Rabu, 29 Oktober 2014

Makalah Khiyar


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
            Dalam kehidupan manusia, kebutuhan yang diperlukan tidak cukup hanya keperluan rohani saja. Manusia juga membutukkan keperluan jasmani, seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan yang lainnya. Maka untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya dia harus berhubungan dengan sesama dan alam sekitarnya. Inilah yang disebut dengan muamalah.
            Untuk menghindari kesewenang-wenangan dalam bermuam’alah, agama mengatur sebaik-baiknya masalah ini. Maka dari sinilah telah jelas bahwa Islam itu tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tapi juga hubungan manusia dengan sesama manusia lagi. Disamping diwajibkan mengabdikan dirinya kepada Tuhan, manusia juga diwajibkan untuk mencari keperluan hidupnya.
            Firman Allah Ta’alaa:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagian dari duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-Qashash: 77)
            Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa kita harus berbuat baik terhadap sesama, tolong-menolong, bantu-membantu dalam kesempitan dan kesukaran. Dan salah satu cara muamalah supaya tidak terjadi salah kekeliruan antara penjual dan pembeli, maka diperlukan adanya khiyar (pilihan). Oleh karena sebab itu, maka di dalam makalah ini kami mengambil judul “Khiyar”.
B.     Perumusan Masalah
1.      Apa yang disebut dengan khiyar?
2.      Ada berapa pembagian khiyar?
3.      Apa hikmah dari khiyar?
4.      Bagaimana analisis materi fiqih di pondok pesantren?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan khiyar.
2.      Untuk mengetahui pembagian khiyar.
3.      Untuk mengetahui hikmah dari khiyar.
4.      Untuk mengetahui analisis materi fiqih di pondok pesantren.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Khiyar
Khiyar Menurut bahasa yaitu memilih, menyisihkan dan menyaring. Sedangkan secara umum khiyar artinya menentukan yang terbaik dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan orientasi. Sedangkan menurut istilah ulama ahli fiqih khiyar adalah hak memilih antar dua hal yang disukainya, meneruskan atau membatalkan jual beli selama kedua belah pihak masih ada ditempat akad dan masih dalam masa pertimbangan.[1]
Sedangkan menurut al-ustadz Aceng Zakaria dalam bukunya Etika Bisnis Dalam Islam, Beliau mendefinisikan bahwa yang disebut khiyar adalah mengambil pilihan untuk jadi atau membatalkan jual beli setelah terjadi Ijab Qabul.[2]
Kadang orang terburu-buru untuk melakukan Ijab Qabul dan setelah Ijab Qabul kadang baru terpikir bahwa yang lebih maslahat, lebih baik membatalkan jual beli karena ada pertimbangan-pertimbangan lain.
B.     Pembagian Khiyar
Menurut Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, M.A dalam bukunya Fiqih Muamalah menyatakan bahwa Jumlah khiyar sangat banyak dan diantara para ulama telah terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiyah, jumlahnya ada 17.
Ulama Malikiyah membagi khiyar menjadi dua bagian, yaitu khiyar al-taamul (melihat, meneliti) yakni khiyar secara mutlak, dan khiyar naqish (kurang) yakni apabila tedapat kekurangan atau a’ib barang yang dijual (khiyar al-hukmy). Ulam Malikiyah berpendapat bahwa khiyar majlis itu batal.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa khiyar terbagi dua, pertama khiyar at-tasyahi adalah khiyar yang menyebabkan pembeli memperlama transaksi sesuai dengan seleranya terhadap barang, baik dalam majlis maupun syarat. Kedua adalah khiyar naqishah yang disebabkan adanya perbedaan dalam lafazh atau adanya kesalahan dalam perbuatan atau adanya penggantian. Adapun khiyar yang didasarka pada syara’ menurut ulama Syafi’iyah ada 16 dan menurut ulama Hanabilah jumlah khiyar ada 8 macam.[3]
1)      Khiyar Syarat
a.      Arti khiyar syarat
Yaitu mengadakan khiyar dengan mengambil batas waktu satu, dua atau tiga hari atau mungkin lebih sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Maka jika telah habis waktunya maka gugurlah dan jual belinya dianggap positif, tidak bisa dibatalkan lagi. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW;
عن ابن عمر ان النبي صلى الله عليه وسلم قال:كل بيعين لا بيع بينهما حت يتفرقا الابيع الخيار.
Dari Ibnu ‘Umar, sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “setiap penjual dan pembeli tidak ada jual beli di antara mereka sampai keduanya berpisah kecuali khiyar.”
Hadits ini menunjukkan selama belum berpisah keduanya, maka masih bisa membatalkan jual belinya, kecuali jika ada khiyar, termasuk waktu tertentu yang disepakati kedua belah pihak.[4]
b.      Khiyar masyru’ (disyari’atkan) dan khiyar rusak
1.      Khiyar masyru’
Yaitu khiyar yang ditetapkan batasan waktunya. Hal itu didasarkan pada hadits Rasulullah SAW. tentang riwayat Hibban Ibn Munqid yang menipu dalam jual-beli, kemudian perbuatannya itu dilaporka kepada Rasulullah SAW ., lalu beliau bersabda:
اذابايعت فقل: لاخلابةولى الخيار ثلاثة ايام.
“jika kamu bertransaksi (jual-beli), katakanlah, tidak ada penipuan dan saya khiyar selama tiga hari” (HR. Muslim)
2.      Khiyar rusak
Menurut pendapat paling masyhur dikalangan ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, khiyar yang tidak jelas batasan waktunya adalah tidak sah, seperti pernyataan “saya beli barang ini dengan syarat saya khiyar selamanya.” Perbuatan ini mengandung unsur jahalah (ketidakjelasan).
c.       Batasan khiyar masyru’
Ulama Hanafiyah, Jafar, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa khiyar dibolehkan dengan waktu yang ditentukan selagi tidak lebih dari tiga hari. Golongan ini selain beralasan dengan hadits dari Munqid di atas, juga mendasarkan pada hadits dari Ibn Umar tentang pernyataan Anas:
ان رجلا اشتر ى من رجل بعيرا واشترط عليه الحيار اربعة ايام. فابطل رسول الله ص.م. البيع وقال: الخيار ثلاثة ايام.
“Seseorang laki-laki membeli seekor unta dari laki-laki lainnya, dan ia mensyaratkan khiyar selama empat hari. Rasulullah SAW. Membatalkan jual-beli tersebut dan bersabda, “khiyar adalah tiga hari.” (HR. Abdurrazaq)



