PEMBAHASAN
A. Mantuq
1. Pengertian Mantuq
Kata Mantuqsecara
bahasa berarti sesuatu yang ditunjukkan oleh lafal ketika diucapkan. Secara
istilah Dilalah Mantuq adalah:
دلالة المنطوق هي دلالة اللفظ على حكم شيئ مذ كور
في الكلم
“Dilalah Mantuq
adalah penunjukkan lafal terhadap hukum sesuatu yang disebutkan dalam
pembicaraan (lafal)”. [1]
Dari definisi ini diketahui bahwa apabila suatu hukum dipahami langsung lafal
yang tertulis, maka cara seperti ini disebut pemahaman secara mantuq. Misalnya,
hukum yang dipahami langsung dari teks firman Allah pada surat Al-Isra’ ayat 23
yang berbunyi :
فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا
وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya:
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka”.
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum,
pengertian mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin)
jangan kamu katakan perkataan “ah” atau perkataan yang keji kepada kedua orang
tuamu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya
(juga dilarang) karena lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari
segi pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum.
Hal tersebut langsung tertulis dan ditunjukkan dalam ayat ini.[2]
2. Pembagian Mantuq
Pada dasarnya mantuq terbagi menjadi dua
bagian yaitu:
1.
Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di
ta’wilkan lagi, seperti firman
Allah SWT dalam suratAl-Maidah ayat 89:
فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Artinya:”Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka
kaffaratnya puasa selama tiga hari”.
2.
Zhahir, yaitu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang
dimaksud dan menghendaki kepada pentakwilan, seperti firman Allah SWT surat
Ar-Rahman ayat 27:
وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ
وَالْإِكْرَامِ
Artinya:
“Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”.
Wajah
dalam ayat diartikan dengan dzat, karena mustahil bagi Allah mempunyai wajah
yang menyerupai seperti manusia.[3]
Para ahli ushul fiqh membagi mantuq kepada
dua macam yaitu:
1.
Mantuq sharih secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas.
Adapun definisi mantuq sharih secara istilah adalah:
المنطوق الصريح هوما
وضغ اللفظ له فيد ل عليه بالمطابقة او بالتضمن
“Mantuq sharih
adalah makna yang secara tegas yang ditunjukkan suatu lafal sesuai dengan
penciptaannya, baik secara penuh atau berupa bagiannya”[4]
Untuk memahami definisi ini dengan baik
perlu dikemukakan contoh penggunaan dilalah mantuq sharih pada firman
Allah surat Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi :
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Ayat ini menunjukkan secara jelas dan tegas melalui mantuq sharih tentang
kehalalan jual beli dan keharaman riba.
2. Mantuq ghairu sharih
secara istilah adalah:
المنطوق غير
صريح هو مالم يوضع اللفظ له بل هولا زم لما وضع
“Mantuq
ghairu sharih adalah pengertian yang ditarik bukan dari makna asli dari suatu
lafal, sebagai konsekuensi dari suatu ucapan”
Dari definisi ini jelas bahwa apabila penunjukkan suatu hukum didasarkan pada
konsekuensi dari suatu ucapan (lafal), bukan ditunjukkan secara tegas oleh
suatu lafal sejak penciptaannya, baik secara penuh atau bagiannya disebut dilalah
mantuq ghairu sharih. Misalnya dalam firman Allah surat Al-Baqarah
ayat 233 yang berbunyi :
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: “Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”.
Dari
ayat ini dapat dipahami bahwa nasab seorang anak dihubungkan kepada ayah bukan
kepada ibu karena tanggung jawab nafkah anak berada di tangan seorang ayah.
Kesimpulan seperti ini diambil dengan cara mantuq ghairu sharih dari
ayat di atas.[5]
B. Mafhum
1. Pengertian
Mafhum
Mafhum
secara bahasa adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafadz, tetapi bukan dari
ucapan lafadz itu sendiri. Para ahli ushul fiqh mendefinisikan mafhum sebagai
berikut
“Mafhum adalah
penunjukkan lafal yang tidak diucapkan atau dengan kata lain penunjukkan lafal
terhadap suatu hukum yang tidak disebutkan atau menetapkan pengertian kebalikan
dari pengertian lafal yang diucapkan (bagi sesuatu yang tidak diucapkan)” Seperti firman
Allah SWT:
فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا
وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Secara mantuq, hukum yang dapat ditarik dari ayat ini adalah haramnya
mengucapkan kata “ah” dan menghardik orang tua. Dari ayat ini dapat juga
digunakan mafhum, dimana melaluinya dapat diketahui haram hukumnya
memukul orang tua dan segala bentuk perbuatan yang menyakiti keduanya.[6]
2. Pembagian Mafhum
Mafhum dibagi menjadi dua
bagian,yaitu:
1.
Mafhum Muwafaqah, yaitu
pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafadz yang disebutkan. Menurut
para ahli usul fiqh mafhum muwafaqah adalah penunjukan hukum yang tidak
disebutkan untuk memperkuat hukumnya karena terdapat kesamaan antara keduanya
dalam meniadakan atau menetapkan.
Mafhum
Muwafaqah
dapat dibagi kepada 2 bagian yaitu:
a.
Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama
hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh
hukumnya, firman Allah yang berbunyi :
فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا
وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Sedangkan
kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.[7]
b.
Lahnal Khitab, yaitu apabila
yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan, seperti firman Allah
SWT dalam surat An-Nisa ayat 10:
إِنَّ الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ
نَارًا
Artinya: Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).
Membakar
atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan
harta anak tersebut yang berarti dilarang (haram).[8]
- Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakkan). Oleh sebab hal itu yang diucapkan. Seperti dalam firman Allah SWT surat Al-Jumuah ayat 9:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ
لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا
الْبَيْعَ
Artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at,
Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli”.
Dari
ayat ini dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jum’at sebelum azan
dikumandangkan dan sesudah mengerjakan shalat Jum’at. Dalil Khitab ini
dinamakan juga mafhum mukhalafah.
Mafhum
Mukhalafah dibagi menjadi beberapa bagian,diantaranya:
a. Mafhum Shifat
Yaitu yang
menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Seperti firman
Allah SWT dalam surat An-Nisaa ayat 92:
وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ
Artinya:
“barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.
b. Mafhum ’Illat
Yaitu yang menghubungkan hukum sesuatu
menurut ‘illatnya. Seperti mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
c.
Mafhum ’Adat
Yaitu
memperhubungkan hukum sesuatu kepada bilangan tertentu. Firman Allah SWT dalam
surat An-Nur ayat 4:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBöt ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù't Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera”.
d.
Mafhum Ghayah
Yaitu lafaz yang menunjukkan
hukum sampai kepada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafaz ghayah
ini adakalnya ”ilaa” seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat
6:
$pkr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
#sÎ)
óOçFôJè%
n<Î)
Ío4qn=¢Á9$#
(#qè=Å¡øî$$sù
öNä3ydqã_ãr
öNä3tÏ÷r&ur
n<Î)
È,Ïù#tyJø9$#
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”.
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ
Artinya:”dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci”.
e.
Mafhum Had
Yaitu menentukan
hukum dengan disebutkan suatu ’adad diantara adat-adatnya. Seperti firman Allah
SWT dalam surat Al-An’am ayat 145:
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ
مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا
مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللَّهِ بِهِ
Artinya: Katakanlah,
tidak saya peroleh di dalam wahyu yang diturunkan kepada saya, akan suatu
makanan yang haram atas orang memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir
dan daging babi; karena ia barang yang keji atau fasiq, yaitu binatang yang
disembelih dengan tidak atas nama Allah
f.
Mafhum Al-Laqab
Yaitu meniadakan berlakunya suatu hukum yang terkait
dengan suatu lafal terhadap orang lain dan menetapkan hukum itu berlaku untuk
nama atau sebutan tertentu. Misalnya, firman Allah dalam surat Yusuf ayat 4
yang berbunyi:
إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ إِنِّي
رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي
سَاجِدِينَ
Artinya: (Ingatlah),
ketika Yusuf berkata kepada ayahnya : Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi
melihat sebelas bintang, matahari dan bulan kulihat semuanya sujud padaku.
Dari ayat ini dipahami bahwa ucapan tersebut
hanya terkait dengan Nabi Yusuf karena tidak ada kaitannya dengan orang lain.[9]
C.
Syarat-syarat Mafhum Mukhalafah
Syarat-syaraf
Mafhum Mukhalafah, adalah seperti yang
dimukakan oleh A.Hanafie dalam
bukunya Ushul Fiqhi, sebagai berikut untuk syahnya mafhum mukhalafah,
diperlukan empat syarat:
- Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq: (Q.S. Al-Isra’ Ayat 31):
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ
إِمْلَاقٍ
Artinya: “Jangan
kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan”.
Mafhumnya, kalu bukan
karena takut kemiskinan dibunuh, tetapi mafhum mukhalafah ini berlawanan
dengan dalil mantuq yaitu: (QS. Al-Isra’ 33).
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ
اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Artinya: “Jangan
kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran”.
- Yang disebutkan (mantuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Contoh dalam firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa ayat 23,yang artinya:
“Dan
anak tirimu yang ada dalam pemeliharaanmu” .
Dari perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan
bahwa yang tidak ada dalam pemeliharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu
disebutkan, sebab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena
mengikuti ibunya.[10]
- Yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan seperti yang ada dalam hadits Rasul SAW.
“Orang Islam
ialah orang yang tidak mengganggu orang-orang Islam lainnya, baik dengan
tangan ataupun dengan lisannya (Hadits)”.
Dengan perkataan “orang-orang
Islam (Muslimin)” tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan Islam boleh
diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut dimaksudkan, alangkah pentingnya
hidup rukun dan damai di antara orang-orang Islam sendiri.
4. Yang
disebutkan (manthuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain.
Contohnya firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 187:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي
الْمَسَاجِدِ
Artinya:
Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf
di mesjid
Tidak
dapat dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri istri.[11]
D.
Pendapat para
Ulama tentang berhujjah dengan Mafhum
Para
Ulama berbeda pendapat dalam Menjadikan mafhum sebagai dasar hukum :
a.
Para Ulama’
sepakat membolehkan berhujjah dengan mafhum
muwafaqah.
b.
Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa berhujjah
dengan mafhum mukhalafah diperbolehkan kecuali mafhum laqab.
c.
Ulama’ Hanafiyah, ibnu Hazm, dan golongan
Zahiriyah berpendapat bahwa semua mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan
hujjah/alasan. Alasannya :
1. Sesungguhnya
banyak nash syara’ yang apabila diambil mafhum mukhalafah akan rusak
pengertiannya, antara lain seperti ayat mengatakan bahwa berbuat zalim
diharamkan hanya pada empat bulan tersebut saja, sedangkan diluar itu tidak
haram. Padahal berbuat zalim itu diharamkan pada setiap saat.
2. Sifat- sifat
yang terdapat pada nash syara’, dalam banyak hal bukan untuk pembatasan hukum,
melainkan untuk targib dan tarhib. Misalnya ayat yang mengatakan Sifat anak
tiri, adalah anak tiri yang ada dalam pemeliharaan. Apabila diambil mafhum
mukhalafah-nya, hal itu berarti mengawini anak tiri yang diluar pemeliharaan adalah
halal. Padahal syara’ tetap mengharamkan.
3. Seandainya
mafhum mukhalafahnya itu dapat dijadikan hujjah syara’ maka suatu nash yang
telah menyebut suatu sifat tidak perlu lagi disebut nash yang menerangkan hukum
kebalikan hukum dari sifat tersebut. Pada kenyataannya penyebutan seperti itu
banyak ditemukan.[12]
d. Menurut jumhur ushuliyyin, mafhum
mukhalafah dapat dijadikan sebagai hujjah syara’. Alasannya antara lain :
1. Berdasarkan
logika, setiap syarat atau sifat tidak mungkin dicantumkan tanpa tujuan dan
sebab. Sebabnya itu tidak lain adalah untuk qayyid (pembatasan) hukum selama
tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa dicantumkannya suatu sifat itu untuk
tarqib, tarhib, dan tanfir.
2. Sikap
Rasulullah yang tidak menyalahkan Umar Ibnu Khathab dalam memahami mafhum
mukhalafah dari ayat 101 An-Nisa’ Namun, Rasulullah menjelaskan bahwa qasar
shalat dalam perjalanan diperbolehkan sekalipun dalam keadaan aman.
Apabila qayid dalam hukum mantuq berlaku pada
mafhum mukhalafah maka mafhum mukhalafah ini bisa terdiri atas bermacam-macam
qayid. Al-Amidi menghitung jumlah mafhum itu sebanyak sepuluh macam, yaitu:
mafhum sifat, mafhum illat, mafhum syarat, mafhum a’dad, mafhum gayah, mafhum
hasr, mafhum hal, mafhum zaman, dan mafhum makna. Asy-Syaukani juga menyebutkan
mafhum mukhalafah seperti itu, namun ia memasukkan ketiga mafhum yang disebut
terakhir pada mafhum sifat.[13]
KESIMPULAN
1.
Mantuq adalah penunjukkan lafal terhadap hukum
sesuatu yang disebutkan dalam pembicaraan (lafal.)
2.
Pada dasarnya Mantuq
terbagi menjadi dua bagian yaitu:
a. Nash, yaitu suatu perkataan
yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi.
b. Zhahir, yaitu
suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendaki kepada
pentakwilan.
3. Mafhum adalah penunjukkan lafal yang tidak diucapkan atau dengan kata lain
penunjukkan lafal terhadap suatu hukum yang tidak disebutkan atau menetapkan
pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan.
4. Mafhum dibagi menjadi dua bagian,yaitu:
a.
Mafhum Muwafaqah, yaitu
pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafadz yang disebutkan.
b.
Mafhum Mukhalafah, yaitu
pengertian yang dipahami berbeda dari pada ucapan, baik dalam istinbat
(Menetapkan) maupun nafi (Meniadakkan).
DAFTAR PUSTAKA
- Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih (Kaidah Hukum Islam). Cetakan pertama. Jakarta : Pustaka Amani, 2003.
- Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Cetakan keempat. Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010.
- Karim, Asyafe’i. Fiqih Ushul Fiqih. Cetakan kedua. Bandung : CV Pustaka Setia, 2001.
- Zainal Abidin,Ahmad.Ushul Fiqih.P.T. Bulan Bintang.Jakarta 1981.
- Hakim,Abdul Hamid.Mabadi’ul Awaliyyah.Dar As-Sa’diyah.Jakarta.
- Shalih Utsaimin,Muhammad.Al-Ushul Min Ilmil Ushul.Dar Ibnu Zauji.
- Hakim,Abdul Hamid.As-Sullam 2.Dar As-Sa’diyah.Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar