajib dapat dibagi kepada dua macam yaitu:
  1. Wajib Aini
Yaitu kewajiban yang di bebankan kepada setiap orang yang sudah baliqh berakal(mukallaf), tanpa kecuali.
  1. Wajib kifa’i(wajib kifayah)
Yaitu kewajiban yang di bebankan kepada seluruh mukallaf, namun bilamanatelah dilaksanakan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu sudah dianggap sudah terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan mengerjakannya.
Bila dilihat dari segi kandungan perintah,hukum wajib dapat dibagi kepada 2 macam:
1.      Wajib mu”ayyan
Yaitu suatu kewajiban dimana yang menjadi obyeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain.
2.      Wajib mukhayyar
Yaitu suatu kewajiban dimana yang mejadi obyeknya boleh dipilih antara beberapa alternative.
Bila dilihat dari waktu pelaksanaanya,hukum wajib terbagi kepada dua macam.
  1. Wajib mutlaq
Yaitu kewajiban yang pelaksanaanya tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
  1. Wajib muaqqat
Yaitu kewajiban yang pelaksanaanya dibatasi dengan waktu tertentu.
2.  Mandub
a.     Pengertian Mandub
Kata mandub dari segi bahasa berarti”sesuatu yang dianjurkan”.sedangkan menurut istilah,seperti dikemukakan abdul karim zaidan,adalah suatu perbuatan yangdianjurkan oleh Allah dan rosulnya, dimana akan diberi pahala orang yang melaksanakannya,namun tidak dicela orang yang tidak melaksanakannya.
Contoh nabi Muhammad SAW bersabda:
-صُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا. -رواه البخاري و مسلم
Artinya: “Shaumlah sehari dan berbukalah sehari“. Hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Dalam hadits ini ada perintah -صُمْ- “shaumlah”, jika perintah ini dianggap wajib, maka menyalahi sabda Nabi saw yang berkenaan dengan orang Arab gunung, bahwa kewajiban shaum itu hanya ada di bulan Ramadhan.
..مَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصِّيَامِ؟ فَقَالَ شَهْرَ رَمَضَانَ إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا….
“….apa yang Allah wajibkan kepadaku dari shaum? Beliau bersabda: (shaum) bulan ramadhan, kecuali engkau mau bertathauwu’ (melakukan yang sunnah)….” Hadits riwayat Imam Bukhari.
Dari riwayat ini jelas bahwa shaum itu yang wajib hanyalah shaum di bulan ramadhan sedangkan lainnya bukan. Jika lafadz perintah dalam hadits yang pertama “shaumlah” itu bukan wajib, maka ada 2 kemungkian hukum yang bisa diambil:
1. Sunnah
2. Mubah
b.     Pembagian Mandub
Seperti dikemukakan abdul karim zaidan, mandub terbagi kepada beberapa tingkatan:
1)      Sunnah Muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh rosululloh dan jarang ditinggalkannya. Misalnya,sholat sunnah 2 rokaat sebelum fajar.
2)      Sunnah Ghair Al-Muakkadah(sunnah biasa), yaitu sesuatu yang dilakukan rosuulloh,namun bukan menjadi kebiasaan.misalnya melakukan sholat sunnah dua kali dua rokaat sebelum sholat dzuhur
3)      Sunnah Al-Zawaid, yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari rosuulloh sebagai manusia.misanya sopan santunnya dalam makan,minum,dan tidur.
3. Haram
            a. Pengertian Haram
kata haram secara etimologi berarti “sesuatu yang dilarang mengerjakannya”.secara terminology ushul fiqih kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan rosul-Nya, dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan dianggap dengan dosa.
Contoh: Nabi saw bersabda:
-لاَتَاْتُوا الكُهَّانَ. –رواه الطبراني
Janganlah kamu datangi tukang-tukang ramal/dukun“.
Hadits riwayat Imam Thabrani.
Mendatangi tukang-tukang ramal/dukun dengan tujuan menyakan sesuatu hal ghaib lalu dipercayainya itu tidak boleh. Kalau orang melakukan hal itu, berdosalah ia.
Alasan untuk pengertian haram ini, diantaranya sama dengan alasan yang dipakai untuk menetapkan pengertian wajib, yaitu Al-Qur’an S.An-Nur: 63.
b. Pembagian Haram
  1. al-muharram li Dzatihi, yaitu suatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemudratan bagi kehidupan manusia,dan kemudratan itu tidak bisa terpisah dari dzatnya.misalnya larangan berzina.
  2. al-Muharram li ghairihi,yaitu suatu yang dilarang bukan karena esensinya karena secara esensial tidak mengandung kemudratan,namun dalam kondisi tertentu,sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esensial.misalnya larangan melakukan jual beli pada waktu adzan shalat jum”at.
4.  Makruh
a.  Pengertian Makruh
secara bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang dibenci”dalam istilah ushul fiqih kata makruh, menurut mayoritas ulama ushul fiqih,berarti sesuatu yang dianjurkan syriat untuk meninggalkannya,dimana bilamana ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak akan berdosa.
Sebagai contoh: Makan binatang buas. Dalam hadits-hadits memang ada larangannya, dan kita memberi hukum (tentang makan binatang buas) itu makruh.
Begini penjelasannya: binatang yang diharamkan untuk dimakan hanya ada satu saja, lihat Al-Qur’an Al-Baqarah: 173 yang berbunyi:
-إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ… –البقرة: 173
“Tidak lain melainkan yang Allah haramkan adalah bangkai ,darah, daging babi dan binatang yang disembelih bukan karena Allah….”
b. pembagian makruh
  1. Makruh  tahrim,yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat, tetapi dalil yang melarang itu bersifat zhanni al-wurud (kebenaran datangnya dari rosululloh hanya sampai ke dugaan keras)
  2. Makruh tanzih,yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya.
5.  Mubah
a. pengertian mubah
Secara bahasa kata mubah berarti sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan.”menurut istilah ushul fiqih ,seperti dikemukakan oleh abdul karim zaidan berarti: yaitu sesuatu yang diberi pilih oleh syariat apakah seorang mukallaf akan melakukannya atau tidak melakukannya, dan tidak ada hubungannya dengan dosa dan pahala.
Contoh: dalam Al-Qur’an ada perintah makan, yaitu:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” Al-A’raf: 31
b. pembagian mubah
  1. Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang wajib dilakukan.
  2. Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu.
  3. Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula.
2.Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i adalah hukuman yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan sebab atau mani’.
Para ulama’ usul fiqh menyatakan bahwa hukum wad’I itu ada lima macam:
1. Sebab
Sebab yaitu sifat yang nyata dan dapat di ukur yang dijelaskan leh nash al-qur’an atau sunnah bahwa keberadaannya menjadi petunjuk bagi hukuman syara’ artinya, keberadaan sebab merupakan pertanda keberadaan suatu hukum. Misalnya: tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya sholat dzuhur.
2. Syarat
Syarat ialah suatu yang menyebabkan adanya hukum dengann adanya syarat dan bila tidak ada syarat maka hukum pun tidak ada. Seperti pembunuhan yang dapat diajatuhi hukuman Qishas.
 3.      Mani’
Mani’ yaitu sifat yang nyata yang keberadaannya menyebabkna tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Seperti hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan terjadinya hubungan kewarisan.
4.    Syah
             Pengertian syah yang pertama yang dimaksud dengan shah bahwa perbuatan itu mempunyai pengaruh dalam kehidupan dunia atau dengan arti perbuatan itu mempunyai arti secara hukum.
Misalnya:ibadah itu dikatakan shah,dalam arti perbuatan itu dianggaptelah memadai dan telah melepaskan orang yang melakukan nya dari tanggung jawabnya terhadap Allah SWT dan telah menggugurkannya dari kewajiban qadha dalam hal-hal yang dapat di -qadha.
  Yang kedua dimaksud dengan shah bahwa perbuatan itu mempunyai  pengaruh atau arti untuk kehidupan akhirat.Seperti berhaknya atas pahala dari Allah SWT.
5.      Bathal
              Yang pertama yang dimaksud dengan bathal ialah untuk arti tidak berbekasnya perbuatan bagi si pelaku dalam kehidupan di dunia,arti ini berbeda dalam arti muamalat dan akad.arti bathal dalam ibadah adalah bahwa ibadah itu tidak memadai dan belum melepaskan tanggung jawab serta belum menggugurkan kewajiban qadha.
          Yang kedua bathal digunakan untuk tidak berbekasnya perbuatan itu bagi si pelaku di akhirat,yaitu tidak menerima pahala.
6.      Fasid
Terdapat kesama”an dalam hal penamaan batal dengan fasid dalam ibadah yaitu:suatu perbuatanyang dilakukan  tidak memenuhi rukun dan syarat,atau belum berlaku sebab atau terdapat mani(penghalang).


B.     Pengertian Al-Hakim
Kata Hakim secara etimologi berarti “Orang Yang Memutuskan Hukum”. Dalam istilah fikih kata hakim juga sebagai orang yang memutuskan hukum di pengadilan yang sama hal ini dengan Qadhi.
Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum syariat adalah Allah SWT. Hal ini didasarkan pada al-Qur’an surat al-An’am ayat 57:
C.    إ ن الحكم إلا لله يقص الحق وهو خير الفا صلين ( ا لأ نعام:576)
Artinya:
“...menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah SWT. Dia yang menerangkan sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik. (QS. Al-An’am/ 6:57)
Meskipun para ulama ushul sepakat bahwa yang membuat hukum adalah Allah SWT, tapi mereka berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum yang dibuat Allah SWT hanya dapat diketahui dengan turunnya wahyu dan datangnya Rasulullah saw atau akal secara independen bisa juga mengetahuinya.
Adapun sebelum datangnya wahyu, ulama berselisih peranan akal dalam menentukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat buruk dikenakan sanksi. Dalam Islam tidak ada syariat kecuali dari Allah SWT. baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah), maupun yang berkaitan dengan hukum wadhi (sebab, syarta, halangan, sah, batal, fasid, azimah dan rukhsah). Menurut kesepakatan para ulama’ hukum diatas itu semuanya bersumber dari Allah SWT. Melalui Nabi Muhammad saw maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori Istinbath, seperti qisas, ijma’ dan metode istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. dalam hal ini para Ulama Fiqh  menetapkan kaidah :

D.    لاحكم الالله
Artinya
“tidak ada hukum kecuali  bersumber dari Allah SWT.”
Dari kaidah diatas, ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum sebagai titah Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pemilihan maupun wadhi’.
Diantara alasan para ulama Ushul Fiqh untuk mendukung pernyataan diatas adalah, sebagai berikut:
1.   QS. Al-Maidah: 44
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
Artinya:
“barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al-Maidah:44)
2.  QS. Al-Maidah: 49
واحكم بينهم بما أنزل الله... 
Artinya:
“dan hendaklah kamu memutuskan perkara antara mereka menurut apa yang ditunkan Allah,...” (QS. Al-Maidah:49)
3.   Diakhir ayat 45 surat al-maidah
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأو لئك هم الظالمون
Artinya:
“barang siapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah, mak mereka itu adalah orang-orang yang dzalim” (QS. Al-Maidah:45).
4.  Keharusan untuk merujuk kepada al-Qur’an dan sunah apabila terjadi perbedaan pendapat
...فان تنا زعتم فى شيئ فردوه الى الله والرسول ان كنتم تؤمنون باالله و اليوم الأ خر...
Artinya:
“...apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Kiamat” (QS. An-Nisa’: 59)
C.    Pengertian Mahkum Alaih
Menurut ushuliyyin yang di maksud mahkum alaih secara bahasa adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitob Alloh SWT yaitu yang di sebut mukallaf.dalam arti bahasa yaitu yang di bebani hukum,sedangkan dalam istilah ushul fiqih mukallaf sering di sebut subjek hukum.
Para ualama’ usul fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah: seorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah, yang disebutkan dengan mukallaf.
Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam usul fiqih, istilah mukallaf disebut juga mahkum alaiah (subjek hukum). Orang mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan perintah Allah maupun dengan larangannya, seluruh tindakan hukum mukallaf harus dipertanggung jawabkan apabila ia mengerjakan perintah Allah, maka ia mendapat imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajinnya belum terpenuhi.
Syarat-syarat orang Mukallaf itu ada dua bagian:
a. Harus sanggup dan dapat memahami khitab atau ketentuan yang dihadapkan kepadanya. tidak semua orang mukallaf yang dapat memahami bahasa arab, agar takhlif dibebani secara merata diwajibkan kepada kita menerjemahkan al-qur’an dan sunnah Nabi, yang menjadi sumber takhlif kedalam bermacam-macam bahasa yang dapat dipahami mereka. dalil kewajiban itu berdasarkan “hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir di antara kamu”.
Dalam masalah ini, termasuk kepada orang yang ghaib adalah orang yang tidak mengetahui bahasa arab (al-qur’an) dan hadist, atau tidak sanggup memahami dalil –dalil hukum syara’ yang dibebankan kepada orang takhlif.
b.  Ahli dan patut di takhlif, yang dimaksud dengan ahli adalah; orangyang pantas atau patut dibebani dengan takhlif yang diamaksud dengan mukllaf itu pantas atau patut dibabani dengan takhlif.
D.    Pengertian Makhkum Fiih
Menurut Usuliyyin,yang dimaksud dengan Mahkum fih adalah obyek hukum,yaitu perbuatan seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah syari’(Alloh dan Rosul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan.