d.      Cara menggunakan khiyar
Dimaklumi bahwa akad atau  jual-beli yang di dalamnya terdapat khiyar adalah akad yang tidak lazim. Dengan demikian, akad tersebut akan menjadi lazim jika khiyar tersebut gugur.
Cara menggugurkan khiyar tersebut ada tiga:
a.       Pengguguran jelas (sharih)
Pengguguran sharih adalah pengguguran oleh orang yang berkhiyar seperti menyatakan, “saya batalkan khiyar dan saya ridha.” Dengan demikian, akad menjadi lazim (shahih). Sebaliknya, akad gugur dengan pernyataan “saya batalkan atau saya gugurkan akad ini.”
b.      Pengguguran dengan dilalah
Pengguguran dengan dilalah adalah adanya tasharruf (beraktifitas dengan barang tersebut) dari pelaku khiyar yang menunjukkan bahwa jual-beli tersebut jadi dilakukan, seperti pembeli menghibahkan barang tersebut kepada orang lain, atau sebaliknya, pembeli mengembalikan kepemilikan kepada penjual. Pembeli menyerahkan kembali barang kepada penjual menunjukkan bahwa ia membatalkan jual-beli atau akad.
c.       Pengguguran khiyar dengan adanya kemadaratan
Pengguguran khiyar dengan adanya kemadaratan terdapat dalam beberapa keadaan, antara lain berikut ini:
a)      Habis waktu
Khiyar menjadi gugur setelah habis habis waktu yang telah ditetapkan walaupun tidak ada pembatalan dari yang khiyar. Dengan demikian, akad menjadi lazim.
b)      Kematian orang yang memberikan syarat
Jika orang yang memberikan syarat meninggal dunia, khiyar menjadi gugur, baik yang meninggal itu sebagai pembeli maupun penjual, lalu akadpun menjadi lazim, sebab tidak mungkin membatalkannya.
c)      Adanya hal-hal yang semakna dengan mati
Khiyar gugur dengan adanya perkara-perkara yang semakna dengan mati, seperti gila, mabuk, dan lain-lain. Dengan demikian, jika akal seseorang hilang karena gila, mabuk, tidur, atau hal lainnya, akad menjadi lazim.
d)     Barang rusak ketika masih khiyar
Tentang rusaknya barang dalam rentang waktu khiyar terdapat beberapa masalah, apakah rusaknya setelah diserahkan kepada pembeli atau masih dipegang penjual, dan lain-lain, sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini:
·         Jika barang masih di tangan penjual, batallah jual-beli dan khiyarpun gugur.
·         Jika barang sudah pada di tangan pembeli, jual-beli batal jika khiyar berasal dari penjual, tetapi pembeli harus menggantinya.
·         Jika barang sudah ada di pembeli dan khiyar berasal dari pembeli, jual-beli menjadi lazim dan khiyarpun gugur.
·         Ulama Syfi’iyah seperti halnya ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jika barang rusak dengan sendirinya, khiyar gugur dan jual-beli pun batal.


e)      Adanya cacat pada barang
Dalam masalah ini ada beberapa penjelasan
·         Jika khiyar berasal dari penjual, dan cacat terjadi dengan sendirinya, khiyar gugur dan jual-beli pun gagal. Akan tetapi, jika cacat karena perbuatan pembeli atau orang lain, khiyar tidak gugur, tetapi pembeli berhak khiyar dan bertanggung jawab atas kerusakannya. Begitu juga jika orang lain yang merusaknya, ia bertanggung jawab atas kerusakannya.
·         Jika khiyar berasal dari pembeli dan cacat, khiyar gugur, tetapi jual-beli tidak gugur, sebab barang berada pada tanggung jawab pembeli.

e.       Hukum akad pada masa khiyar
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa tidak terjadi akad pada jual-beli yang mengandung khiyar, tetapi ditunggu sampai gugurnya khiyar.
Adapun menurut ulama Malikiyah dalam riwayat Ahmad, barang yang ada pada masa khiyar masih milik penjual, sampai gugurnya khiyar, sedangkan pembeli belum memiliki hak sempurna terhadap barang.
Ulama Syafi’iyah berpendapat, jika khiyar syarat berasal dari pembeli, barang menjadi milik pembeli. Sebaliknya, jika khiyar berasal dari penjual, barang menjadi hak penjual. Jika khiyar syarat berasal dari penjual dan pembeli, ditunggu sampai jelas (gugurnya khiyar).
Adapun menurut ulama Hanabilah, dari siapapun khiyar berasal, barang tesebut menjadi milik pembeli. Jual-beli dengan khiyar, sama seperti jual-beli lainnya, yakni menjadikan pembeli sebagai pemilik barang yang tadinya milik penjual. Mereka mendasarkan pada hadits Nabi SAW. dari Iibn Umar:
من باع عبدا وله مال فماله للب ئع الا ان يشترط المبتاع
“barang siapa yang menjual hamba yang memiliki harta, maka harta tersebut milik penjual, kecuali pembeli memberikan syarat.”
Pada hadits tersebut, Rasulullah SAW. menetapkan bahwa harta menjadi milik pembeli dengan adanya syarat.
f.        Cara membatalkan atau menjadikan akad
Membatalkan atau menjadikan akad dapat terjadi dengan adanya kemadaratan atau adanya maksud (niat) dan khiyar (pilihan).
Pembatalan dengan adanya kemadaratan telah dibahas di atas, yakni bisa dengan habisnya waktu, rusaknya barang dan lain-lain.[5]
2)      Khiyar Majlis
Khiyar majlis yaitu memilih antara jadi dan tidak selama masih dalam satu majlis, sebagaimana dalam hadits dinyatakan:
البيعان بالخيار ما لم يتفرقا...
“si penjual dan pembeli boleh mengambil khiyar selama keduanya belum berpisah.”
Maksudnya, jika sudah berpisah maka tidak ada khiyar, sedangkan ukuran majlisnya itu relatif, bisa kecil seperti keluar dari rumah, bisa lebih besar seperti keluar dari toko atau mall. Dalam hak ini bisa dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan) atau kewajaran yang dianggap sudah berpisah.[6]
Masa habisnya khiyar apabila:
1.      Keduanya memilih akan meneruskan akad. Jika salah seorang dari keduanya memilih akan meneruskan akad, habislah khiyar dari pihaknya, tetapi hak yang lain masih tetap.
2.      Keduanya terpisah dari tempat jual-beli. Arti berpisah ialah menurut kebiasaan, apabila kebiasaan telah menghukum bahwa keadaan keduanya sudah berpisah, tetaplah jual-beli antara keduanya. Kalau keadaan mengatakan belum berpisah, masih terbukalah pintu khiyar antara keduanya. Kalau keduanya berselisih, umpamanya seorang mengatakan sudah berpisah, sedangkan yang lain mengatakan belum, yang mengatakan belum hendaklah dibenarkan dengan sumpahnya, karena yang asal belum berpisah.[7]
3)      Khiyar A’ib (Cacat)
1.      Arti khiyar a’ib
Khiyar a’ib yaitu membuat khiyar karena terdapat a’ib atau cacat dalam barang yang diperjualbelikan. Seseorang hendaklah menjual barangnya dengan transparan, jika mulus katakanlah mulus dan jika cacat katakanlah cacat. Tidak boleh (haram) menyembunyikan cacat pada barang yang dijual, sebagaimana sabda Nabi SAW:
قال رسول الله ص.م: لا يحل لمسلم باع من اخيه بيعا وفيه عيب الا بينه. – رواه احمد-
Nabi SAW bersabda: “tidak halal seorang muslim menjual barang kepada saudaranya yang muslim yang terdapat cacat kecuali ia harus menjelaskannya.” (H.R Ahmad)
Dengan demikian, bila seseorang membeli barang yang ternyata ada cacatnya, maka ia boleh mengembalikannya lagi. Tetapi jika pembeli membeli sesuatu dan ia sudah mengetahui cacatnya sejak awal dan ia setuju untuk membelinya, maka sah jual-belinya dan jika terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli tentang cacat dalam barang tersebut setelah berpisah, maka ucapan yang kuat adalah ucapan si penjual, karena ada Qaidah (penjelasan):
الاصل العدم.
“asalnya adalah tidak ada.”
Yaitu tidak ada cacat. Oleh karenanya tidak ada khiyar kecuali jika si penjual menyetujuinya. Tetapi jika sejak awal sudah dibuat perjanjian, dimana barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan lagi dan si pembeli menyetujuinya, maka dalam hal ini tentu saja tidak ada khiyar, seperti membeli obat ke apotek yang telah ditentukan sejak awal tidak boleh dikembalikan lagi.[8]
2.      ‘Aib mengharuskan khiyar
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ‘aib pada khiyar adalah segala sesuatu yang menunjukkan adanya kekurangan dari aslinya, misalnya berkurang nilainya menurut adat, baik berkurang sedikit atau banyak.
Menurut ulama Syafi’iyah adalah segala sesuatu yang dapat dipandang berkurang nilainya dari barang yang dimaksud atau tidak adanya barang yang dimaksud, seperti sempitnya sepatu, potongnya tanduk binatang yang akan dijadikan kurban.

