BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup
seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Alloh.Dia-lah sang pembuat hukum
yang dititahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang berkait dengan hukum taklifi
(seperti:wajib,sunnah,haram,makruh,mubah,maupun yang terkait) dengan hukum wad’i (seperti:sebab,syarat,halangan,sah,batal,fazid,azimah dan rukhsoh).untuk
menyebut istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqih disebut mahkum
fih,karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum
haram.atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan
perintah syari’ itu adalah mahkum fih,sedangkan seseorang yang di kenai khitob
itulah yang disebut mahkum alaih (mukallaf) berikut penjelasan masing-masing.
Yang melatar belakangi masalah ini adalah bagaimana
kita menyikapi definisi
tentang ma’na hukum yang sebenarnya. Di sini diungkapkan oleh beberapa ulama
ushul fiqh yang dengan pendapatnya masing-masing, di sana kita dapat
menyimpulkan arti dari kata hukum tersebut. Karena Hakim merupakan persoalan
mendasar dalam ushul fiqih, karena berkaitan dengan “siapa pembuat hukum
sebenarnya dalam syari’at Islam”; “siapakah yang menentukan hukum
syara”, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya
selain wahyu. Dalam ilmu ushul fiqh, hakim juga disebut dengan syar’i.
Pembahasan yang paling penting yang berkaitan dengan
hukum, yang pertama, yang paling mendesak untuk dijelaskan adalah pengetahuan
tentang siapa yang menjadi rujukan sumber hukum, maksudnya siapa al-hakim itu,
karena pengetahuan atas hukum dan kategorisasinya tergantung pada pengetahuan
tentang al-hakim tersebut. Dan yang dimaksud dengan al-hakim disini bukanlah
pemegang kekuasaan yang menerapkan semua hal yang dia memiliki kekuasaan atas
hal tersebut, tapi yang dimaksud dengan al-hakim disini adalah yang memiliki
otoritas untuk mengeluarkan hukum atas perbuatan dan sesuatu. Sebab apa saja
yang ada yang bersifat indrawi tidak akan keluar dari kategori sebagai
perbuatan manusia atau sesuatu yang tidak termasuk perbuatan manusia. Ketika
manusia dengan sifatnya sebagai manusia yang hidup di dalam alam semesta ini
menjadi obyek bahasan, maka pengeluaran hukum adalah karena manusia dan
berkaitan dengannya. Karenanya adalah merupakan keharusan adanya hukum atas
perbuatan manusia dan sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan manusia tersebut.
Definisi dari Syar’i adalah “titah Allah yang
berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan
untuk berbuat dan ketentuan-ketentuan. Dari definisi ini dapat dipahami bahwa
“pembuat hukum” dalam pengertian Islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan
manusia dan yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik
hubungannya dengan kepentingan hidup dunia maupun untuk kepentingan hidup di
akhirat. Baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah serta
manusia dengan manusia dan alam sekitarnya. Serta dapa diambil kesimpulan bahwa
pembuat hukum dalam Islam adalah Allah SWT.
Hakim termasuk persoalan yang sangat penting dalam
Ushul Fiqh, sebab berkaitan dengan pembuat hukum dalam syariat Islam, atau
pembuat hukum syara’ yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi
pelanggarnya. Dalam ilmu Ushul Fiqh, hakim juga disebut dengan Syar’i.
- Perumusan Masalah
Didalam Makalah ini akan di rumuskan beberapa
masalah, diantaranya adalah sebagai
berikut:
- Apa Definisi Hukum itu ?
- Apa Definisi Hakim itu ?
- Apa Definisi Mahkum Alaih itu ?
- Apa Definisi Mahkum Fih itu ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Al-Hukmu
Secara
etimlogi, hukum berarti man’u yang berarati mencegah, disamping itu juga hukum
berarti Qodha’ yang memiliki arti putusan. Sedangkan Ulama Usul Fiqh mengatakan
bahwa apabila disebut hukum, maka artinya adalah:
1.
Menetapkan sesuatu atas sesuatu meniadakannya, seperti menetapkan terbitnya
bulan dan meniadakan pengelapan dengan terbitnya matahari.
2. Khitab
allah seperti, Aqimus Al-Shalata (Mendirikan
Sholat).
Secara
terminologi, Hukum ialah: Khitab Allah yang menyebutkan segala perbuatan
mukallaf baik khitab itu mengandung perintah untuk dikerjakan atau larangan
untuk ditinggalkan atau menjelaskan kebolehan, atau menjadikan sebab atau
pengahalang bagi suatu hukum.
Pada
dasarnya para Ahli Usul Fiqih menjadikan
hukum itu, nama bagi segala titah Allah/ Nabi. Baik titah itu mengandung makna
peritah, larangan ataupun yang bersifat takhyir yangg berarti kebolehan bagi
mukallaf untuk memilih untuk dikerjakan dan ditinggalkan maupun titah itu
menyatakan suatu sebab, syarat, dan mani’ atau mencegah/menghlangi suatu
pekerjaan atau perbuatan yang sah atau rusak. Seperti firman Allah yang
artinya:
“Janganlah
kamu mendekati zina”
Menurut para
ahli Usul Fiqh Hukum ialah : Akibat dari khitab Allah itu pada perbuatan
mukallaf seperti wajib, haram, dan mubah mungkin timbul perkiraan sementara
orang menggap bahwa hukum syara’ itu terbatas pada yang tercamtum aka nash
saja. Karena itu, ijma, qiyas, dan sumber-sumber yang lain seperti yang serupa
dengan ijma, qiyas, dan sebagainya.
Penjelasan
Definisi al-Hukum Yang dimaksud Khithabullah adalah semua bentuk dalil-dalil
hukum, baik Quran, Sunnah, maupun Ijma’ dan Qiyas. Namun Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil
hanya Quran dan Sunnah, adapun ijma dan qiyas sebagai metode menyingkapkan
hukum dari Quran dan sunnah. Al-Quran dianggap sebagai kalam Allah secara
langsung, dan sunnah sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena
Rasulullah Saw tidak mengucapkan sesuatu dibidang hukum kecuali berdasarkan
wahyu.
Demikian
pula dengan ijma’ harus mempunyai sandaran kepada al-Quran dan sunnah. Yang
dimaksud perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia
dewasa, berakal sehat, termasuk perbuatan hati (seperti niat), dan perbuatan
ucapan (seperti ghibah).
Adapun
pembagian Hukum yaitu ada dua macam menurut Abdul wahab khalaf, dalam kitabnya ilmu usul al-fiqih.
1. Hukum Taklifi
Hukum Taklifi
ialah : Khitab atau Firman Allah yang berhubungan dengan segala perbuatan para
mukallaf baik atas dasar iqtidha atau atas dasar-dasar takhyir (Yaitu titah Allah yang berbebtuk
tuntutan atau pilihan).
Dengan
demikian Hukum Taklifi ialah; yang dituntut melakuakannya atau tidak
melakukannya atau dipersilahkan untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan.
Khitab Allah yang mengandung tuntutan seprti dalam firman Allah yang artinya:
“Hai orang
yang beriman penuhilah akad-akad itu”
Ayat ini
mengandung tuntutan untuk memenuhi janji, disamping itu ada lagi tututan untuk
tidak melakukan suatu perbuatan, seperti dalam firman Allah yang artinya:
“Dan
janganlah kalian mendekati zina”
Adapun pembagian
Hukum Taklifi yaitu ada lima, yaitu:
- Ijab(Mewajibkan), yaitu ayat atau hadis dalam bentuk perintah yang mengharuskan untuk melakukan suatu perbuatan.misalnya ayat yang memerintahkan untuk melakukan sholat.
- Nadbu(Anjuran untuk melakukan), yaitu ayat atau hadis yang menganjurkan untuk melakukan suatu perbuatan.
- Tahrim(Melarang) yaitu ayat atau hadis yang melarang secara pasti untuk melakukan suatu perbuatan.
- Karahah,(Membenci), yaitu ayat atau hadis yang menganjurkan untuk meninggalkan suatu perbuatan.
- Ibahah(Membolehkan), yaitu ayat atau hadis yang memberi pilihan seseorang untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.
Seperti
dikemukakan Abdul-Wahhab khallaf,terbagi kepada 5 macam yaitu: wajib,
mandub,haram,makruh dan mubah.
1. Wajib
a.
Pengertian
Wajib
Secara
etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti.secara terminology, sperti
dikemukakan Abd. Al-karim zaidan,ahli hukum islam berkebangsaan irak,wajib
berarti:
Sesuatu
yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan rosul nya untuk dilaksanakan
oleh orang mukallaf,dan apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah,
sebaliknya apabila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
Contoh: makan atau minum dengan menggunakan tangan kanan adalah
wajib hukumnya, jika seorang Muslim memakai tangan kiri untuk makan atau minum,
maka berdosalah dia.
Contoh lain, Shalat subuh hukumnya wajib, yakni suatu ketentuan
dari agama yaharus dikerjakan,,jika tidak berdosalah ia.Alasan yang dipakai
untuk menetapkan pengertian diatas adalah atas dasar firman Allah swt:
(فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ
يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيمٌ (النور:63
“Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa
azab yang pedih”(An-nur;63).
Dari ayat diatas telah jelas bahwa setiap orang yang melanggar
perintah agama maka akan ditimpa musibah atau adzab, dan orang yang ditimpa
adzab itu tidak lain melainkan mereka yang menyalahi aturan yang telah
ditetapkan.
b. Pembagian Wajib
Bila dilihat dari segi
orang yang di bebani kewajiban hukum wajib dapat dibagi kepada dua macam yaitu:
- Wajib Aini
Yaitu kewajiban yang di
bebankan kepada setiap orang yang sudah baliqh berakal(mukallaf), tanpa
kecuali.
- Wajib kifa’i(wajib kifayah)
Yaitu kewajiban yang di
bebankan kepada seluruh mukallaf, namun bilamanatelah dilaksanakan oleh
sebagian umat islam maka kewajiban itu sudah dianggap sudah terpenuhi sehingga
orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan mengerjakannya.
Bila dilihat dari segi
kandungan perintah,hukum wajib dapat dibagi kepada 2 macam:
1. Wajib mu”ayyan
Yaitu suatu kewajiban dimana yang menjadi
obyeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain.
2. Wajib mukhayyar
Yaitu suatu kewajiban dimana yang mejadi
obyeknya boleh dipilih antara beberapa alternative.
Bila dilihat dari waktu
pelaksanaanya,hukum wajib terbagi kepada dua macam.
- Wajib mutlaq
Yaitu kewajiban yang
pelaksanaanya tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
- Wajib muaqqat
Yaitu kewajiban yang
pelaksanaanya dibatasi dengan waktu tertentu.
2.
Mandub
a. Pengertian Mandub
Kata mandub dari segi
bahasa berarti”sesuatu yang dianjurkan”.sedangkan menurut istilah,seperti
dikemukakan abdul karim zaidan,adalah suatu perbuatan
yangdianjurkan oleh Allah dan rosulnya, dimana akan diberi pahala orang yang
melaksanakannya,namun tidak dicela orang yang tidak melaksanakannya.
Contoh nabi Muhammad SAW
bersabda:
-صُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ
يَوْمًا. -رواه البخاري و مسلم
Artinya: “Shaumlah sehari dan berbukalah sehari“. Hadits
riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Dalam hadits ini ada perintah -صُمْ- “shaumlah”, jika perintah ini dianggap
wajib, maka menyalahi sabda Nabi saw yang berkenaan dengan orang Arab gunung,
bahwa kewajiban shaum itu hanya ada di bulan Ramadhan.
..مَا فَرَضَ اللَّهُ
عَلَيَّ مِنْ الصِّيَامِ؟ فَقَالَ شَهْرَ رَمَضَانَ إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ
شَيْئًا….
“….apa
yang Allah wajibkan kepadaku dari shaum? Beliau bersabda: (shaum) bulan
ramadhan, kecuali engkau mau bertathauwu’ (melakukan yang sunnah)….” Hadits riwayat
Imam Bukhari.
Dari riwayat ini jelas bahwa shaum itu yang wajib hanyalah shaum
di bulan ramadhan sedangkan lainnya bukan. Jika lafadz perintah dalam hadits
yang pertama “shaumlah” itu bukan wajib, maka ada 2 kemungkian hukum yang bisa
diambil:
1.
Sunnah
2. Mubah
b. Pembagian Mandub
Seperti dikemukakan
abdul karim zaidan, mandub terbagi kepada beberapa tingkatan:
1) Sunnah Muakkadah (sunnah
yang sangat dianjurkan), yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh rosululloh dan
jarang ditinggalkannya. Misalnya,sholat sunnah 2 rokaat sebelum fajar.
2) Sunnah Ghair
Al-Muakkadah(sunnah biasa), yaitu sesuatu yang dilakukan rosuulloh,namun bukan
menjadi kebiasaan.misalnya melakukan sholat sunnah dua kali dua rokaat sebelum
sholat dzuhur
3) Sunnah Al-Zawaid, yaitu
mengikuti kebiasaan sehari-hari rosuulloh sebagai manusia.misanya sopan
santunnya dalam makan,minum,dan tidur.
3.
Haram
a. Pengertian Haram
kata haram secara
etimologi berarti “sesuatu yang dilarang mengerjakannya”.secara terminology
ushul fiqih kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan rosul-Nya,
dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan dianggap dengan dosa.
Contoh: Nabi saw
bersabda:
-لاَتَاْتُوا الكُهَّانَ.
–رواه الطبراني
“Janganlah kamu
datangi tukang-tukang ramal/dukun“.
Hadits riwayat Imam
Thabrani.
Mendatangi tukang-tukang ramal/dukun dengan tujuan menyakan
sesuatu hal ghaib lalu dipercayainya itu tidak boleh. Kalau orang melakukan hal
itu, berdosalah ia.
Alasan untuk pengertian haram ini, diantaranya sama dengan alasan
yang dipakai untuk menetapkan pengertian wajib, yaitu Al-Qur’an S.An-Nur: 63.
b. Pembagian Haram
- al-muharram li Dzatihi, yaitu suatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemudratan bagi kehidupan manusia,dan kemudratan itu tidak bisa terpisah dari dzatnya.misalnya larangan berzina.
- al-Muharram li ghairihi,yaitu suatu yang dilarang bukan karena esensinya karena secara esensial tidak mengandung kemudratan,namun dalam kondisi tertentu,sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esensial.misalnya larangan melakukan jual beli pada waktu adzan shalat jum”at.
4.
Makruh
a. Pengertian Makruh
secara bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang dibenci”dalam
istilah ushul fiqih kata makruh, menurut mayoritas ulama ushul fiqih,berarti
sesuatu yang dianjurkan syriat untuk meninggalkannya,dimana bilamana
ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak akan berdosa.
Sebagai contoh: Makan binatang buas. Dalam hadits-hadits memang
ada larangannya, dan kita memberi hukum (tentang makan binatang buas) itu
makruh.
Begini penjelasannya: binatang yang diharamkan untuk dimakan hanya
ada satu saja, lihat Al-Qur’an Al-Baqarah: 173 yang berbunyi:
-إِنَّمَا حَرَّمَ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ
لِغَيْرِ اللَّهِ… –البقرة: 173
“Tidak lain melainkan
yang Allah haramkan adalah bangkai ,darah, daging babi dan binatang yang
disembelih bukan karena Allah….”
b. pembagian makruh
- Makruh tahrim,yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat, tetapi dalil yang melarang itu bersifat zhanni al-wurud (kebenaran datangnya dari rosululloh hanya sampai ke dugaan keras)
- Makruh tanzih,yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya.
5.
Mubah
a. pengertian mubah
Secara bahasa kata mubah berarti sesuatu yang
dibolehkan atau diizinkan.”menurut istilah ushul fiqih ,seperti dikemukakan
oleh abdul karim zaidan berarti: yaitu sesuatu yang diberi pilih oleh syariat
apakah seorang mukallaf akan melakukannya atau tidak melakukannya, dan tidak
ada hubungannya dengan dosa dan pahala.
Contoh: dalam Al-Qur’an
ada perintah makan, yaitu:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا
زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ
لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam,
pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah,
dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan” Al-A’raf: 31
b. pembagian mubah
- Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang wajib dilakukan.
- Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu.
- Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula.
2.Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i adalah hukuman yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf yang mengandung persyaratan sebab atau mani’.
Para ulama’
usul fiqh menyatakan bahwa hukum wad’I itu ada lima macam:
1. Sebab
Sebab yaitu
sifat yang nyata dan dapat di ukur yang dijelaskan leh nash al-qur’an atau
sunnah bahwa keberadaannya menjadi petunjuk bagi hukuman syara’ artinya,
keberadaan sebab merupakan pertanda keberadaan suatu hukum. Misalnya:
tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya sholat dzuhur.
