BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam
kata wahyu terkandung pengertian penyampaian firman Allah SWT kepada manusia
pilihan-Nya (Nabi) agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan
hidup.Dalam Islam wahyu atau firman Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW terkumpul semuanya dalam Al-Quran.
Wahyu
dan kenabian merupakan dua unsur rukun iman dalam agama islam, tepatnya iman
kepada kitab dan rasul. Pembahasan tentang keduanya sangat urgen mengingat hari
ini banyak yang melakukan desaklarisasi[1]
terhadap al-Qur’an dan hadits Nabi saw.
Al-Qur’an dipandang sebagai sebuah teks buatan Nabi Muhammad saw yang snagat
terikat oleh sejarah, ruang dan waktu. Apa yang dituangkan dalam al-Qur’an dan
Hadits dinilai sebagai cerminan budaya arab yang membentuknya.
B. Perumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan wahyu ?
2.
Bagaimana cara
penyampaian wahyu ?
3.
Bagaimana
Konsep wahyu itu ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengertian wahyu,
2.
Untuk
mengetahui cara turunnya wahyu,
3.
Untuk
mengetahui konsep wahyu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wahyu
Dikatakan wahaituilaih
dan auhaitu, bila kita berbicara kepadanya agar tidak diketahui orang
lain. Wahyu adalah isyarat yang cepat.Itu terjadi melalui pembicaran yang
berupa rumus dan lambang, dan terkadang melalui suara semata, dan terkadang
pula melalui isyarat dengan sebagian anggota badan.
Al-wahy atau wahyu adalah kata masdar; dan materi kata itu menunjukkan dua
pengertian dasar, yaitu; tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu maka dikatakan
bahwa wahyu adalah: pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat dan khusus
ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain.
Secara istilah wahyu didefinisikan sebagai: kalam Allah yang diturunkan kepada
seorang Nabi. Definisi ini menggunakan pengertian maf`ul, yaitu al muha (yang
diwahyukan).[2]
Ibnu Mandzur
mendefinisikan, ahyu adalah pemberian informasi yang tersembunyi yang khusus
disampaikan kepada para nabi Allah SWT.ma’na al qaththan wahyu adalah
kalamullah yang diturunkan kepada Nabi dari para Nabi-Nya.sebagaimana
diungkapkan oleh Al-Asfahani, bahwa wahyu adalah ilmu rabbaniy dan bersifat
pasti.[3]
Ustadz Muhammad Abduh membedakan antara wahyu dengan ilham. Ilham itu intuisi
yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa
mengetahui darimana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan rasa lapar, haus
sedih dan senang.[4]
B. Wahyudan Tanzil
Catatan dari al-Qaththan bahwa wahyu itu munazzal;
diturunkan langsung, perlu mendapatkan perhatian tersendiri. Karena itu berarti
bahwa apa yang diterima Nabi adalah murni sebagai firman Allah Swt secara utuh. Tidak
terkandung didalamnya penafsiran dan pengalihan bahasa oleh malaikat atau oleh
Nabi sendiri. Dalam berbagai ayat al-Qur’an penegasan wahyu sebagai tanzil ini
dapat ditemukan:
“Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan
dari Tuhan semesta alam. Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama)
kami, Niscaya benar-benar kami pegang dia pada tangan kanannya (langsung
menyiksanya). Kemudian benar-benar kami potong urat tali jantungnya.Maka
sekali-sekali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari
pemotongan urat nadi itu. (QS. Al-Haqqah: 43-47)
“Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar
diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin
(jibril), kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara
orrag-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa arab yang jelas”. (QS.
As-Syu’ara: 192-195)
Dalam ayat ini Allah swt dengan sangat tegas
menyatakan bahwa al-Qur’an tanzil; diturunkan langsung dalam bahasa arab
kedalam sanubari Nabi Muhammad saw. Tidak ada campur tangan malaikat
sedikitpun.Termasuk juga Nabi, sebagaimana dinyatakan dalam ayat sebelumnya.
Jelas sekali bahwa wahyu yang diturunkan Allah swt
kepada para Nabi, termasuk kepada Nabi Muhammad saw, adalah kalam Allah, dan
tentunya tidak akan sama dengan hasil kreasi manusia. Dengan sendirinya wahyu
ini pun metahistoris; tidak terikat sejarah; tidak terikat oleh ruang dan
waktu. Kalau memang wahyu, khususnya al-Qur’an merupakan hasil kreasi manusia
tepatnya Nabi Muhammad saw, tentu manusia-manusia yang lainpun akan mampu
membuat karya yang serupa dengan al-Qur’an. Akan tetapi fakta berbicara lain,
al-qur’an tidak bisa disamai oleh karya manusia yang ada waktu itu, bahkan
sampai hari ini.
Allah menentang manusia membuat yang serupa dengan
al-Qur’an, mulai dari satu mushaf seperti al-Qur’an, sepuluh surat, bahkan
sampai satu surat, akan tetapi sampai hari ini memang tidak ada yang bisa
membuatnya. Ini menjadi bukti shahih bahwa al-Quran bukan dihasilkan oleh
kreasi manusia yang terikat oleh sejarah itu, melainkan kalam Allah swt yang
melintasi sejarah.[5]
C. Cara Penyampaian Wahyu
Al-Qur'an
diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan Malaikat
Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari.
Dalam proses pewahyuannya, terdapat beberapa cara untuk menyampaikan wahyu yang dibawa
Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad, diantaranya:
1.
Malaikat Jibril
memasukkan wahyu ke dalam hati Nabi. Dalam hal ini, Nabi tidak melihat sesuatu
apapun, hanya merasa bahwa wahyu itu sudah berada di dalam kalbunya. Mengenai
hal ini, Nabi mengatakan: Ruhul Qudus mewahyukan ke dalam kalbuku,
2.
Malaikat
menampakkan dirinya kepada Nabi menjadi seorang lelaki yang mengucapkan
kata-kata kepadanya sehingga Nabi mengetahui dan dapat menghafal kata-kata itu.
3.
Wahyu datang
kepada Nabi seperti gemerincingnya lonceng. Cara ini dirasakan paling berat
bagi Nabi. Kadang pada keningnya berkeringat, meskipun turunnya wahyu di musim
dingin. Kadang unta Baginda Nabi terpaksa berhenti dan duduk karena merasa
berat bila wahyu turun ketika Nabi sedang mengendarai unta.
4.
Malaikat
menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki, tetapi
benar-benar sebagaimana rupa aslinya.[6]
D.
Konsep Tentang Wahyu
Secara umum gagasan tentang wahyu
muncul pada saat manusia mempunyai gagasan tentang tuhan yang transeden,
sehingga diperlukan adanya cara/perantara yang menghubungkan kehidupan manusia
yang “real” dengan tuhan yang “transeden”.Maka lahirlah gagasan tentang wahyu.Gagasan
tentang wahyu tidak muncul dan mengemukakan pada saat manusia memahami
tuhan/dewa sebagai sesuatu yang personal. Karena sebagai tuhan yang personal,
tuhan akan bicara kepada manusia selayaknya cara manusia.
Seiring berjalannya waktu,konsep tentang
wahyu itu sendiri menjadi sangat bervariasi. Ada yang mengatakan bahwa tuhan
bicara secara “verbatim” seperti kisah “bertemunya” Musa dengan tuhan di gunung
dan kemudian Musa turun membawa lempengan batu yang berisi “firman tuhan”. Ada
pula konsep lain yang mengatakan firman tuhan (wahyu) sampai pada nabi/rasulnya
melalui perantara malaikat Jibril, dan wahyu ini tidak disampaikan secara
“verbatim” tapi dengan cara yang bevariasi, ada yang berisikan wahyu bisa
datang ke Muhammad berupa suara lonceng, yang dengan demikian tugas Muhammad
adalah menerjemahkan suara lonceng tadi menjadi sebuah kalimat yang bisa
dipahami oleh umatnya.[7]
Memahami konsep wahyu dapat terbagi
kedalam dua besaran. Salah satunya makna wahyu alam arti yang lebih luas yakni
sebagai proses komunikasi. Dalam pemaknaan demikian wahyu merupakan proses
pemberian informasi. Tampaknya tidak berlebihan jika Izutsu kemudian
mengupasnya dalam perspektif semantik linguistik untuk memahami konsep ini.Dalam
makna inilah (firman) maka wahyu menjadi sakral dan memerlukan penalaran
keagamaan untuk memahaminya.Hal ini terjadi, karena dalam suatu dimensi
tertentu, wahyu meliputi keseluruhan informasi yang Tuhan berikan kepada
manusia.Akan tetapi dalam Al-Qur’an, wahyu diperlukan sedemikian istimewa,
sesuatu yang misterius dan tidak tertangkap oleh pikiran manusia biasa, yang
karenanya memerlukan perantara “nabi”. Jadi dalam konteks ini wahyu dalam makna
firman tuhan harusnya diterima para nabi untuk kemudian disampaikan kepada
umat manusia. Satu hal yang unik, wahyu
dalam islam disampaikan tuhan tidak dengan bahasa yang misterius, bahasa yang
berjarak dengan manusia, melainkan dengan bahasa manusia itu sendiri.[8]
E.
Konsep Tentang
Sumber Wahyu
Konsep tentang sumber wahyu juga
bervariasi.Ada yang mengemukakan gagasan bahwa sumber wahyu itu tunggal (dari
tuhan), ada juga yang berpendapat sumber wahyu itu plural[9].
Dari sisi literal tekstual-penggunaan ayat-ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa
pewahyuan, turunnya dan penjagaan al-Qur’en menggunakan kata “kami” bukan
“saya/aku”-maupun proses kesejarahan al-qur’an sendiri, sumber dan proses
al-qur’an memang tidak tunggal, tapi plural: berasal dari “sumber dan proses
kreatif-kolektif” yang lebih mengarah pada konteks dimana Nabi Muhammad itu
hidup, baik sebelum dia menerima wahyu ataupun setelahnya. Malah, proses
kreatif “pewahyuan” itu lebiyh banyak sebelum Mugammad menerima wahyu. Hanya
saja, periode Muhammad sebelum menerima wahyu adalah “tahun-tahunyang hilang”
ataupun tidak menjadi perhatian.Tujuannya adalah untuk menunjukkanpewahyuan
yang tunggal dari tuhan, tidak ada pengaruh konteks dan sejarah terhadap
pewahyuan itu.[10]
F.
Deskontruksi
Konsep Wahyu
Saat ini konsep
wahyu yang sangat jelas dan gamblang sebagaimana diuraikan diatas,
didekonstruksi oleh sebagian pihak.Wahyu dinilai bukan kalam Allah, melainkan
teks yang dibuat oleh sejarah.Maka hermeneutika pun menjadi satu-satunya model
penafsiran yang tepat untuk al-Qur’an.
Menurut
komaruddin, al-Qur’an haruslah dilihat dari persefektif teologi filsafat
linguistik.Sebuah pandangan teologis menyebutkan al-Qur’an adalah suci,
kebenarannya absolut, berlaku dimana dan kapan saja.Sehingga dia tidak bisa
dirubah dan diterjemahkan. Begitu diterjemahkan dna ditafsirkan, maka ia bukan
lagi al-Qur’an, melainkan terjemahan dan tafsiran al-Qur’an.
Komaruddin
juga menjelaskan, wahyu itu pada dasarnya bukanlah bahasa tertulis.Wujud wahyu
adalah “suara” atau “bisikan”. Proses kalam Allah yang abadi, universal dan
metahistoris tersebut menjadi bahasa arab yang bersifat budaya, berdimensi
lokal dan partikular merupakan sebuah hal yang selalu memancing nalar kritis.
Komaruddin
juga menjelaskan lebih lanjut, dalam al-qur’an yang telah tersaji saat ini,
setidaknya telah melalui dua proses penafsiran, yaitu:
1. penafsiran al-quran yang
dilakukan oleh jibril yang kemudian didiktekan kepada Muhammad secara
filosofis, persoalan siapa jibril, masih bisa diperdebatkan.
2. penafsiaran yang mungkin
terjadi dalam diri muhammad Rasulullah. Bukankah Muhammad sebagai sosok yang
cerdas, jujur, amanah, dan sebuah kaset kosong untuk diisi rekaman?Jadi, ketika
mendapat wahyu, Muhammad bertindak aktif memahami, menyerap dan kemudian
mengungkapkannya dalam bahasa Arab.
Dekonstruksi yang dilakukan dikalangan liberal tertuju pada dua
hal, yaitu:
1.
Hakikat wahyu
yang berujung pada pemberlakuan heurmeneutika
2.
Kedudukan
mushaf ‘Utsmani yang menurut mereka sudah tidak otentik lagi.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wahyu adalah
pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat dan khusus ditujukan kepada orang
yang diberitahutan padi ketahui orang lain. Secara istilah wahyu didefinisikan
sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada seorangNabi`. Definisi ini
menggunakan pengertian maf`ul, yaitu al muha( yang diwahyukan ).
Wahyu yang diturunkan Allah swt kepada para Nabi,
termasuk kepada Nabi Muhammad saw, adalah kalam Allah, dan tentunya tidak akan
sama dengan hasil kreasi manusia. Dengan sendirinya wahyu ini pun metahistoris;
tidak terikat sejarah; tidak terikat oleh ruang dan waktu. Kalau memang wahyu,
khususnya al-Qur’an merupakan hasil kreasi manusia tepatnya Nabi Muhammad saw,
tentu manusia-manusia yang lainpun akan mampu membuat karya yang serupa dengan
al-Qur’an. Akan tetapi fakta berbicara lain, al-qur’an tidak bisa disamai oleh
karya manusia yang ada waktu itu, bahkan sampai hari ini.Konsep tentang wahyu itu sendiri menjadi
sangat bervariasi.
Dekonstruksi yang dilakukan dikalangan liberal
tertuju pada dua hal, yaitu hakikat wahyu yang berujung pada pemberlakuan
heurmeneutika dan kedudukan mushaf ‘Utsmani yang menurut mereka sudah tidak
otentik lagi.
[1]
Desakralisasi adalah penghapusan atau pelenyapan nilai yang dianggap keramat
(sakral)
[3]http://.google.com/gt/x?=id&u=http://iraanmalik.blogspot.com/2013/05/konsep-wahyu.html&q=konsep+wahyu&sa=X&ei=DRmKoW8MlaRrAeOhoDADw&ved=OCCsQFjAEOBQ/2013/11/19/11:39
[5]
Nashruddin syarief, Menangkal Virus Islam Liberal, 2010, hal 148-153
[6]ahmadbudi2991.blogspot.com/2012/03/konsep-wahyu.html
[7]http://ww.google.com/gwt/x?hl=id&u=http:/qiemo.tumblr.com/post/875683055/konsep-tentang
wahyu&q=konsep+wahyu&sa=X&ei=TeGJUuayJYaCrAegilGIA&ed=OCCoQFjAC/2013/11/18/17:41
[8]
http://w.google.com/gt/x?hl=id&u=http://bdkbandung.kemenag.go.id/jurnal/117-tinjauan-islam-tentang-konsep-wahyu-dan-pewarisan-amanat-keagungan-ilahi&q=konsep+wahyu&sa=X&ei=ufOJUtGfL8v9rAfltlG4BQ&ved=OCCgFjABOAo/2013/11/19/11:25
[9]
Plural adalah lebih dari satu, jamak
[10]http://ww.google.com/gwt/x?hl=id&u=http:/qiemo.tumblr.com/post/875683055/konsep-tentangwahyu&q=konsep+wahyu&sa=X&ei=TeGJUuayJYaCrAegilGIA&ed=OCCoQFjAC/2013/11/18/17:41
[11]
Nashiruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal (Panduan Worldvie Untuk
Para Aktivis Da’wah). Bandung, hal. 164
Tidak ada komentar:
Posting Komentar