3.      Syarat tetapnya khiyar
Disyaratkan untuk tepatnya khiyar ‘aib setelah diadakan penelitian yang menunjukkan:
1)      Adanya ‘aib setelah akad atau sebelum diserahkan, yakni ‘aib tersebut telah lama ada. Jika adanya setelah penyerahan atau ketika berada di tangan pembeli, ‘aib tersebut tidak tetep.
2)      Pembeli tidak mengetahui adanya cacat ketika akad dan ketika menerima barang. Sebaliknya, jika pembeli sudah mengetahui adanya cacat setelah menerima barang, tidak ada khiyar sebab ia dianggap telah ridha.
3)      Pemilik barang tidak mensyaratkan agar pembeli membebaskan jika ada cacat. Dengan demikian, jika penjual mensyaratkannya, tidak ada khiyar. Jika pembeli membebaskannya, gugurlah hak dirinya.[9]
4.      Waktu khiyar ‘aib
Khiyar ‘aib tetap ada sejak munculnya cacat walaupun akad telah berlangsung cukup lama. Mengenai membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat, baik secara langsung atau ditangguhkan, terdapat dua pendapat.
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat adalah ditangguhkan, yakni tidak disyaratkan secara langsung.
Adapun ulama Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa pembatalan akad harus dilakukan sewaktu diketahuinya cacat, yakni secara langsung menurut adat, tidak boleh ditangguhkan.
5.      Cara pengembalian akad
Apabila barang berada di tangan pemilik pertama, yakni belum diserahkan kepada pembeli, akad dianggap telah dikembalikan (dibatalkan), dengan ucapan, “Saya kembalikan.” Dalam hal ini tidak memerlukan seorang hakim, tidak pula membutuhkan keridaan.
6.      Hukum akad dalam khiyar ‘aib
Hak pemilik barang khiyar yang masih memungkinkan adanya ‘aib berada di tangan pada pembeli sebab jika tidak terdapat kecacatan, barang tersebut adalah milik pembeli secara lazim.
Dampak dari khiyar ‘aib adalah menjadikan akad tidak lazim bagi yang berhak khiyar, baik rela atas cacat tersebut sehingga batal khiyar dan akad menjadi lazim, atau mengembalikan barang kepada pemiliknya sehingga akad batal.
7.      Perkara yang menghalangi untuk mengembalikan barang ma’qud ‘alaih (barang) yang cacat tidak boleh dikembalikan dan akad menjadi lazim dengan adanya sebab-sebab berikut:
1)      Rida setelah mengetahui adanya cacat, baik secara jelas diucapkan atau adanya petunjuk, seperti menggunakan barangnya (ber-tasharruf) yang menunjukkan atas keridaan barang yang cacat, seperti memakannya, menghadiahkannya, dan lain-lain.
2)      Menggugurkan khiyar, baik secara jelas, serperti berkata, “saya gugurkan khiyar” atau adanya petunjuk, seperti membebaskan adanya cacat pada ma’qud alaih (barang).
3)      Barang rusak karena perbuatan pembeli atau berubah dari bentuk aslinya.
4)      Adanya tambahan pada barang yang bersatu dengan barang tersebut dan bukan berasal dari aslinya atau tambahan yang terpisah dari barang, tetapai berasal dari aslinya, seperti munculnya buah atau lahirnya anak.
8.      Mewariskan Khiyar ’Aib
Ulama fiqih sepakat bahwa khiyar ‘aib dan khiyar ta’yin diwariskan sebab berhubungan dengan barang. Dengan demikian, jika yang memiliki hak khiyar ‘aib itu meninggal, ahli warisnya memiliki hak untuk meneruskan khiyar sebab ahli waris memiliki hak menerima barang yang selamat dari cacat.
C.    Hikmah Khiyar
Diantara hikmah khiyar adalah:
1.      Khiyar dapat membuat akad jual beli berlangsung memenuhi prinsip–prinsip islam, yaitu suka sama suka antar sesama pembeli dan penjual.
2.      Pembeli mendapatkan barang dagangan yang baik atau benar-benar yang di sukainya.
3.      Terhindar dari unsur- unsur penipuan baik dari pihak pembeli maupun penjual, karena tidak adanya kehati-hatian.
4.      Khiyar dapat memelihara hubungan baik dan terjalin cinta kasih antar sesama.
5.      Menghindari rasa permusuhan.[10]
6.      Mendidik kepada para pedangang agar selalu bersikap jujur.[11]



D.    Analisis Materi Fiqih (Khiyar) di Pondok Pesantren
Di dalam makalah ini kami akan memaparkan analisis materi fiqih khususnya materi tentang khiyar, atau yang lebih tepatnya materi fiqih (Khiyar) di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Muhammadiyah Bayubud.
Kami menganalisis materi khiyar ini dengan bertitik tolak pada Bapak Nandang Rahmat, S.Pd.I, sebagai narasumber. Beliau adalah  salah satu guru mata pelajaran fiqih di MTs. Muhammadiyah Bayubud ini, dengan hasil wawancara sebagai berikut:
1.      Materi fiqih tentang khiyar diberikan kepada siswa kelas IX.
2.      Menurut Bapak Nandang bahwa materi khiyar ini cocok diberikan kepada anak kelas IX, karena materi tentang muamalah (Khiyar) sudah pas, kena ke sasaran bahwa anak usia itu sudah tepat secara hukum (Sudah memenuhi persyaratan. Misal baligh, permasalahan sudah kompleks, dan berpikirnya sudah kritis).
3.      Metode yang digunakan ialah metode ceramah dan metode perbandingan. Menurut Beliau dengan menggunakan kedua metode tersebut sudah cocok diterapkan kepada anak usia kelas IX, karena dengan mengingat anak pada usia itu sudah mulai bisa berpikir kritis, maka setiap materi yang disampaikan bisa langsung dibandingkan dengan kegiatan bertransaksi mualah sehari-hari.
4.      Di MTs. Muhammadiyah Bayubud ini, buku paket yang di gunakan adalah:
a)      Buku paket dari Depag, yaitu FIKIH MADRASAH TSANAWIYAH Untuk Kelas IX, Semester 1 dan 2. H. Tatang Ibrahim. ARMICO Bandung. Berdasarkan standar isi 2008. Dan
b)      LKS THAWAF Buku Ajar Fiqih Kelas IX untuk MTs.
5.      Kemudian kalau melihat pada silabus, materi khiyar ini memang tidak ada (Tidak dimasukan secara terperinci) karena memang melihat pada buku paket  dari Depag pembahasan khiyar dalam muamalah memang tidak ada. Tetapi berdasarkan pada pengalaman Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) tahun-tahun sebelumnya materi khiyar itu di sampaikan kepada anak didik. Oleh sebab itu, maka buku paket yang digunakan tidak hanya buku yang dari Depag saja yaitu dengan menambah buku LKS THAWAF.





















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.      Khiyar adalah memilih antara dua alternatif, meneruskan untuk jual beli atau mengurungkannya. Hak untuk memilih antara kedua kemungkinan tersebut sepanjang masing-masing pihak dalam mempertimbangkan.
2.      Khiyar dapat dibagi menjadi tiga:
1)      Khiyar Syarat
2)      Khiyar Majlis
3)      Khiyar ‘Aib
3.      Diantara hikmah khiyar adalah:
a.       Khiyar dapat membuat akad jual beli berlangsung memenuhi prinsip–prinsip islam, yaitu suka sama suka antar sesama pembeli dan penjual.
b.      Pembeli mendapatkan barang dagangan yang baik atau benar-benar yang di sukainya.
c.       Terhindar dari unsur- unsur penipuan baik dari pihak pembeli maupun penjual, karena tidak adanya kehati-hatian.
d.      Khiyar dapat memelihara hubungan baik dan terjalin cinta kasih antar sesama.
e.       Menghindari rasa permusuhan.
f.       Mendidik kepada para pedangang agar selalu bersikap jujur.
4.      Analisis materi khiyar di pondok pesantren ini, kami mengambil acuan pada pesantren di salah satu yayasan milik Ormas Muhammadiyah, atau lebih khususnya di MTs. Muhamamadiyah Bayubud.


DAFTAR PUSTAKA

1.        Syafe’i, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. PUSTAKA SETIA. Bandung
2.        Zakaria, Aceng. 2012. Etika Bisnis. Ibnazka press. Garut
3.        Rasjid, Sulaiman. 2006. Fiqih Islam. SINAR BARU ALGENSINDO. Bandung



[1] http://Arti%KHIYAR/Fiqih%20khiyar.htm#
[2] Etika Bisnis Dalam Islam, hal. 60
[3]  Fiqih Muamalah, hal 104
[4] Etika Bisnis Dalam Islam, hal 62
[5] Fiqih Muamalah, hal.112
[6] Fiqih Islam, hal 286
[7] Ibid, hal 286
[8] Etika bisnis dalam islam, hal 62
[9] Fiqih muamalah, hal 117

Tidak ada komentar:

Posting Komentar