2. Syarat
Syarat ialah
suatu yang menyebabkan adanya hukum dengann adanya syarat dan bila tidak ada
syarat maka hukum pun tidak ada. Seperti pembunuhan yang dapat diajatuhi hukuman
Qishas.
3. Mani’
Mani’ yaitu
sifat yang nyata yang keberadaannya menyebabkna tidak ada hukum atau tidak ada
sebab. Seperti hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan
terjadinya hubungan kewarisan.
4. Syah
Pengertian
syah yang pertama yang dimaksud dengan shah bahwa perbuatan itu
mempunyai pengaruh dalam kehidupan dunia atau dengan arti perbuatan itu
mempunyai arti secara hukum.
Misalnya:ibadah itu dikatakan shah,dalam arti
perbuatan itu dianggaptelah memadai dan telah melepaskan orang yang melakukan
nya dari tanggung jawabnya terhadap Allah SWT dan telah menggugurkannya dari
kewajiban qadha dalam hal-hal yang dapat di -qadha.
Yang kedua dimaksud dengan shah bahwa
perbuatan itu mempunyai pengaruh atau
arti untuk kehidupan akhirat.Seperti berhaknya atas pahala dari Allah SWT.
5. Bathal
Yang pertama yang
dimaksud dengan bathal ialah untuk arti tidak berbekasnya perbuatan bagi si
pelaku dalam kehidupan di dunia,arti ini berbeda dalam arti muamalat dan
akad.arti bathal dalam ibadah adalah bahwa ibadah itu tidak memadai dan belum
melepaskan tanggung jawab serta belum menggugurkan kewajiban qadha.
Yang
kedua bathal digunakan untuk tidak berbekasnya perbuatan itu bagi si pelaku di
akhirat,yaitu tidak menerima pahala.
6. Fasid
Terdapat kesama”an dalam
hal penamaan batal dengan fasid dalam ibadah yaitu:suatu perbuatanyang
dilakukan tidak memenuhi rukun dan
syarat,atau belum berlaku sebab atau terdapat mani(penghalang).
B.
Pengertian Al-Hakim
Kata Hakim secara etimologi berarti “Orang Yang
Memutuskan Hukum”. Dalam istilah fikih kata hakim juga sebagai orang yang
memutuskan hukum di pengadilan yang sama hal ini dengan Qadhi.
Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi sumber
atau pembuat hakiki dari hukum syariat adalah Allah SWT. Hal ini didasarkan
pada al-Qur’an surat al-An’am ayat 57:
C. إ ن الحكم
إلا لله يقص الحق وهو خير الفا صلين ( ا لأ نعام:576)
Artinya:
“...menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah SWT. Dia yang menerangkan sebenarnya dan Dia
pemberi keputusan yang paling baik. (QS. Al-An’am/ 6:57)
Meskipun para ulama ushul sepakat bahwa yang membuat
hukum adalah Allah SWT, tapi mereka berbeda pendapat dalam masalah apakah
hukum-hukum yang dibuat Allah SWT hanya dapat diketahui dengan turunnya wahyu
dan datangnya Rasulullah saw atau akal secara independen bisa juga
mengetahuinya.
Adapun sebelum datangnya wahyu, ulama berselisih
peranan akal dalam menentukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang yang
berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat buruk dikenakan sanksi. Dalam
Islam tidak ada syariat kecuali dari Allah SWT. baik yang berkaitan dengan
hukum-hukum taklif (wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah), maupun yang
berkaitan dengan hukum wadhi (sebab, syarta, halangan, sah, batal, fasid,
azimah dan rukhsah). Menurut kesepakatan para ulama’ hukum diatas itu semuanya
bersumber dari Allah SWT. Melalui Nabi Muhammad saw maupun hasil ijtihad para
mujtahid melalui berbagai teori Istinbath, seperti qisas, ijma’ dan metode
istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. dalam hal
ini para Ulama Fiqh menetapkan kaidah :
D. لاحكم الالله
Artinya
“tidak ada
hukum kecuali bersumber dari Allah SWT.”
Dari kaidah
diatas, ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum sebagai titah Allah SWT yang
berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pemilihan
maupun wadhi’.
Diantara
alasan para ulama Ushul Fiqh untuk mendukung pernyataan diatas adalah, sebagai
berikut:
1.
QS. Al-Maidah: 44
ومن لم يحكم
بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
Artinya:
“barang
siapa yang tidak memutuskan menurut apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka
adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al-Maidah:44)
2. QS.
Al-Maidah: 49
واحكم بينهم بما أنزل الله...
Artinya:
“dan
hendaklah kamu memutuskan perkara antara mereka menurut apa yang ditunkan
Allah,...” (QS. Al-Maidah:49)
3.
Diakhir ayat 45 surat al-maidah
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأو لئك هم الظالمون
Artinya:
“barang
siapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah, mak
mereka itu adalah orang-orang yang dzalim” (QS. Al-Maidah:45).
4. Keharusan untuk merujuk kepada
al-Qur’an dan sunah apabila terjadi perbedaan pendapat
...فان تنا زعتم فى شيئ فردوه الى الله والرسول ان كنتم تؤمنون
باالله و اليوم الأ خر...
Artinya:
“...apabila
kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(al-Qur’an) dan Rasul (sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Kiamat”
(QS. An-Nisa’: 59)
C.
Pengertian Mahkum Alaih
Menurut
ushuliyyin yang di maksud mahkum alaih secara bahasa adalah seseorang yang
perbuatannya dikenai khitob Alloh SWT yaitu yang di sebut mukallaf.dalam arti
bahasa yaitu yang di bebani hukum,sedangkan dalam istilah ushul fiqih mukallaf sering
di sebut subjek hukum.
Para ualama’
usul fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah: seorang
yang perbuatannya dikenai khitab Allah, yang disebutkan dengan mukallaf.
Secara
etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam usul fiqih, istilah mukallaf disebut juga mahkum alaiah (subjek hukum). Orang
mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang
berhubungan perintah Allah maupun dengan larangannya, seluruh tindakan hukum
mukallaf harus dipertanggung jawabkan apabila ia mengerjakan perintah Allah,
maka ia mendapat imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila
ia mengerjakan larangan Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajinnya
belum terpenuhi.
Syarat-syarat
orang Mukallaf itu ada dua
bagian:
a. Harus
sanggup dan dapat memahami khitab atau ketentuan yang dihadapkan kepadanya.
tidak semua orang mukallaf yang dapat memahami bahasa arab, agar takhlif
dibebani secara merata diwajibkan kepada kita menerjemahkan al-qur’an dan
sunnah Nabi, yang menjadi sumber takhlif kedalam bermacam-macam bahasa yang
dapat dipahami mereka. dalil kewajiban itu berdasarkan “hendaklah orang yang
hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir di antara kamu”.
Dalam
masalah ini, termasuk kepada orang yang ghaib adalah orang yang tidak
mengetahui bahasa arab (al-qur’an) dan hadist, atau tidak sanggup memahami
dalil –dalil hukum syara’ yang dibebankan kepada orang takhlif.
b. Ahli dan patut di takhlif, yang dimaksud
dengan ahli adalah; orangyang pantas atau patut dibebani dengan takhlif yang
diamaksud dengan mukllaf itu pantas atau patut dibabani dengan takhlif.
D.
Pengertian Makhkum Fiih
Menurut Usuliyyin,yang dimaksud dengan Mahkum fih adalah obyek hukum,yaitu
perbuatan seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah syari’(Alloh dan
Rosul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan;
tuntutan memilih suatu pekerjaan.
Para ulama
pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu perbuatan
mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu hukum:
Contoh:
1.
Firman Allah dalam surat al baqoroh:43
و اقيمو االصلاة) البقرة
Artinya:”Dirikanlah
Sholat”
Ayat ini
menunjukkan perbuatan seorang mukallaf,yakni tuntutan mengerjakan sholat,atau
kewajiban mendirikan sholat.
2.
Firman Allah dalam surat al an’am:151
ولاتقتلواالنفس االتي حر م االله الا باالحق) الانعا م
Artinya:”Jangan
kamu membunuh jiwa yang telah di haramkan oleh Alloh melainkan dengan sesuatu
(sebab)yang benar”
Dalam ayat
ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan mukallaf,yaitu
larangan melakukan pembunuhan tanpa hak itu hukumnya haram.
3 .Firman Allah dalam surat Al-maidah:5-6
اذاقمتم الى الصلاة فا غسلوا وجو هكو و ايد يكم الى
المرا فق الما ئد ه 5-6
Artinya:”Apabila
kamu hendak melakukan sholat,maka basuhlah mukamu dan tangan mu sampai siku
siku”
Dari Ayat
diatas dapat diketahui bahwa wudlu merupakan salah satu perbuatan orang
mukallaf,yaitu salah satu syarat sahnya sholat.
Dengan
beberapa contoh diatas,dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan
mukallaf.
Syarat
–syarat Mahkum Fih
a. Mukallaf
harus mengetahui perbuatan yang akan di lakukan.sehingga tujuan dapat tangkap
dengan jelas dan dapat dilaksanakan.Maka seorang mukallaf tidak tidak terkena
tuntutan untukk melaksanakan sebelum dia tau persis.
Contoh: Dalam
Al qur’an perintah Sholat yaitu dalam ayat “Dirikanlah Sholat” perintah
tersebut masih global,Maka Rosululloh menjelaskannya sekaligus memberi contoh
sabagaimana sabdanya ”sholatlah sebagaimana aku sholat” begitu pula
perintah perintah syara yang lain seperti zakat,puasa dan sebagainya.tuntutan
untuk melaksanakannya di anggap tidak sah sebelum di ketahui syarat,rukun,waktu
dan sebagainya.
b. Mukallaf
harus mengetahui sumber taklif. seseorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu
dari Alloh SWT.Sehingga ia melaksanakan berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan
perintah Alloh semata.berarti tidak ada keharusan untuk mengerjakan suatu
perbuatan sebelum adanya suatu peraturan yang jelas.hal ini untuk menghindari
kesalahan dalam pelaksanaan sesuai tuntutan syara’.
c. Perbuatan
harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan,berkait dengan hal ini
terdapat dengan beberapa syarat yaitu:
1. Tidak syah
suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau di tinggalkan.
2. Tidak syah
hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan atas nama
orang lain.
3. Tidak syah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan
fitrah manusia.
4.
Tercapaianya syarat taklif tersebut,
seperti iman dalam masalah ibadah,suci dalam masalah sholat.
BAB III
PENUTUP
- KESIMPULAN
1.
Hukum ialah Khitab Allah yang
menyebutkan segala perbuatan Mukallaf, baik Khitab itu mengandung perintah
untuk dikerjakan atau larangan untuk ditinggalkan atau menjelaskan kebolehan,
atau menjadikan sebab,atau penghalang bagi suatu Hukum.
Hukum terbagi kedalam dua bagian,
yaitu:
a.
Hukum Taklifi, yang meliputi:
Ijab,Nadbu,Tahrim,Karohah,dan Ibahah.
b.
Hukum Wadh’i, yang meliputi:
Sabab,Syarat,Mani,Syah,dan Fasid.
2.
Al-Hakim adalah
pihak yang menjatuhkan Hukum atau ketetapan. Tidak ada perselisihan diantara
para Ulama bahwa hakikat Hukum Syar’i itu ialah Khithab Allah yang berhubungan
dengan amal perbuatan Mukallaf yang berisi tuntutan, pilihan atau menjadikan
sesuatu sebagai Sebab,Syarat atau Mani’ bagi sesuatu. Demikian juga tidak ada
perselisihan diantara mereka bahwa satu-satunya Hakim adalah Allah SWT.
3.
Mahkum Alaih adalah seseorang
yang perbuatanya dikenai Khitab Allah, yang disebutkan dengan Mukallaf, yaitu
Orang yang balig dan berakal sehat yang dibebankan Hukum kepadanya.
4.
Mahkum Fiih
adalah Objek Mukallaf atau Pekerjaan Mukallaf. Yang berkaitan dengan Ijab
dinamakan Wajib,yang berkaitan dengan Nadbu dinamakan Mandub,yang berkaitan
dengan Tahrim dinamakan Haram,yang berkaitan dengan Karohah dinamakan
Makruh,dan yang berkaitan dengan Ibahah dinamakan Mubah. Dan semua kaitan-kaitan
ini dinamakan dengan Hukum Taklifi secara Sistematis.
- SARAN
Sebagai Manusia yang tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan, penulis
sadar akan kekurangan dalam pembuatan Makalah ini, untuk itu kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan Makalah
selanjutnya, untuk kritik dan sarannya diucapkan terima kasih.
daftar pustaka?
BalasHapus