Para ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu hukum:
Contoh:
1.      Firman Allah dalam surat al baqoroh:43
و اقيمو االصلاة) البقرة
Artinya:”Dirikanlah Sholat
Ayat ini menunjukkan perbuatan seorang mukallaf,yakni tuntutan mengerjakan sholat,atau kewajiban mendirikan sholat.
2.      Firman Allah dalam surat al an’am:151
ولاتقتلواالنفس االتي حر م االله الا باالحق) الانعا م
Artinya:”Jangan kamu membunuh jiwa yang telah di haramkan oleh Alloh melainkan dengan sesuatu (sebab)yang benar”
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan mukallaf,yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak itu hukumnya haram.
3  .Firman Allah dalam surat Al-maidah:5-6
اذاقمتم الى الصلاة فا غسلوا وجو هكو و ايد يكم الى المرا فق الما ئد ه 5-6
Artinya:”Apabila kamu hendak melakukan sholat,maka basuhlah mukamu dan tangan mu sampai siku siku”
Dari Ayat diatas dapat diketahui bahwa wudlu merupakan salah satu perbuatan orang mukallaf,yaitu salah satu syarat sahnya sholat.
Dengan beberapa contoh diatas,dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf.
  Syarat –syarat Mahkum Fih
a.       Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan di lakukan.sehingga tujuan dapat tangkap dengan jelas dan dapat dilaksanakan.Maka seorang mukallaf tidak tidak terkena tuntutan untukk melaksanakan sebelum dia tau persis.
Contoh: Dalam Al qur’an perintah Sholat yaitu dalam ayat “Dirikanlah Sholat” perintah tersebut masih global,Maka Rosululloh menjelaskannya sekaligus memberi contoh sabagaimana sabdanya ”sholatlah sebagaimana aku sholat” begitu pula perintah perintah syara yang lain seperti zakat,puasa dan sebagainya.tuntutan untuk melaksanakannya di anggap tidak sah sebelum di ketahui syarat,rukun,waktu dan sebagainya.

b.      Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. seseorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari Alloh SWT.Sehingga ia melaksanakan berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan perintah  Alloh semata.berarti tidak ada keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya suatu peraturan yang jelas.hal ini untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaan sesuai tuntutan syara’.
c.       Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan,berkait dengan hal ini terdapat dengan beberapa syarat yaitu:
1.      Tidak syah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau di tinggalkan.
2.      Tidak syah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan atas nama orang lain.
3.      Tidak syah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia.
4.      Tercapaianya syarat taklif tersebut, seperti iman dalam masalah ibadah,suci dalam masalah sholat.




BAB III
 PENUTUP
  1. KESIMPULAN
1.      Hukum ialah Khitab Allah yang menyebutkan segala perbuatan Mukallaf, baik Khitab itu mengandung perintah untuk dikerjakan atau larangan untuk ditinggalkan atau menjelaskan kebolehan, atau menjadikan sebab,atau penghalang bagi suatu Hukum.
 Hukum terbagi kedalam dua bagian, yaitu:
a.       Hukum Taklifi, yang meliputi: Ijab,Nadbu,Tahrim,Karohah,dan Ibahah.
b.      Hukum Wadh’i, yang meliputi: Sabab,Syarat,Mani,Syah,dan Fasid.
2.      Al-Hakim adalah pihak yang menjatuhkan Hukum atau ketetapan. Tidak ada perselisihan diantara para Ulama bahwa hakikat Hukum Syar’i itu ialah Khithab Allah yang berhubungan dengan amal perbuatan Mukallaf yang berisi tuntutan, pilihan atau menjadikan sesuatu sebagai Sebab,Syarat atau Mani’ bagi sesuatu. Demikian juga tidak ada perselisihan diantara mereka bahwa satu-satunya Hakim adalah Allah SWT.
3.      Mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatanya dikenai Khitab Allah, yang disebutkan dengan Mukallaf, yaitu Orang yang balig dan berakal sehat yang dibebankan Hukum kepadanya.
4.      Mahkum Fiih adalah Objek Mukallaf atau Pekerjaan Mukallaf. Yang berkaitan dengan Ijab dinamakan Wajib,yang berkaitan dengan Nadbu dinamakan Mandub,yang berkaitan dengan Tahrim dinamakan Haram,yang berkaitan dengan Karohah dinamakan Makruh,dan yang berkaitan dengan Ibahah dinamakan Mubah. Dan semua kaitan-kaitan ini dinamakan dengan Hukum Taklifi secara Sistematis.

  1. SARAN
Sebagai Manusia yang tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan, penulis sadar akan kekurangan dalam pembuatan Makalah ini, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan Makalah selanjutnya, untuk kritik dan sarannya diucapkan terima kasih.


1 komentar: