BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam
kehidupan manusia, kebutuhan yang diperlukan tidak cukup hanya keperluan rohani
saja. Manusia juga membutukkan keperluan jasmani, seperti makan, minum,
pakaian, tempat tinggal, dan yang lainnya. Maka untuk memenuhi kebutuhan
jasmaninya dia harus berhubungan dengan sesama dan alam sekitarnya. Inilah yang
disebut dengan muamalah.
Untuk
menghindari kesewenang-wenangan dalam bermuam’alah, agama mengatur
sebaik-baiknya masalah ini. Maka dari sinilah telah jelas bahwa Islam itu tidak
hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tapi juga hubungan manusia dengan
sesama manusia lagi. Disamping diwajibkan mengabdikan dirinya kepada Tuhan,
manusia juga diwajibkan untuk mencari keperluan hidupnya.
Firman
Allah Ta’alaa:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ
الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا
أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ
لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan
Allah kepadamu negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagian dari duniawi
dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-Qashash: 77)
Dalam
ayat tersebut ditegaskan bahwa kita harus berbuat baik terhadap sesama,
tolong-menolong, bantu-membantu dalam kesempitan dan kesukaran. Dan salah satu
cara muamalah supaya tidak terjadi salah kekeliruan antara penjual dan pembeli,
maka diperlukan adanya khiyar (pilihan). Oleh karena sebab itu, maka di
dalam makalah ini kami mengambil judul “Khiyar”.
B.
Perumusan
Masalah
1.
Apa
yang disebut dengan khiyar?
2.
Ada
berapa pembagian khiyar?
3.
Apa
hikmah dari khiyar?
4.
Bagaimana
analisis materi fiqih di pondok pesantren?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan khiyar.
2.
Untuk
mengetahui pembagian khiyar.
3.
Untuk
mengetahui hikmah dari khiyar.
4.
Untuk
mengetahui analisis materi fiqih di pondok pesantren.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Khiyar
Khiyar Menurut bahasa yaitu memilih, menyisihkan dan menyaring.
Sedangkan secara umum khiyar artinya menentukan yang terbaik dari dua hal (atau
lebih) untuk dijadikan orientasi. Sedangkan menurut istilah ulama ahli fiqih
khiyar adalah hak memilih antar dua hal yang disukainya, meneruskan atau
membatalkan jual beli selama kedua belah pihak masih ada ditempat akad dan
masih dalam masa pertimbangan.[1]
Sedangkan menurut al-ustadz Aceng Zakaria dalam bukunya Etika
Bisnis Dalam Islam, Beliau mendefinisikan bahwa yang disebut khiyar adalah
mengambil pilihan untuk jadi atau membatalkan jual beli setelah terjadi Ijab
Qabul.[2]
Kadang orang terburu-buru untuk melakukan Ijab Qabul dan setelah
Ijab Qabul kadang baru terpikir bahwa yang lebih maslahat, lebih baik
membatalkan jual beli karena ada pertimbangan-pertimbangan lain.
B.
Pembagian
Khiyar
Menurut Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, M.A dalam bukunya Fiqih
Muamalah menyatakan bahwa Jumlah khiyar sangat banyak dan diantara para
ulama telah terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiyah, jumlahnya ada
17.
Ulama Malikiyah membagi khiyar menjadi dua bagian, yaitu khiyar
al-taamul (melihat, meneliti) yakni khiyar secara mutlak, dan khiyar
naqish (kurang) yakni apabila tedapat kekurangan atau a’ib barang yang
dijual (khiyar al-hukmy). Ulam Malikiyah berpendapat bahwa khiyar majlis
itu batal.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa khiyar terbagi dua, pertama khiyar
at-tasyahi adalah khiyar yang menyebabkan pembeli memperlama transaksi
sesuai dengan seleranya terhadap barang, baik dalam majlis maupun syarat. Kedua
adalah khiyar naqishah yang disebabkan adanya perbedaan dalam lafazh
atau adanya kesalahan dalam perbuatan atau adanya penggantian. Adapun khiyar
yang didasarka pada syara’ menurut ulama Syafi’iyah ada 16 dan menurut ulama
Hanabilah jumlah khiyar ada 8 macam.[3]
1)
Khiyar
Syarat
a.
Arti
khiyar syarat
Yaitu
mengadakan khiyar dengan mengambil batas waktu satu, dua atau tiga hari atau
mungkin lebih sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Maka jika telah habis
waktunya maka gugurlah dan jual belinya dianggap positif, tidak bisa dibatalkan
lagi. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW;
عن ابن عمر ان النبي صلى الله عليه وسلم قال:كل بيعين لا بيع بينهما
حت يتفرقا الابيع الخيار.
Dari Ibnu
‘Umar, sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “setiap penjual dan pembeli tidak ada
jual beli di antara mereka sampai keduanya berpisah kecuali khiyar.”
Hadits ini
menunjukkan selama belum berpisah keduanya, maka masih bisa membatalkan jual
belinya, kecuali jika ada khiyar, termasuk waktu tertentu yang disepakati kedua
belah pihak.[4]
b.
Khiyar
masyru’
(disyari’atkan) dan khiyar rusak
1.
Khiyar
masyru’
Yaitu khiyar
yang ditetapkan batasan waktunya. Hal itu didasarkan pada hadits Rasulullah
SAW. tentang riwayat Hibban Ibn Munqid yang menipu dalam jual-beli, kemudian
perbuatannya itu dilaporka kepada Rasulullah SAW ., lalu beliau bersabda:
اذابايعت فقل: لاخلابةولى الخيار ثلاثة ايام.
“jika kamu
bertransaksi (jual-beli), katakanlah, tidak ada penipuan dan saya khiyar selama
tiga hari” (HR. Muslim)
2.
Khiyar
rusak
Menurut
pendapat paling masyhur dikalangan ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah,
khiyar yang tidak jelas batasan waktunya adalah tidak sah, seperti pernyataan
“saya beli barang ini dengan syarat saya khiyar selamanya.” Perbuatan ini
mengandung unsur jahalah (ketidakjelasan).
c.
Batasan
khiyar masyru’
Ulama
Hanafiyah, Jafar, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa khiyar dibolehkan dengan
waktu yang ditentukan selagi tidak lebih dari tiga hari. Golongan ini selain
beralasan dengan hadits dari Munqid di atas, juga mendasarkan pada hadits dari
Ibn Umar tentang pernyataan Anas:
ان رجلا اشتر ى من رجل بعيرا واشترط عليه الحيار اربعة ايام. فابطل
رسول الله ص.م. البيع وقال: الخيار ثلاثة ايام.
“Seseorang laki-laki membeli seekor unta dari laki-laki lainnya,
dan ia mensyaratkan khiyar selama empat hari. Rasulullah SAW. Membatalkan
jual-beli tersebut dan bersabda, “khiyar adalah tiga hari.” (HR. Abdurrazaq)
d.
Cara
menggunakan khiyar
Dimaklumi bahwa
akad atau jual-beli yang di dalamnya
terdapat khiyar adalah akad yang tidak lazim. Dengan demikian, akad tersebut
akan menjadi lazim jika khiyar tersebut gugur.
Cara menggugurkan
khiyar tersebut ada tiga:
a.
Pengguguran
jelas (sharih)
Pengguguran
sharih adalah pengguguran oleh orang yang berkhiyar seperti menyatakan, “saya
batalkan khiyar dan saya ridha.” Dengan demikian, akad menjadi lazim (shahih).
Sebaliknya, akad gugur dengan pernyataan “saya batalkan atau saya gugurkan akad
ini.”
b.
Pengguguran
dengan dilalah
Pengguguran
dengan dilalah adalah adanya tasharruf (beraktifitas dengan barang
tersebut) dari pelaku khiyar yang menunjukkan bahwa jual-beli tersebut jadi
dilakukan, seperti pembeli menghibahkan barang tersebut kepada orang lain, atau
sebaliknya, pembeli mengembalikan kepemilikan kepada penjual. Pembeli
menyerahkan kembali barang kepada penjual menunjukkan bahwa ia membatalkan
jual-beli atau akad.
c.
Pengguguran
khiyar dengan adanya kemadaratan
Pengguguran
khiyar dengan adanya kemadaratan terdapat dalam beberapa keadaan, antara lain
berikut ini:
a)
Habis
waktu
Khiyar menjadi
gugur setelah habis habis waktu yang telah ditetapkan walaupun tidak ada
pembatalan dari yang khiyar. Dengan demikian, akad menjadi lazim.
b)
Kematian
orang yang memberikan syarat
Jika orang yang
memberikan syarat meninggal dunia, khiyar menjadi gugur, baik yang meninggal
itu sebagai pembeli maupun penjual, lalu akadpun menjadi lazim, sebab tidak
mungkin membatalkannya.
c)
Adanya
hal-hal yang semakna dengan mati
Khiyar gugur
dengan adanya perkara-perkara yang semakna dengan mati, seperti gila, mabuk,
dan lain-lain. Dengan demikian, jika akal seseorang hilang karena gila, mabuk,
tidur, atau hal lainnya, akad menjadi lazim.
d)
Barang
rusak ketika masih khiyar
Tentang
rusaknya barang dalam rentang waktu khiyar terdapat beberapa masalah, apakah
rusaknya setelah diserahkan kepada pembeli atau masih dipegang penjual, dan
lain-lain, sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini:
·
Jika
barang masih di tangan penjual, batallah jual-beli dan khiyarpun gugur.
·
Jika
barang sudah pada di tangan pembeli, jual-beli batal jika khiyar berasal dari
penjual, tetapi pembeli harus menggantinya.
·
Jika
barang sudah ada di pembeli dan khiyar berasal dari pembeli, jual-beli menjadi
lazim dan khiyarpun gugur.
·
Ulama
Syfi’iyah seperti halnya ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jika barang rusak
dengan sendirinya, khiyar gugur dan jual-beli pun batal.
e)
Adanya
cacat pada barang
Dalam masalah
ini ada beberapa penjelasan
·
Jika
khiyar berasal dari penjual, dan cacat terjadi dengan sendirinya, khiyar gugur
dan jual-beli pun gagal. Akan tetapi, jika cacat karena perbuatan pembeli atau
orang lain, khiyar tidak gugur, tetapi pembeli berhak khiyar dan bertanggung
jawab atas kerusakannya. Begitu juga jika orang lain yang merusaknya, ia
bertanggung jawab atas kerusakannya.
·
Jika
khiyar berasal dari pembeli dan cacat, khiyar gugur, tetapi jual-beli tidak
gugur, sebab barang berada pada tanggung jawab pembeli.
e.
Hukum
akad pada masa khiyar
Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa tidak terjadi akad pada jual-beli yang mengandung khiyar,
tetapi ditunggu sampai gugurnya khiyar.
Adapun menurut
ulama Malikiyah dalam riwayat Ahmad, barang yang ada pada masa khiyar masih
milik penjual, sampai gugurnya khiyar, sedangkan pembeli belum memiliki hak
sempurna terhadap barang.
Ulama
Syafi’iyah berpendapat, jika khiyar syarat berasal dari pembeli, barang menjadi
milik pembeli. Sebaliknya, jika khiyar berasal dari penjual, barang menjadi hak
penjual. Jika khiyar syarat berasal dari penjual dan pembeli, ditunggu sampai
jelas (gugurnya khiyar).
Adapun menurut
ulama Hanabilah, dari siapapun khiyar berasal, barang tesebut menjadi milik
pembeli. Jual-beli dengan khiyar, sama seperti jual-beli lainnya, yakni
menjadikan pembeli sebagai pemilik barang yang tadinya milik penjual. Mereka
mendasarkan pada hadits Nabi SAW. dari Iibn Umar:
من باع عبدا وله مال فماله للب ئع الا ان يشترط المبتاع
“barang siapa
yang menjual hamba yang memiliki harta, maka harta tersebut milik penjual,
kecuali pembeli memberikan syarat.”
Pada hadits
tersebut, Rasulullah SAW. menetapkan bahwa harta menjadi milik pembeli dengan
adanya syarat.
f.
Cara
membatalkan atau menjadikan akad
Membatalkan
atau menjadikan akad dapat terjadi dengan adanya kemadaratan atau adanya maksud
(niat) dan khiyar (pilihan).
Pembatalan
dengan adanya kemadaratan telah dibahas di atas, yakni bisa dengan habisnya
waktu, rusaknya barang dan lain-lain.[5]
2)
Khiyar
Majlis
Khiyar majlis
yaitu memilih antara jadi dan tidak selama masih dalam satu majlis, sebagaimana
dalam hadits dinyatakan:
البيعان بالخيار ما لم يتفرقا...
“si penjual dan
pembeli boleh mengambil khiyar selama keduanya belum berpisah.”
Maksudnya, jika
sudah berpisah maka tidak ada khiyar, sedangkan ukuran majlisnya itu relatif,
bisa kecil seperti keluar dari rumah, bisa lebih besar seperti keluar dari toko
atau mall. Dalam hak ini bisa dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan) atau
kewajaran yang dianggap sudah berpisah.[6]
Masa habisnya
khiyar apabila:
1.
Keduanya
memilih akan meneruskan akad. Jika salah seorang dari keduanya memilih akan
meneruskan akad, habislah khiyar dari pihaknya, tetapi hak yang lain masih
tetap.
2.
Keduanya
terpisah dari tempat jual-beli. Arti berpisah ialah menurut kebiasaan, apabila
kebiasaan telah menghukum bahwa keadaan keduanya sudah berpisah, tetaplah
jual-beli antara keduanya. Kalau keadaan mengatakan belum berpisah, masih
terbukalah pintu khiyar antara keduanya. Kalau keduanya berselisih, umpamanya
seorang mengatakan sudah berpisah, sedangkan yang lain mengatakan belum, yang mengatakan
belum hendaklah dibenarkan dengan sumpahnya, karena yang asal belum berpisah.[7]
3)
Khiyar
A’ib (Cacat)
1.
Arti
khiyar a’ib
Khiyar a’ib
yaitu membuat khiyar karena terdapat a’ib atau cacat dalam barang yang
diperjualbelikan. Seseorang hendaklah menjual barangnya dengan transparan, jika
mulus katakanlah mulus dan jika cacat katakanlah cacat. Tidak boleh (haram) menyembunyikan
cacat pada barang yang dijual, sebagaimana sabda Nabi SAW:
قال رسول الله ص.م: لا يحل لمسلم باع من اخيه بيعا وفيه عيب الا بينه.
– رواه احمد-
Nabi SAW
bersabda: “tidak halal seorang muslim menjual barang kepada saudaranya yang
muslim yang terdapat cacat kecuali ia harus menjelaskannya.” (H.R Ahmad)
Dengan
demikian, bila seseorang membeli barang yang ternyata ada cacatnya, maka ia
boleh mengembalikannya lagi. Tetapi jika pembeli membeli sesuatu dan ia sudah
mengetahui cacatnya sejak awal dan ia setuju untuk membelinya, maka sah
jual-belinya dan jika terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli tentang
cacat dalam barang tersebut setelah berpisah, maka ucapan yang kuat adalah
ucapan si penjual, karena ada Qaidah (penjelasan):
الاصل العدم.
“asalnya adalah
tidak ada.”
Yaitu tidak ada
cacat. Oleh karenanya tidak ada khiyar kecuali jika si penjual menyetujuinya.
Tetapi jika sejak awal sudah dibuat perjanjian, dimana barang yang sudah dibeli
tidak boleh dikembalikan lagi dan si pembeli menyetujuinya, maka dalam hal ini
tentu saja tidak ada khiyar, seperti membeli obat ke apotek yang telah
ditentukan sejak awal tidak boleh dikembalikan lagi.[8]
2.
‘Aib
mengharuskan khiyar
Ulama Hanafiyah
dan Hanabilah berpendapat bahwa ‘aib pada khiyar adalah segala sesuatu yang
menunjukkan adanya kekurangan dari aslinya, misalnya berkurang nilainya menurut
adat, baik berkurang sedikit atau banyak.
Menurut ulama
Syafi’iyah adalah segala sesuatu yang dapat dipandang berkurang nilainya dari
barang yang dimaksud atau tidak adanya barang yang dimaksud, seperti sempitnya
sepatu, potongnya tanduk binatang yang akan dijadikan kurban.
3.
Syarat
tetapnya khiyar
Disyaratkan
untuk tepatnya khiyar ‘aib setelah diadakan penelitian yang menunjukkan:
1)
Adanya
‘aib setelah akad atau sebelum diserahkan, yakni ‘aib tersebut telah lama ada.
Jika adanya setelah penyerahan atau ketika berada di tangan pembeli, ‘aib
tersebut tidak tetep.
2)
Pembeli
tidak mengetahui adanya cacat ketika akad dan ketika menerima barang.
Sebaliknya, jika pembeli sudah mengetahui adanya cacat setelah menerima barang,
tidak ada khiyar sebab ia dianggap telah ridha.
3)
Pemilik
barang tidak mensyaratkan agar pembeli membebaskan jika ada cacat. Dengan
demikian, jika penjual mensyaratkannya, tidak ada khiyar. Jika pembeli
membebaskannya, gugurlah hak dirinya.[9]
4.
Waktu
khiyar ‘aib
Khiyar ‘aib tetap
ada sejak munculnya cacat walaupun akad telah berlangsung cukup lama. Mengenai
membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat, baik secara langsung atau
ditangguhkan, terdapat dua pendapat.
Ulama Hanafiyah
dan Hanabilah berpendapat bahwa membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat
adalah ditangguhkan, yakni tidak disyaratkan secara langsung.
Adapun ulama
Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa pembatalan akad harus dilakukan
sewaktu diketahuinya cacat, yakni secara langsung menurut adat, tidak boleh
ditangguhkan.
5.
Cara
pengembalian akad
Apabila barang
berada di tangan pemilik pertama, yakni belum diserahkan kepada pembeli, akad
dianggap telah dikembalikan (dibatalkan), dengan ucapan, “Saya kembalikan.”
Dalam hal ini tidak memerlukan seorang hakim, tidak pula membutuhkan keridaan.
6.
Hukum
akad dalam khiyar ‘aib
Hak pemilik
barang khiyar yang masih memungkinkan adanya ‘aib berada di tangan pada pembeli
sebab jika tidak terdapat kecacatan, barang tersebut adalah milik pembeli
secara lazim.
Dampak dari
khiyar ‘aib adalah menjadikan akad tidak lazim bagi yang berhak khiyar, baik
rela atas cacat tersebut sehingga batal khiyar dan akad menjadi lazim, atau
mengembalikan barang kepada pemiliknya sehingga akad batal.
7.
Perkara
yang menghalangi untuk mengembalikan barang ma’qud ‘alaih (barang) yang cacat tidak boleh dikembalikan dan akad menjadi lazim
dengan adanya sebab-sebab berikut:
1)
Rida
setelah mengetahui adanya cacat,
baik secara jelas diucapkan atau adanya petunjuk, seperti menggunakan barangnya
(ber-tasharruf) yang menunjukkan atas keridaan barang yang cacat,
seperti memakannya, menghadiahkannya, dan lain-lain.
2)
Menggugurkan
khiyar, baik secara
jelas, serperti berkata, “saya gugurkan khiyar” atau adanya petunjuk, seperti
membebaskan adanya cacat pada ma’qud alaih (barang).
3)
Barang
rusak karena perbuatan pembeli
atau berubah dari bentuk aslinya.
4)
Adanya
tambahan pada barang
yang bersatu dengan barang tersebut dan bukan berasal dari aslinya atau
tambahan yang terpisah dari barang, tetapai berasal dari aslinya, seperti munculnya
buah atau lahirnya anak.
8.
Mewariskan
Khiyar ’Aib
Ulama fiqih
sepakat bahwa khiyar ‘aib dan khiyar ta’yin diwariskan sebab berhubungan dengan
barang. Dengan demikian, jika yang memiliki hak khiyar ‘aib itu meninggal, ahli
warisnya memiliki hak untuk meneruskan khiyar sebab ahli waris memiliki hak
menerima barang yang selamat dari cacat.
C. Hikmah Khiyar
Diantara hikmah khiyar adalah:
1. Khiyar dapat membuat akad jual beli berlangsung
memenuhi prinsip–prinsip islam, yaitu suka sama suka antar sesama pembeli dan
penjual.
2. Pembeli mendapatkan barang dagangan yang baik atau
benar-benar yang di sukainya.
3. Terhindar dari unsur- unsur penipuan baik dari pihak
pembeli maupun penjual, karena tidak adanya kehati-hatian.
4. Khiyar dapat memelihara hubungan baik dan terjalin
cinta kasih antar sesama.
5. Menghindari rasa permusuhan.[10]
6. Mendidik kepada para pedangang agar selalu bersikap jujur.[11]
D. Analisis Materi Fiqih (Khiyar) di Pondok Pesantren
Di dalam
makalah ini kami akan memaparkan analisis materi fiqih khususnya materi tentang
khiyar, atau yang lebih tepatnya materi fiqih (Khiyar) di Madrasah Tsanawiyah
(MTs) Muhammadiyah Bayubud.
Kami
menganalisis materi khiyar ini dengan bertitik tolak pada Bapak Nandang Rahmat,
S.Pd.I, sebagai narasumber. Beliau adalah
salah satu guru mata pelajaran fiqih di MTs. Muhammadiyah Bayubud ini,
dengan hasil wawancara sebagai berikut:
1. Materi fiqih tentang khiyar diberikan kepada siswa
kelas IX.
2. Menurut Bapak Nandang bahwa materi khiyar ini cocok
diberikan kepada anak kelas IX, karena materi tentang muamalah (Khiyar) sudah
pas, kena ke sasaran bahwa anak usia itu sudah tepat secara hukum (Sudah
memenuhi persyaratan. Misal baligh, permasalahan sudah kompleks, dan
berpikirnya sudah kritis).
3. Metode yang digunakan ialah metode ceramah dan metode
perbandingan. Menurut Beliau dengan menggunakan kedua metode tersebut sudah
cocok diterapkan kepada anak usia kelas IX, karena dengan mengingat anak pada
usia itu sudah mulai bisa berpikir kritis, maka setiap materi yang disampaikan
bisa langsung dibandingkan dengan kegiatan bertransaksi mualah sehari-hari.
4. Di MTs. Muhammadiyah Bayubud ini, buku paket yang di
gunakan adalah:
a) Buku paket dari Depag, yaitu FIKIH MADRASAH TSANAWIYAH
Untuk Kelas IX, Semester 1 dan 2. H. Tatang Ibrahim. ARMICO Bandung.
Berdasarkan standar isi 2008. Dan
b) LKS THAWAF Buku Ajar Fiqih Kelas IX untuk MTs.
5. Kemudian kalau melihat pada silabus, materi khiyar ini
memang tidak ada (Tidak dimasukan secara terperinci) karena memang melihat pada
buku paket dari Depag pembahasan khiyar
dalam muamalah memang tidak ada. Tetapi berdasarkan pada pengalaman Kegiatan
Belajar Mengajar (KBM) tahun-tahun sebelumnya materi khiyar itu di sampaikan
kepada anak didik. Oleh sebab itu, maka buku paket yang digunakan tidak hanya
buku yang dari Depag saja yaitu dengan menambah buku LKS THAWAF.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.
Khiyar
adalah memilih antara dua alternatif, meneruskan untuk jual beli atau
mengurungkannya. Hak untuk memilih antara kedua kemungkinan tersebut sepanjang
masing-masing pihak dalam mempertimbangkan.
2.
Khiyar
dapat dibagi menjadi tiga:
1)
Khiyar
Syarat
2)
Khiyar
Majlis
3)
Khiyar
‘Aib
3. Diantara hikmah khiyar adalah:
a. Khiyar dapat membuat akad jual beli berlangsung
memenuhi prinsip–prinsip islam, yaitu suka sama suka antar sesama pembeli dan
penjual.
b. Pembeli mendapatkan barang dagangan yang baik atau
benar-benar yang di sukainya.
c. Terhindar dari unsur- unsur penipuan baik dari pihak
pembeli maupun penjual, karena tidak adanya kehati-hatian.
d. Khiyar dapat memelihara hubungan baik dan terjalin
cinta kasih antar sesama.
e. Menghindari rasa permusuhan.
f. Mendidik kepada para pedangang agar selalu bersikap jujur.
4. Analisis materi khiyar di pondok pesantren ini, kami
mengambil acuan pada pesantren di salah satu yayasan milik Ormas Muhammadiyah,
atau lebih khususnya di MTs. Muhamamadiyah Bayubud.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Syafe’i,
Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. PUSTAKA SETIA. Bandung
2.
Zakaria,
Aceng. 2012. Etika Bisnis. Ibnazka press. Garut
3.
Rasjid,
Sulaiman. 2006. Fiqih Islam. SINAR BARU ALGENSINDO. Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar