PENDIDIKAN PERSIS DARI MASA KE MASA
1.
Kajian
Agama:Awal mula kelahiran PERSIS
Lahirnya
PERSIS bersamaan dengan menguatnya gejolak Nasionalisme Indonesia.Gejolak itu
muncul sebagai sebuah keniscayaan atas Kolonialisme Belanda yang menyengsarakan
sebagian besar rakyat Indonesia.Tahun 1905 lahir SERIKAT Dagang Islam (SDI)
yang menjadi cikal bakal lahirnya Serikat Islam (SI) tanggal 11 November
1911.Tahun 1908berdiri Boedi Oetomo yang sekalipun masih kontroversi yang
disebut-sebut sebagai pelopor Nasionalisme Indonesia.Setelah itu disusul dengan
berdirinya Muhammadiyah tanggal 18 Novwmber 1912.
Dua
organisasi pertama dalam perkembangan selanjutnya menjadi organisasi
politik,sedangkan yang terahir memantapkan diri dalam bidang sosial keagamaan.Seperti
halnya Muhammadiyah,memang agak sulit untuk secara langsung mengaitkan
berdirinya PERSIS dengan semangat Nasionalisme Indonesia.Sekalipun keduanya
anti kolonial,dan lahir ditengah gejolak Nasionalisme tapi yang sangat berpengaruh terhadap kedua
organisasi tersebut adalah semangat Nasionalisme Islam yang dipelopori oleh
Muhammad Abduh.Kategori modernis yang diletakan kepada kedua organisasi itupun
disebabkan oleh terlihatnya ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh dalam organisasi
itu yang disebarluaskan melalui Majalah Al-Manar.
PERSIS
didirikan tanggal 12 September 1923 oleh beberapa orang pedagang di Bandung
yang terlibat dalam diskusi intensif.Diskusi tersebut diadakan oleh H.Zam-zam
dan H.Muhammad Yunus yang mewarnai diskusi tersebut.PERSIS didirikan dengan
maksud memperluas diskusi-diskusi keagamaan yang selama ini diselenggarakan
oleh para pendiri PERSIS.Sisi inilah yang membedakan kelahiran PERSIS dari
organisasi modernis Islam lain seperti Muhammadiyah dan SI.PERSIS lahir dari
tradisi Studi Club yang pada tahun 20
sampai 30-an tengah marak dan sempat melahirkan organisasi-organisasi ternama
seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Jong Islamitien Bond (JIB).
Hal
lain yang menjadi karakter khas PERSIS pada masa awal adalah konsistensinya
dalam bidang pngembangan wacana pemikiran keagamaan.Berbeda dengan Muhammadiyah
yang lebih berkonsentrasi pada peningkatan pendidikan dan kesejahtraan sosial
umat Islam dan SI yang berorientasi politik.Apa yang dikerjakan PERSIS pun
tidak lebih dari usaha-usaha pengembangan dan penyebaran wacana-wacana
keagamaan.
Tiga
tahun pertama sejak berdirinya, sebenarnya PERSIS tidak begitu memfokuskan
diskusinya pada pemikiran-pemikiran modernis. PERSIS lebih mementingkan diskusi
agama secara umum dan dihadiri oleh kelompok modernis seperti Haji Zam Zam,
Haji Muhammad Yunus,dan A.Hassan, juga oleh kelompok tradisionalis.
Kecenderungan PERSIS pada pemikiran
modernis mulai terlihat sejak bergabungnya A.Hassan tokoh yang kemudian sangat
berpengaruh dan yang memberi karakter pada PERSIS pada tahun 1924. Sekalipun
topik bahasan yang dibicarakan menyangkut masalah-masalah keagamaan secara
umum, namun mereka pun mendiskusikan isi
majalah Al-Manar yang diterbitkan
oleh Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, dan majalah Al-Munir yang disunting oleh Haji
Abdullah Ahmad dari Singapura. Kedua majalah tersebut adalah majalah yang
menjadi corong gerakan modernis saat itu.
Oleh
karena keanggotaan yang sifatnya terbuka terdiri atas kelompok tradisionalis
dan modrnis sering terjadi perdebatan sengit dalam setiap diskusi, apalagi setelah
bergabungnya A.Hassan yang terlihat begitu gigih menentang pandangan-pandangan kaum
tradisionalis. Tidak hanya sekedar perdebatan, akhirnya pada tahun 1926
kelompok tradisionalis di PERSIS memisahkan diri dan membentuk kelompok baru
bernama “Permoefakatan Islam”.
Sementara faksi modernis masih tetap memakai nama “PERSIS” dan sejak saat itu
pula PERSIS menyyang bersumbatakan diri sebagai gerakan modernis.
Sampai
Perang Dunia II,sekalipun gaungnya besar,PERSIS termasukorganisasi
kecil.Anggotanya tidak lebih dari 300 orang.Bergabungnya beberapa tokoh yang
aktif di organisasi lain seperti K.H Moenawar Cholil dan Hamka dari
Muhammadiyah,Sabrini dari SI,Muhammad Natsir dari JIB dan M.Hasbi Ash-Shidiqy
oleh Federspiel dianggap sebagai indikasi bahwa ada saat itu PERSIS lebih
dianggap sebagai kelompok studi dan pendidikan keagamaan tempat membincangkan
berbagai masalah keagamaan yang tidak mereka temukan di organisasi asal
mereka,daripada sebagai ORMAS.
Pada
intinya diskusi-diskusi yang diselenggarakan PERSIS menghendaki adanya
pemurnian ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang pada
saat itu keagamaan umat Islam telah bercampur dengan praktek Bid’ah,Taqlid dan Syirik.
Untuk
menyebarkan cita-cita dan pikiran-pikiranya,PERSIS melakukan beberapa usaha
diantaranya adalah penerbitan,terbitan reguler PERSIS pertama adalah Pembela Islam yang terbit tahun
1929.Oplahnya mencapai 2000 eksemplar.Penerbitan periodikal lain yaitu Al-Fatwa yang diterbitkan tahun 1931,Al-Lisan yang diterbitkan tahun 1942,At-Taqwa,Laskar Islam yang diterbitkan
tahun 1937,dan Al-Hikam yang
diterbitkan tahun 1939.
Selain
menerbitkan majalah-majalah berkala,PERSIS juga menerbitkan buku-buku yang
berkaitan dengan masalah keagamaan.Buku-buku tersebut yang diterbitkan umumnya
karangan A.Hasan dan M.Natsir.Buku-buku PERSIS yang sampai saat ini yang ma
Marasih banyak dibaca dan dijadikan rujukan antara lain Tafsir Al-Qur’an,Terjemah Bulugul Maram,Sual Jawab jilid I-IV,Pengajaran
Shalat,dan sebagainya.
Salah
satu yang membuat PERSIS terkenal saat itu,sekaligus ditakuti orang lain adalah
keberanianya menentang pihak-pihak yang berbeda pikiran untuk berdebat.Perdebatan-perdebatan
penting yang pernah diselenggarakan PERSIS antara lain perdebatan dengan
Ahmadiyah Qadilan yang diadakan sebanyak tiga kali tahun 1930-an,perdebatan
dengan organisasi tradisional seperti Al-Ittihadul Islamiyah Sukabumi,Majlis
Ahli Sunah di Bandung,dan NU di Ciledug,Cirebon tahun 1932 serta di Gebang
tahun 1936.Selain masalah keagamaan PERSIS juga debat tentang Nasionalisme
dengan H.Muchtar Lutfi dari PERMI Minangkabau.Beberapa perdebatan lain
dilakukan dengan para pemimpin Agama seperti Kristen Advent Hari Ketujuh.
Sekitar
tahun 1927 PERSIS membentuk kelompok diskusi keagamaan yang dipimpin oleh
A.Hassan.Diskusi tersebut dihadiri oleh Muhammad Natsir,Fakhrudin
Al-Kahiri,Rusbandi,Caya dan lain-lain.
Baru
sekitar tahun 1930-an PERSIS memiliki lembaga pendidikan formal bernama “ Pendidikan Islam “ atau PENDIS yang
dipelopori oleh A.Natsir.Lembaga ini terdiri dari beberapa sekolah yaitu Taman
Kanak-Kanak dan HIS tahun 1930,MULO tahun 1931,dan sebuah sekolah guru atau Kweekschool tahun 1932.Selain A.Natsir
di PENDIS aktif juga A.A Banama dan Rusyad Nurdin.
Pada
bulan Maret 1936,PERSIS mendirikan lembaga pendidikan lain yang dinamai
PESANTREN PERSIS yang didirikan oleh A.Hassan.PESANTREN PERSIS pertama kali
didirikan di Bandung.Selain Pesantren dibuka pagi,sore harinya dibuka untuk
kursus Agama oleh E.Abdurrahman.Kemudian karena alasan kepindahan A.Hassan ke
Bangil tahun 1940,sebagian murid PESANTREN PERSIS kelas pagi dibawa kesana dan
didirikan PESANTREN PERSIS PUTRA disana.Setahun kemudian,tahun 1941 dibuka
Pesantren Putri.Kedua Pesantren,di Bandung dan di Bangil terus berjalan sampai
ditutup oleh Jepang tahun 1942.
2.
M.Natsir
dan Pendidikan Islam (PENDIS)
Pendidikan formal pertama yang ada
dilingkungan keluarga besar PERSIS adalah Pendidikan Islam (PENDIS) yang
didirikan oleh Muhammad Natsir.
PENDIS bermula dari cita-cita dan
idealime Natsir mengenai pendidikan Islam setelah melihat kenyataan yang
terjadi dilapangan saat itu.Saat itu Natsir masih duduk di AMS (Algemenee
Midele School) di Bandung yang dibimbing oleh A.Hassan.
Natsir yang telah cukup lama
mendalami Agama ingin menyadarkan umat Islam.Ia pun lantas mmbantu Hassan dalam
menulis masalah-masalah keagamaan dan menterjemahkanya kedalam bahasa Belanda
agar dapat diterima dikalangan masyarakat elit.Ia sering berceramah mengenai
masalah-masalah Agama di sekolah-sekolah Belanda seperti MULO di Jawa dan HIK
Geonoengsari di Lembang atas prakarsa JIB.
Disisi lain Natsir tahu bahwa
dipesantren-pesantren diajarkan ilmu-ilmu Agama secara cukup mendalam.Akan
tetapi kelemahanya,pesantren-pesantren tidak mengajarkan ilmu modern untuk
bekal para siswa di dunia ini.Lulusan pesantren menang banyak dibutuhkan oleh
masyarakat,tetapi mereka tidk dapat bersaing dengan orang-orang barat atau
lulusan-lulusan sekolah Belanda hingga umat Islam tetap saja terjajah.
Oleh sebab itu,perlu ada sekolah
yang mengajarkan ilmu-ilmu modern,tapi juga memberikan pendidikan Agama Islam
kepada para plajarnya supaya mereka dapat menjadi muslim yang tahu harga diri
dan kokoh tegak dalam menghadapi kehidupan modernsaat telah terjun ke
masyarakat.
Gagasan itu kemudian dibicarakan
Natsir dengan A.Hassan dan kawan-kawanya yang lain.Semuanya setuju,tetapi
kemudian mereka kebingungan soal siapa yng akan menjadi guru di sekolah tersebut.Ahirnya Natsir dan
kawan-kawanya memutuskan untuk menjadi gurunya.Hal ini mendorong Natsir untuk
menekuni buku-buku yang berkaitan dengan pendidikan,baik yang berbahasa
Belanda,Inggris,Jerman,atau Prancis.
Setelah membaca beberapa
buku,Natsir memberanikan diri untuk mmbuka sekolah.Awalnya diselenggarakan
semacam kursus pada sore hari bagi mereka yang telah menamatkan HIS namun tidak mampu melanjutkan ke sekolah
yang lebih tinggi.Pelajaranya terdiri dari pengetahuan umum dan bahasa Inggris
disamping pelajaran Agama.Kelas yang pertama kali hanya diisi 5 orang murid ini
diselenggarakan selama dua jam,dari pukul 3 sampaipukul 5 sore disebuah gedung
di jalan Pangeran Soemedang yang sengaja disewa Natsir.
Bulan-bulan berikutnya ternyata
murid yang mendaftar semakin banyak.Kesulitan serius yang dihadapi Natsir adalah
masalah keuangan.Namun kesulitan itu dapat teratasi berkat bantuan H.Muhammad
Yunus,salah seorang saudagar kaya pendiri PERSIS,yang selalu memberikan bantuan
keuangan bagi kepentingn pendidikan yang diselenggarakanya.
Berkat cita-cita dan kegigihan usahanya
dalam bidang pendidikan,Natsir mendapat pujian dari Syeikh Ahmad
Soorkati,pendiri Al-Irsyad,dalam rapat pengurus Al-Irsyad saat Natsir
mengunjunginya.
Pada bulan Maret
1932,diselenggarakan pertemuan dengan kaum muslimin yang menaruh perhatian
trhadap masalah pendidikan.Pertemuan ini menyepakati berdirinya PENDIS yang
cikal bakalnya adalah kursus sore hari yang dirintis oleh Natsir.Lembaga
pendidikan ini bertujuan menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu modern yang
dipadukan dengan pendidikan Islam dalam arti yang seluas-luasnya.
Kurikulum Pendidikan Islam disusun
untuk mencapai tujuan:
a. Memenuhi
kekurangan pelajaran untuk anak-anak muslim
b. Mengatur
pelajaran dan pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak muslim itu dengan
berdasar dan beruh Islam berikut prakteknya yang perlu dengan cara yang lebih
rapi.
c. Mengatur
segala didikan yang akan diberikan untuk menjaga agar anak-anak muslim tidak
hanya bergantung untuk menjadi pegawai sesudah lulus,melainkan sebisa-bisanya
bekerja dengan tangan sendiri.
Sesuai dengan tujuanya,Pendidikan
Islam memang tidak secara husus menciptakan ahli ulama tidak seperti Pesantren
PERSIS.Entang Sulaeman,salah seorang mantan murid HIS PENDIS santri di
Pesantren PERSIS,menceritakan pengalamanya dalam catatan pribadi yang Ia
berikan kepada anak-anaknya sebagai berikut:
“....Isuk-isuk
sakola Umum di HIS Pendidikan Islam,pasosore di Pasantren Persis.Atuh Jang
Entang teh kudu sapoe di Bandung.Subuh indit,wanci Isya kakara datang ka
Sukamenak,bekel kudu cukup tilu benggol,lima sen keur kana sado
bulak-balik,sabenggolkeur dahar diwarung.Resep sakola bari masantren teh.Piraku
arek teu resep atuh da sakola di HIS,Holandshe Inlandshe School tea.Pimanaeun
haritamah anak Guru Desa pantar Uu make bisa nyakolakeun ka sakola kitu di Bandung”.
Pendidikan Islam semakin lama
semakin berkembang,bahkan pada tahun 1938 atas inisiatif alumnus-alumnus PENDIS
Bandung sekolah model PENDIS ini dibuka dilima tempat di Jawa Barat,juga di
Bangka dan Kalimantan.Setelah H.Muhammad Yunus meninggal,PENDIS mulai merasakan
kekurangan keuangan sampai-sampai diusir oleh pemilik Gedung dijalan Lekong
Besar 16 itu karena tidak sanggup membayar sewa.Namun Natsir dan PENDISnya
tetep bertahan dengan memanfaatkan gedung milik PERSIS di Jalan Besar Lekong
no.74 Bandung sampai ahirnya ditutup
oleh pemerintah Jepang pada tahun 1942.
Orang-orang yang
mempelopori,menyokong dan mengajar di PENDIS adalah para aktivis PERSIS.Bahkan
sekolah ini memenfaatkan media resmi PERSIS,majalah Pembela Islam tempat Natsir
bekerja,sebagai sarana publikasi yang cukup efektif.Melalui Pembela Islam
inilah PENDIS meminta uluran tangan para dermawan untuk membantu biaya
operasional Pendidikan dan mengundang para orang tua untuk memasukan anaknya ke
PENDIS.
3.
Pesantren
PERSIS di Bandung dan Bangil
Semenjak
didirikanya,PERSIS terus berkembang.Melalui media-media penyiaran,paham
keagamaan PERSIS semakin luas dikenal dalam masyarakat.Untuk terus memelihara
dan mengembangkan ajaran Islam yang dibawa PERSIS tentu dibutuhkan kader-kader
Mubaligh yang akan mengusungnya.
Pada
tanggal 1 Dzulhijah 1354 atas inisiatif A.Hassan di Bandung didirikan sebuah
lembaga pendidikan yang menekankan pada pengkajian Agama yang dinamai ‘
PESANTREN PERSATUAN ISLAM’.Keputusan mendirikan pesantren ini diambil setelah
diadakan pertemuan di mesjid PERSIS Jl Pangeran Soemedang,Bandung pada bulan
itu juga.tTujuanya adalah menyebarkan Islam sebagaimana yang dilihat oleh
PERSIS.
Dalam
kerangka yang ideal,Pesantren PERSIS didirikan sebagai salah satu upaya yang
mencetak kader-kader yang bertafaqahhu
fid-din.
Pada
saat Pesantren dipimpin oleh E.Abdurrahman (1940-1983),para santri dilarang
mengikuti ujian kesamaan negri untuk mendapatkan pengakuan pemerintah atau
mendaftarkan diri masuk ke perguruan tinggi,baik umum maupun Agama.Saat pertama
kali dibuka,terdapat 40 orang santri yang blajar di Pesantren PERSIS.Mereka
berasal dari berbagai tempat di kepulauan Indonesia,bahkan ada murid yang
berasal dari Thailand.Mereka umumnya para pmuda yang berkeinginan keras untuk
belajar Agama.Oleh sebab itu pesantren ini dinamai “Pesantren Besar”.
Untuk
anak-anak dibuka “Pesantren kecil” pada sore hari oleh Hasan Hamid yang
sebelumnya menjadi guru Al-Irsyad di Jakarta.Selain Hassan Hamid,E.Abdurrahman
menjadi tokoh sentral PERSIS tahun 60-80-an.Pesantren Besar dan Pesantren Kecil
pertama kalinya menempati gedungPERSIS di Jalan Pangeran Soemedang.
Seiring
dengan sistem kelas diatas,model belajar Serogan
dan Bandongan sudah mulai
ditinggalkan sejak awal berdirinya Pesantren ini.Sejak pertama didirikan
Persantren PERSIS ini tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu Agama,tapi juga
mengajarkan pengetahuan umum kepada para Santrinya.
Tidak
diketahui apakah saat itu sudah ada asrama atau belum.Akan tetapi menurut
keterangan H.M.Atang AS dan H.Abdul Qodir saat merka nyantri di Pesantren PERSIS Tahun 50-an tidak ada asrama
husus.Mereka yang berasal dari luar Bandung menginap di rumah salah seorang
Ustadz,bahkan yang rumahnya dekatpun ikut pula menginap.
Belum
lagi genap empat tahun pelajaran seperti yang direncanakan,A.Hassan diminta
oleh Bibi Wantee ntuk pundah dari Bandung,karena melihat penghidupanya di
Bandung kurang menggembirakan dari sudut pandang materi,sementara ia bisa
meneruskan perjuanganya dimana saja ia berada.
Semula
A.Hassan akan pindah ke Surabaya,namun mendapatkan tanah di Bangil.Ahirnya ia
memutuskan untuk pindah ke Bangil dan membangun Pesantren PERSIS Bangil pada
bulan Maret 1940 atau bulan Muharran 1359.Kepindahan A.Hassan diikuti olej 25
dari 40 muridnya yang belajar di Bandung,dan sisanya tetap belajar di Bandung
dibawah bimbingan E.Abdurrahman.
Sejak
kepindahan A.Hassan ke Bangil itulah,paham PERSIS masuk kedaerah Jawa bagian
Timur.Pesantren Bangil yang didirikan kemudian menjadi cikal bakal perkembangan
PERSIS di Indonesia bagian Timur.
Setelah
Pesantren dibuka di Bangil,murid-muridnya bertambah dari berbagai pulau di
Indonesia.Untuk menampung murid-muridnya itu maka disediakan asrama oleh pihak
pesantren.Secara umum,materi dan metode pengajaranya tidak jauh berbeda dengan
Pesantren PERSIS di Bandung,akan tetapi ini hanya terjadi perbedaan dan
perubahan pada jenjang pendidikan bukan pada substansi materi pengajaran.
4.
Pesantren
PERSIS Zaman Jepang
Kedatangan
Jepang ke Indonesia tahun 1942 membawa perubahan yang cukup signifikandalam kehidupan
bangsa Indonesia umumnya,dan umat Islam hususnya.Perubahan itu terjadi dari
usaha Japanisasi Indonesia oleh penguasa militer Jepang di Indonesia seperti
yang dilakukanya di Taiwan,Korea,dan Manchuria.
Hal
pertama dalam usaha Japanisasi itu adalah menghapuskan penetrasi Barat dan
menghilangkan pengaruh Arab.Kedua pengaruh tersebut diganti dengan semangat
Jepang.Bahkan jepang menginginkan agar bahasa Jepang menjadi bahsa sehari-hari
di seluruh Asia.
Dalam
bidang Pendidikan,kebijakan Jepang lebih ekstrim lagi.Jepang menganggap bahwa
pendidikan merupakan instrumen paling penting untuk melakukan penetrasi ide dan
kebudayaan Jepang ditengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia.Oleh sebab itu
Jepang mengawasi Kurikulum sekolah dengan tangan besi dan memaksakan bahasa
Jepang sebagai pengganti bahasa Belanda.
Kebijakan
pertama yang diambil dalam bidang pendidikan adalah menutup semua sekolah yang
da di Indonesia untuk membersihkan pengaruh barat dan Arab, sambil
mempersiapkan program Japanisasi di sektor pendidikan. Kebijakn tersebut
dikeluarkan tanggal 7 Maret 1942. Tanggal 29 April, hari kelahiran kekaisaran
Jepang, Jepang kembali mengizinkan dibukanya sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa
Indonesia atau bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Sementara sekolah-sekolah
yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar tidak diperkenankan untuk
dibuka kembali. Begitu pula dengan pengajaran bahasa Arab. Di sekolah-sekolah
agama atau pesantren sekalipun, bahasa arab tidak boleh diajarkan.
Sekolah-sekolah
persatuan Islam juga mengalami masa-masa itu. Pendidikan islam (pendis) ditutup
oleh Jepang persis pada tanggal diundangkannya kebijakan penutupan semua
sekolah oleh Jepang (Puar, 1978:40). Ketika sekolah-sekolah swasta lain
diizinkan untuk dibuka kembali dengan mengikuti pola pendidikan yang telah
dipersiapkan Jepang untuk mewujudkan ambisinya, Pendidikan Islam tidak dibuka
kembali. Kemungkinan besar karena muatan
Islam yang begitu kental, penguasa Jepang tidak memperkenankan Pendis dibuka
kembali. Natsir sendiri yang memimpin pendis kemudian terjun ke dalam dunia
politik.
Tidak
berbeda dengan PENDIS,Pesantren PERSIS baik putra maupun putri yang baru saja
dibawa pindah Oleh A.Hassan dari Bandung ke Bangil juga ditutup oleh
Jepang.Pada saat semua sekolah PERSIS ditutup,Pesantren kecil di Bandung yang
dipimpin E.Abdurrahman tetap bertahan bahkan berkembang lebih baik.
Tetap
bertahanya Pesantren kecil di Bandung,mungkin juga ada kaitanya dengan M.Natsir
yang saat itu menjadi kepala biro pendidikan kota Bandung dan kebijakan Jepang
yang agak longgar terhadap pendidikan Islam di Bandung,dimana penguasa Jepang
tidak mencampuri urusan madrasah,Mereka beranggapan bahwa itu urusan Agama yang
sensitif.Urusan itu diserahkan sepnuhnya kepada pihak balai kota
Bandung.Kesempatan inilah yang membuat E.Abdurrahman dan Rusyad Nurdin
mengelolanya yang berani untuk terus mengembangkan Pesantren.
Keberanian
itu membuahkan hasil yang menggembirakan.Pesantren PERSIS Bandung terus
mendapatkan tambahan santri sehingga dibutuhkan tambahan pengajar lain.Untuk
selanjutnya O.Komarudin,E.Abdullah dan M.I.Sudibja ikut membantu mengajar
santri-santri Ibtidaiyah PERSIS saat itu.Oleh sebab itulah bertahanya Pesantren
Kecil di Bandung merupakan prestasi tersendiri ditengah kemacetan akivitas
PERSIS yang lain.
5.
Menyelenggarakan
Pesantren di Zaman Revolusi
Diproklamasikanya
kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945,tidak hanya menandakan perubahan
baru dalam peta politik Nasional.Lebih
dari itu Proklamasi mewakili sebuah Revolusi sosial yang melibatkan seluruh
rakyat dalam suasana perang mempertahankan kemerdekaan.Di Surabaya sempat
terjadi pertempuran sangat hebat tanggat 10 November 1945 yang begitu terkenal
dan menelan begitu banyak korban baikdari pihak rakyat maupun sekutu.Bi Bandung
terjadi Peristiwa “Bandung Lautan Api,Si Sulawesi,Aceh,Medan,Kalimantan,dan
daerah-daerah lainya.
Dalam
suasana seperti itu,sangat wajar bila aktivitas-aktivitas belajar di sekolah
tidak berjalan normal.Karena perhatian semua orang lebih tertuju pada
perang.Pesantren-pesantren yang semula menjadi pusat pengajaran,saat itu banyak
dijadikan sebagai pusat-pusat perjuangan Rakyat.Aktivis-aktivis pesantrenpun
ikut terjun dalam pertempuran bergabung dalam barisan tentara Hizbullah dan Sabilillah yang sebelumnya dilatih oleh tentara Jepang.
Oleh
sebab itu,tidak heran bila sejak meletusnya Revolusi,Pesantren PERSIS Bandung
dan Pesantren kecil di Bangil,aktivitas PERSIS yang masih bertahan sejak zaman
Jepang ikut larut dalam suasana itu.Pesantren PERSIS Bandung diungsikan ke
Gunung Cupu,ciamis untuk menghindari suasana Bandung yang saat itu tengah kacau
tidak menentu.E.Abdurrahman pemimpin pesantren Ikut dalam pengungsian itu
bersama beberapa orang santrinya.Sementara itu E.Abdullah tidak ikut ke Ciamis
melainkan ke Pameungpeuk Bandung dan menyelenggarakan Madrasah disana.Beberapa
pengajar lain mengungsi ke Gunung Gede Cianjur.
Gunung
Cupu ternyata bukan tempat yang aman untuk mengungsi,bahkan disana terjadi
peristiwa penting “Pertempuran Gunung Cupu” melawan tentara Belanda tanggal 17
Februari 1948.Peristiwa yang dimotori oleh Tentara Islam Indonesia ( TII )
pimpinan Kartusuwiryo ini dijadikan salah satu legitimasi lahirnya Proklamasi
Negara Islam Indonesia ( NII ) tanggal 7 Agustus 1949,terutama karena hijrahnya
Divisi seliwangi ke Jogja setelah perjanjian Renville.Dalam kedaan seperti
itulah para ustadz dan santri yang tadinya hendak mengungsi ikut terlibat dalam
pertempuran yang terjadi disana.
Perhatian
yang begitu besar terhadap pendidikan,membuat E.Abdurrahman tidak mengabaikan
pendidikan para santrinya sekalipun harus dilaksanakan sambil bergerilya.Pengajaranya
tetap dilaksanakan dalam keadaan darurat sekalipun.Salah satu santri yang ikut
ke Gunung Cupu adalah A.Latif Muchtar yang mnjadi ketua umum Pimpinan Pusat
PERSIS tahun 1983-1997 menggantikan E.Abdurrahman gurunya.Beberapa ustadz yang
ikut mrngungsi ke Gunung Cupu adalah Rusyad Nurdin dan Isa Anshary yang menjadi
aktivis Masyumi sampai dibubarkan tahun 1960,samniltetap mengajar di PERSIS Bandung.
Di
Bangil,sejakPesantren ditutup Jepang tahun 1942 sampai sekitar tahun 1950
tidakada aktivitas Pendidikan yang berarti.Sejak itu pesantren ditutup
mengingat situasi yang tidak kondusif.Selain situasi prang yang kelut,pesantren
tidak bisa meneruskan pesantren PERSIS di Bangil.Para ustadznya ikut bergabung
dalam laskar-laskar perjuangan setelah mereka tidak lagi mengajar seperti para
ustadz di Pesantren PERSIS Bandung.
6.
Pesantren
PERSIS setelah Revolusi
Sejak
zaman Jepang,seluruh aktivitas PERSIS secara organisatoris hampir
hilang.Aktivitas PERSIS lebih menekankan pada aktivitas Individual.Keadaan itu
semakin parah ketika Revolusi meletus.Hampir semua aktivis PERSIS ikut terlibat
dalam hirup pikuk Revolusi.Keadaan mulai mereda sekitar ahir tahun 1948.Ketika
perang mulai surut,para pengungsi telah pulang kembali ktempat asalnya
masing-masing.Saat itu para aktivis PERSIS mulai berfikir untuk kembali
membenahi PERSIS yang kocar kacir selama pendudukan Jepang dan Meletusnya
Revolusi.
Pembenahan
dilakukan pertama kali dengan mengorganisasi PERSIS tahun 1948.M.Isa Anshary
terpilih sebagai ketua umum dan E.Abdurrahman sebagai sekretaris Jendral
Pimpinan Pusat.Sementara A.Hassan tetap menekuni bidang pendidikan di
Bangil.M.Natsyr yang tahun 1949 menjadi Pimpinan Partai Masyumi,sekalipun tidak
ikut aktif dalam kepengurusan PERSIS,masih ikut berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan PERSIS.
Sejak
saat itu,perhatian terhadap pendidikan yang sejak awal menjadi perjuangan
PERSIS mulai menampakan keseriusanya kembali.Atas Prakarsa M.I.Sudibya tahun
1948 Pesantren PERSIS Bandung kembali dibuka di Jl.Kalipah Apo No.5.Saat itu ia
baru saja turun dari pengungsian.Sementara E.Abdurrahman masih berada ditempat
pngungsian,namun pada awal tahun 1949 merekapun kembali ke Bandung dan
bergabung bersama M.I.Sudibya.Mereka segera melakukan penyempurnaan sistem
pendidikan dan pengelolaan Pesantren.
Sebelum
penyempurnaan,kelas yang dibuka terbatas sampai tingkat Ibtidaiyah.Namun setelah dilakukan penyempurnaan tahun 1950
Pesantren PERSIS Bandung membuka kelas
Tsanawiyah menempati gedung baru di Jl.Pajagalan 77 milik K.H.Zamzam
pendiri PERSIS.Dari tahun ke tahun jumlah santrinya terus bertambah sehingga
diperlukan lahan yang lebih luas untuk menampung santri tersebut.Pada tahun 1952
H.Anang Thayib mewakapkan sebidang tanah dan rumah di Jl.Pajagalan 22 dan 26
yang sekarang menjadi komplek Pesantren PERSIS No 1 dan 2.
Pada
tahun 1955 PERSIS melalui bidang pendidikan mulai melakukan standardisasi dan
penyeragaman kurikulum pesantren-pesantreny yang sampai tahun 1963 tercatat
berjumlah sekitar 20 buah tersebar di Jawa Barat dan Jawa Tengah.Saat itu
bidang pendidikan PP PERSIS dipegang oleh E.Abdurrahman yang juga memimpin
PERSIS Bandung.
Rupanya
sejak standardisasi dilakukan Pesantren PERSIS Bandung secara tidak langsung
menjadi model bagi seluruh Pesantren PERSIS.Disini semua jenjang pendidikan
dilakukan kecuali pendidikan tinggi.Pendidikan selama 6 tahun dinamai Ibtidaiyah,Dua tahun pertama tingkat Ibtidaiyah dinamai kelas Tahdliri A dan
B.Baru tahun ketiga masuk ke kelas I.II,III dan IV Ibtidaiyah.Pendidikan menengah selama 4 tahun dinamai Tsanawiyah.Selain itu pada tahun 1956
dibuka kelas menengah lanjutan,Mualimin
selama 2 tahun.
Pada mulanya,kelas Tajhiziyah dan Tsanawiyah
dipersiapkan bagi santri remaja yang telah menyelesaikan pndidikan
dasarnya.Akan tetapi,kebanyakan santri angkatan pertama Tajhiziyah telah berusia 20 tahun dan rata-rata telah menyelesaikan
pendidikan menengah,ada pula yang sudah menikah.H.M.Atang AS yang mmimpin
Pesantren PERSIS No 1 dan 2 Bandung menceritakan bahwa ia masuk Tajhiziyah tahun 1955 pada usia 24 tahun
dan telah menyelesaikan sekolah menengah tekhnik di Cianjur,tempat
kelahiranya.Rekan-rekan seangkatanya banyak yang sebaya denganya,bahkan ada
yang telah menjadi anggota TNI.
Sementara
di Bangil,setelah perang mulai mereda pada bulan Oktober 1950 Pesantren untuk
putra dibuka kembali.Untuk mengembangkn Pesantren,termasuk sarana fisik,tanggal
11 Juni 1951 dibentuk Panitia besar sebagai berikut:
-
Penasehat : M.Natsir,Muhammad Bin Salim
Nabhan,A.Hassan.
-
Ketua Umum : Abdullah Nabhan.
-
Waki : Ahmad Bauzir
-
Penulis : Hadi Kaslar
-
Bendahara : Muhammad Bin Salim Nabhan
-
Pembantu Umum : Abdul Qadir Hassan
Kurikulum
pengajaran setelah pembukaan kembali tidak banyak berubah dibandingkan sebelum
zaman Jepang mengingat A.Hassan masih menangani pesantren ini sampai beliau
wafat tahun 1958 dan digantikan oleh putranya Abdul Qadir Hassan.Secara garis
besar kurikulumnya sama seperti pada Pesantren di Bangil dan materi-materi
pelajaran yang diberikan di Bangil tidak berbeda dengan di Bandung.
Pada
bulan September 1957 pesantren putri dibuka kembali.Pesantren ini bertujuan
untuk mencetak guru-guru dan penyiar Agama.Pada mulanya,kurikulum dirancang khusus
selama 5 tahun dan agak berbeda dengan pesantren putra.Akan tetapi,sejak tahun
ajaran 1975/1976 kurikulum pesantren putra dan putri disesuaikan.
Pada
awal tahun 90-an dibuka Pesantren Persatuan Islam Tinggi (PPT).Itupun atas
prakarsa pimpinan Pusat PERSIS dibidang garapan pendidikan,bukan atas rencana
dari Pesantren.Sedangkan di Bangil,sejak tahun 1962 telah dirasakan kebutuhan
pendidikan lanjutan untuk santri-santri yang telah menyelesaikn pendiikanya di
Pesantren.Untuk itu pada tahun itu juga dibuka perguruan tinggi dengan nama
Universitas Pesantren Islam (UPI).
Universutas
Pesantren Islam diselenggarakan selama 5 tahun.Mahasiswa yang mendaftar
disaratkan berumur 18 tahun.Mata kuliah
yang disajikan terdiri dari Mata kuliah Agama dan Umum.Mata kuliah Agama
meliputi Bahasa Arab,Al-Qur’an,Al-Hadits,Ushul Fiqih,Fiqih,Tauhid dan
lain-lain.Sedangkan mata kuliah Umum meliputi Bahasa Inggris,Ilmu Hukum
Positif,Ilmu Pengajaran,Ilmu Politik,Kosmografi,dan perbandingan Agama.
Fakultas
yang ada di UPI hanya ada satu yaitu Fakultas Syari’ah.Para pengajarnya antara
lain Abdul Qadir Hassan,Abdul Kahar Mudzakir,dan Prof Sardjito dari Jogyakarta.
Untuk beberapa lama,UPI yang hanya satu Fakultas dapat dipertahankan,yang
kemudian berbenturan dengan peraturan pemerintah yang mengharuskan satu
Universitas terdiri dari beberapa Fakultas.Ahirnya pada tahun 1969 UPI diubah
menjadi Fakultas Syari’ah Universitas Islam Indonesia (UII) Bangil sebagai
afiliasi dari UII Yogyakarta.Sejak diubah menjadi cabang III,Pesantren tinggi
ini semakin merosot sampai ahirnya tidak memiliki mahasiswa sama sekali.
Pemisahan
lokasi Pesantren putra dan putri dalam jarak yang cukup jauh,bahkan namanya pun
sengaja dibedakan,adalah khas Pesantren PERSIS Bangil.Di Pesantren PERSIS
Bandung elas putra dan putri disatukan.Artinya,tidak ada rancangan kurikulum
khusus untuk putri seperti di Bangil.Di Pesantren PERSIS Bandung,untuk putri
hanya disediakan asrama khusus,namun dalam satu kompleks.
7.
Pengembangan
Pesantren PERSIS ke Daerah-daerah lain
Pada
tahun 1963 bidang pendidikan PERSIS mengkordinasikan sekitar 20 pesantren yang
tersebar diberbagai daerah di Jawa Barat dan wilayah lainya.Dalam perkembangan
selanjutnya hingga tahun 1980 terdapat 78 pesantren diberbagai daerah.Sampai
saat itu,selain Pesantren PERSIS Bandung dan Bangil tidak ada yang termasuk
kategaraori besar.Rata-rata jenjang yang dibuka hanya tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah.Baru antara tahun 80 sampai 90-an muncul beberapa
pesantren yang cukup besar seperti PPI No 19 Bentar Garut,PPI No 67 Benda
Tasikmalaya,PPI No 76 Tarogong Garut.Dengan demikian sampai tahun
1983,pesantren yang tergolong besar praktis hanya PPI Pajagalan Bandung dan PPI
Bangil.
Dalam
beberapa kasus,brdirinya pesantren-pesantren PERSIS diberbagai daerah dirintis
oleh alumni PPI Bandung dan Bangil.Misalnya PPI No 67 Benda Tasikmalaya dan PPI
No 32 Ciawi Tasikmalaya.Pesantren Benda dirintis oleh Aminullah salah seorang
murid A.Hassan saat di Bandung.Adapula pesantren yang didiikan oleh
anggota-anggota PERSIS yang mendirikan cabang PERSIS didaerahnya.
Setelah
berjalan beberapa lama,pesantren kekurangan beberapa tenaga pengajar.Pimpinan
Pusat PERSIS mengutus Syihabuddin untuk mengelola PPI 19 Garut.Selain itu
ditangkan pula alumni PPI Bandung untuk mengajar disana,salah satunya yang
kemudian menjadi tokoh ulama PERSIS di Garut adalah K.H.Aceng Zakariya.
Pada
kasus lain,beberapa pesantren ada juga yang berdiri karena banyaknya ustadz yang mengungsi
daerah-daerah pada masa revolusi.Salah satunya adalah PPI Pameungpeuk Bandung
yang dirintis oleh E.Abdullah yang mengungsi pada zaman Revolusi di Bandung.
Selain
di Bandung,Tasik,dan Garut didaerah lain seperti Sumedang juga terdapat PPI.Sekitar
tahun 60-an atas prakarsa H.I.Sudibya dibuka PPI tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah.Kemudian
diserahkan kepada Mumuh Muhtar kemudian dipercayakan kepada Sukardi Ja’far.ahirnya
pada ahir tahun 70-an pesantren bubar dan yang tersisa hanyalah Madradah Diniyah.
Didaerah-daerah
lain seperti Sukabumi,Cianjur,Jakarta ,Banten,Ciamis dan sebagainya proses
berdirinya PPI tersebut tidak berbeda dengan pesantren-pesantren sebelumnya.Pesantren-pesantren
PERSIS di kota-kota besar memungkinkan mendapatkan akses informasi lebih cepat
dan lengkap dibandingkan di daerah-daerah.Oleh sebab itu,PPI di kota-kota besar
cenderung berkembang lebih cepat.
Mengenai
Bangil,sesungguhnya ada perbedan yang cukup menarik bila dibandingkan dengan
Bandung dan daerah-daerah lain di Jawa Barat.Sekalipun secara umum dapat
dikatakan sama,perbedaan ini mengakibatkan adanya orientasi yang berbeda antara
lulusan PPI Bandung dan PPI lainya yang mengindukke Bandung sebelum tahun 80-an
dengan lulusan PPI Bangil.Perbedaan Orientasi itu,untuk saat ini sebenarnya
sudah tidak terlalu signifikan,akan tetapi saat itu cukup mencolok.
SISTEM DAN TRADISI PESANTREN PERSIS
Sebagaimana
dikatakan Dhofier,Unsur-unur yang menjadi ciri khas sebuah pesantren,baik yang
tergolong pesantren tradisional ataupun modern,dan membedakanya dari model
pendidikan Islam di Indonesia yang lain adalah Mesjid,Pondok,Pengajaran
Kitab-kitab Klasik,Santri dan Kiyai.
1.
Mesjid
Lazimnya sebuah lembaga pendidikan,tentu
ada komponen fisik yang akan mendukung terlaksananya proses belajar
mengajar.Demikian pula halnya dengan Pesantren.Komponn-komponen fisik yang dimiliki
sebuah pesantren juga menjadi sebuah ciri yang membedakan pesantren dengan
lmbaga pendidikan Islan di Indonesia yang lain seperti Madrasah dan
Mesjid.Komponen fisik sebuah pesantren biasanya terdiri atas mesjid,pondok dan
Madrasah.Pendidikan Agama tingkat dasar di mesjid-mesjid pun seringkali membuat
madrasah disekeliling mesjid sebagai tempat mengaji.Sedangkan mesjid
dikategorikan sebagai ciri khas pesantren,karena keberadaanya yang begitu
penting,bahkan menjadi bagian yang selalu harua ada di pesantren.Hampir tidak
ada pesantren yang tidak memiliki Mesjid.
Fungsi utama Mesjid pada dasarnya adalah
sebagai tempat melaksanakan shalat berjama’ah,berdo’a,i’tikaf,tadarus Al-Qur’an
dan ibadah-ibadah ritual lainya.Akan tetapi bagi sebuah pesantren mesjid merupakan
pusat kegiatan yang paling penting.Mesjid tidak sekedar tempat beribadah tapi
lebih dari itu dijadikan sebagai pusat penggemblengan sikap mental keagamaan
para santri yang tinggal didalam komplek pesantren.
Di pesantren PERSIS,mesjid juga menjadi
salah satu komponen penting yang selalu harus ada.Saat pertama kali dibuka,PPI
No 1-2 Pajagalan Bandung memanfaatkan mesjid di jalan Pangern Soemedang,yang
sebelumnya telah digunakan untuk penyiaran Agama Islam oleh PERSIS.
Dari tahun 1945 sampai tahun 1948 semua
sarana fisik pesantren ditinggalkan mengungsi kedaerah-daerah oleh santri dan
kiainya.Akan tetapi ditempat pengungsian seperti di Gunung Cupu,Ciamis,mereka
juga memanfaatkan mesjid untuk menyelenggarakan KBM yang terganggu akibat
pertempuran.Setelah kembali ke Bandung,tahun 1952 didirikan komplek pesantren
yang terdiri atas mesjid dan madrasah di jalan Pajagalan 22-26 yang sampai saat
ini digunakan untuk pelaksanaan KBM.
Demikian juga halnya di Bangil,komplek
pesantren putra dan putri yang trletak berjauhan masing-masing dilengkapi
dengan sebuah mesjid yang cukup besar untuk menampung seluruh santri.
Beberapa Pesantren,cikal bakalnya
berasal dari pengajian Agama kecil-kecilan di mesjid seperti PPI Bentar
Garut.Seperti di pesantren lain pada umumnya,selain digunakan untuk shalat,di
PPI juga digunakan sebagai pusat aktivas-aktivitas santri seperti
ekstrakulikuler,latihan ceramah,diskusi Agama dan sebagainya.
Dengan demikian,terlihat mesjid masih
tetap dipertahankan sebagai pusat kegiatan di PPI sebagaimana
pesantren-pesantren yang lain.Tradisi ini sesungguhnya berlaku hampir disemua
Negara Islan sepanjang Zaman.
2.
Pondok
Komponen khas dan penting kedua di
Pesantren setelah mesjid adalah Pondok.Keberadaan inilah yang membedakan
pesantren dari lembaga pendidikan lain seperti Surau dan madrasah.Istilah
Pondok diambil dari bahasa arab yaitu Funduk yang artinya ruang tidur,wisma
atau hotel sederhana.Sesuai dengan nama asalnya ,pondok merupakan asrama tempat
santri menginap di pesantren terutama santri-santri yang tempat tinggalnya jauh
dari pesantren.
Ada tiga alasan pesantren harus
menyediakan pondok,yaitu
a. Kemashuran
seorang kiyai dan kedalamanya tentang Islam menarik santri-santri dari
jauh.Untuk dapat mengambil ilmu dari kiyai tersebut secara teratur dan dalam
waku yang lama,para santri harus meninggalkan kampung halamanya dan menetap
didekat kediaman Kiyai.
b. Banyak
pesantren yang bertempat di desa-desa yang tidak tersedia perumahan yang cukup
untuk menampung santri dari jauh hingga
perlu ada asrama husus bagi para santri.
c. Ada
sikap timbal balik antara kiyai dan santri.Santri menganggap kiyai sebagai
bapaknya,sedangkan kiyai menganggap santri sebagai titipan Tuhan yang
senantiasa harus dilindungi.
Dalam kasus PPI,keberadaan pondok tidak
terlalu berbeda debgan pesantren-pesantren lain pada umumnya.Berbeda dengan di
Bangil,PPI No 1 dan 2 Pajagalan Bandung,sejak pertama kali didirikan tidak
menyediakan pondok khusus untuk para santrinya.Tahun 1952 ketika psantren
menempati tmpat baru,barulah dibangun pondok untuk putri.
Menurut
H.M.Atang A.S ada atau tidak adanya pondok disuatu pesantren memilikikelemahan
dan kelebihan.Pesantren yang memiliki pondok memiliki kesempatan yang lebih
besar untuk mendidik para santri.Akan tetapi kalau jumlah santri lebih banyak
dari pembimbing akn berdampak negatif pada perkembangan santri yang tergolong
usia remaja.
Pola pondok yang lebih longgar seperti di
pesantren persatuan Islam no. 1&2 Bandung juga diterapkan dibeberapa
pesantren lain. Di Pesantren Persatuan Islam no.19 Bentar Garut , sebagian
besar santri, putra dan putri, tinggal dipondok.
Hal
yang sama juga diberlakukan di Pesantren Persatuan Islam no.67 Benda
Tasikmalaya, no. 4 Cianjur, no. 76 Tarogong Garut, dan lainnya.
Kondisi
fisik pondok di Pesantren –Pesantren Persatuan Islam agak berbeda dengan pondok
di Pesantren-Pesantren tradisional pada umumnya. Di Pesantren-Pesantren
tradisional, pondok hanya berupa petak-petak ruangan tanpa di lengkapi
peralatan apapun. Para santri tidur di atas lantai tanpa kasur. Papan-papan di
pasang pada dinding untuk menyimpan koper dan barang-barang lain
(Dhofier,1994:47). Sementara di pesantren-Pesantren Persatuan Islam petak-petak
kamar pondok di lengkapi tempat tidur sehingga santri tidak tidur begitu saja
di atas lantai. Keadaan seperti ini umumnya terdapat di hampir semua Pesantren
modern (khalafy) seperti Pesantren Gontor ponoroga, Pesantren Assalam
Surakarta, Pesantren Al-Mukmin Sukaharjo, Asy Syafi’iyyah Jakarta, dan
sebagainya.
Selain
sebagai tempat menginap, pondok juga di sediakan untuk menggembleng santri,
baik perilaku maupun penguasaan Ilmu yang diajarkan. Dipondok santri dilatih
berceramah, berorganisasi, mempraktekkan amalan-amalan Ibadah sehari-hari, dan
memperdalam penguasaan kitab-kitab yang di ajarkan di Pesantren.
Berdasarkan
paparan di atas, terlihat bahwa pondok di Pesantren Persatuan Islam berfungsi
kurang lebih sama dengan pondok-pondok di Pesantren-Pesantren pada umumnya.
Tidak ada kekhasan lain, selain fasilitas yang sudah agak lebih baik. Hal ini
menunjukkan bahwa secara fisik, tradisi Pesantren lama masih dipertahankan oleh
PPI.
3.
Komposisi
Pelajaran dan Sistem Pengajaran
Sebagai
lembaga pendidikan yang tujuanya mendidik calon-calon ulama yang menguasai
ilmu-ilmu Agama,pelajaran-pelajaran yang diberikan di pesantren semuanya
berkaitan denga disiplin ilmu-ilmu keagamaan.Namun bberapa pesantrn ada yang
menambahkan pelajaran Umum.Pesantren memanfaatkan Kitab-kitab yang diajarkan
kepada santrinya yaitu Kitab Tafsir
dan Ulum At-Tafsir,Kitab Fiqh dan Ushul Fiqih,Kitab Hadits dan
Ulumul Hadits,Kitab Tasawuf,Kitab
Ilmu Kalam,Kitab Ilmu Alat dan sebagainya.
Komposisi
Kitab yang diajarkan berbeda-beda antara satu pesantren dengan pesantren lain
bergantung pada spesialisasi masing-masing pesantren.Oleh karena kuatnya Madhab
Syafi’i,kebanyakan kitab yang diajarkan dipilih dari ulama-ulama bermadhab
Syafi’i.Sementara itu,santri memilih sendiri kitb yang akan dikaji sesuai
dengan kemampuanya.Tidak ada batasan waktu berapa tahun santri mengkaji
kitab-kitab tersebut semuanya brgantung kepada kemampuan santri masing-masing.
Cara
pengajaran di pesantren memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri.Kitab-kitab
tersebut diajarkan dengan cara Wetonan /
Bandongan dan Sorogan.PERSIS
tetap mempertahankan nama ”Pesantren” untuk menanami lembaga keagamaanya.Adapun
tujuanya ditulis dalam Sejarah Ringkas
Pesantren PERSIS Bangil,yaitu sebagai berikut:
“ Sebagaimana dijelaskan dalam
muqadimah,bahwa didirikanya pesantren ini didorong oleh rasa tanggungjawab
terhadap timbulnya faham sekuler,bid’ah dan khurafat yang jelas bertentangan
dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadits.
Maka Pesantren PERSIS Bangil didirikan
dengan bertujuan:”Membentuk kader mubaligh yang sanggup diketengahkan di
masyarakat guna memberantas setiap faham,bid’ah dan khurafat yang bertentangan
dengan Al-Qur’an dan Hadits Shahih,dengan mengembalikan umat kepada sumber
Agama yang asli,yaitu Al-Qur’an dan Hadits Shahih dengan prinsip:Hablu Minallah
wa hablum minannas”.
Pengajaran
keagamaan di Pesantren PERSIS yang didirikan oleh A.Hassan untuk mencetak
mubaligh yang akan menyebarkan faham PERSIS inti pemikiranya adalah “kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunah”.Doktrin
“kembali kpada Al-Qur’an dan As-Sunnah” menekankan
kepada Umat Islam agar lebih banyak berinteraksi secara langsung dengan
teks-teks Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Sayang,Pesantren
PERSIS sampaisaat ini belum memiliki Pesantren tingkat tinggi sehingga
kecenderungan tingkat lanjut pengajaran kitab di Pesantren PERSIS tidak dapat
dilihat lebik jelas.Mereka harus mneruskan ke Timur Tengah seperti Universitas
Al-Azhar Mesir,Universitas Islam Madinah,Universitas Umul Qura
Mekah,Universitas Ibnu Su’ud Riyadh,dan sebagainya.
Namun bila
diperhatikan,santri-santri yang mendalami ilmu Agama tingkat lanjut,baik yang
otodidak maupyn yang bersekolah di Timur Tengah,selalu merujuk kepada
kitab-kitab kuning yang dijadikan rujukan di Pesantren-pesantren tradisional.Selain
disiplin ilmu,di Pesantren juga diajarkan ilmu-ilmu umum seprti ilmu
mengajar,Psikologi,Bahasa Indonesia,Bahasa Inggris dan Matematika.
Pada tahun
1983,diseluruh Pesantren PERSIS di Indonesis belum ada kelas formal yang lebih
tinggi dari tingkam Mu’alimin.Tahun 1962-1969
pernah berdiri Universitas PERSIS di Bangil.Akan tetapi pada kenyataanya tidak
lebih dari Fakultas Syari’ah di PTAIN (saat ini IAIN) dan bukan kelas tinggi
yang sengaja dirancang bagi santri
tamatan Mu’alimin melanjutkan
pelajaran Agamanya.
Pengaruh
Modernisasi terlihat dalam penerapan sistem evaluasi stiap jenjang kelas.Penentuan
kelas,tidak lagi diukur dengan kitab yang berhasil diselsaikan,tapi dengan
kemampuanya menguasai pelajaran yang diberikan.Setiap ahir tahun ajaran,santri
dites penguasaanya atas pelajaran yang diberikan selama satu tahun untuk
menentukan apakah ia layak mengikutu kelas selanjutnya atau tidak.
4.
Kiai
dan Santri
Kiai
adalah unsur dalam tradisi Pesantren yang paling banyak menarik perhatian para
peneliti,baik dalam hubunganya dengan Pesantren sendiri maupun dengan
masyarakat.
Di
Pesantren Kiai merupakan elemen esensial yang sangat menentukan perkembangan
dan berjalanya Pesantren.Mengenai karakter Kiai di Pesantren Dhofier
mengatakan:
“Kebanyakan
Kiai di Jawa beranggapan bahwa suatu Pesantren diibaratkan suatu kerajaan kecil
dimana Kiai merupakan sumber kekuasaan dan kewenangan (Power and Authority)
dalam kehidupan dan lingkungan Pesantren.Tidak seorangpun santri atau orang
lain yang dapat melawan kekuasaan Kiai,kecuali Kiai lain yang lebih besar
pengaruhnya.Para santri selalu mengharap dan berfikir bahwa Kiaiyang dianutnya
merupakan orang yang percaya penuh kepada dirinya sendiri (Self Confident),baik
dalam so’al-so’al pengetahuan Islam maupun dalam bidang kekuasaan dan menejemen
Pesantren”.
Karakter semacam ini munculkarena
biasanya Kiai yang menjadi pusat pengetahuan di Pesantren,adalah juga
pemilikPesantren.Seringkali pula hidupsantrinya pun ditanggung oleh Kiai.Karakter
Kiai seperti itu,di Pesantren PERSIS hampir pudar.Sejakpertama kali didirikan
unsur Kiai tidak begitu dominan.Kiai tidak lagi menjadi penguasa segalanya.
Sekalipun kekuasaanya tidak
mutlak,Kiai merupan orang yang sangat berpebgaruh di Pesantren.Semakin mashur
seorang Kiai maka Pesantrenpun akan semakin maju dan banyak didatangi santri
yang ingin belajar.Di Pesantren PERSIS No 1 dan 2 Pajagalan Bandung kemashuran
E.Abdurrahman dan adiknya K.H.Eabdullah dilingkungan jamaah PERSIS menjadi juru
kunci berkembang pesatnya Pesantren.
Pesantren-pesantren lain yang
dipimpin oleh Kiai yang tidak terlalu mashur perkembanganya relatif standar
dalam jangka waktu yang cukup lama.Contohnya PPI 19 Garut.Sejak didirikan tahun
1968 baru dibuka kels Mu’alimin pada
tahun 1979 setelah datang dua orang Kiai mud di Pesantren tersebut yaitu
K.H.A.Zakariya dan K.H.Entang Muchtar.
Kemashuran Kiai selain karena
ketinggian penguasaanya terhadap ilmu Agama juga ditentukan dengan Interaksinya
dengan masyarakat.Selain melalui pengajian, Kiai Pesantren PERSIS dikenal luas
oleh masyarakat melalui tulisan.Sejak tahun 195 PPI Bangil menerbitkan majalah Al-Muslimun.Melalui majalah inilah
Ustadz Abdul Qadir Hassan dikenal oleh masyarakat,terutama melalui publik tanya
jawab masalah-masalah keagamaan yang diasuhnya sampai meninggal tahun 1984.Sampai
saat ini majalah tersebut masih terbit dan didistribusikan keeluruh provinsi di
Indonesia.Ustadz E.Abdurrahman dan Ustadz E.Abdullah juga memanfaatkan tulisan
untuk berkomunikasi dengan masyarakat,masing-masing melelui majalah Risalah yang terbit berbahasa Indonesia
sejaktahun 1962 dan majalah Iber yang
terbit berbahasa Sunda sejak tahun 1974.
Santri-santri di Pesantren PERSIS
dikategorikan menjadi dua jenis,yaitu Santri
Mukim dan Santri Kalong.Santri Mukim adalah
santri yang derada di pesantren selama 24 jam,sedangkan Santri kalong adalah santri yang datang kepesantren untuk mengaji
selepas itu ia pulang kerumahnya masing-masing.
5.
Hubungan
Pesantren dengan Masyarakat
Dalam
kasus PPI,hubungan dengan masyarakat hampir sama seperti yang dilakukan oleh pesantren-pesantren
tradisional,yaitu sebagai pusat rujukan keagamaan bagi masyarakat.Hanya saja
objek masyarakatnya terbatas pada masyarakat yang menerima pemikiran
modern-Islam seperti Muhammadiyah dan PERSIS sendiri.Bagi masyarakat yang belum
menerima pemikiran kelompok modernis seringkali brsikap tidak mengacuhkan atau
bahkan resisten.Sikap ini muncul karena ketidaksukaan mereka terhadap kehadiran
paham baru ditengah-tengah mereka.
Pesantren
Bangil merupakan contoh yang paling baik dalam melakukan hubungan dengan
masyarakat.Sejak pertama didirikan tahun 40-an Pesantren PERSIS Bangil berada
diperkampungan yang penduduknya sebagian besar pendukung NU.Sampai saai ini
keadaan itu tidak banyak berubah.Pada tahun-tahun pertama didirikan resistensi
masyarakat terhadap kehadiran pesantren diwujudkan dalam bentuk kekerasan
seperti melmpari bangunan pesantren,merusak sarana yang dimiliki pesantren dan
sebagainya.Namun dengan sendirinya kekerasan itu hilang dan ahirnya keberadaan
pesantren seolah-olah terisolir dari Masyarakat sekitarnya.
Sementara
untuk Pesantren-pesantren di daerah Jakarta dan Jawa Barat separti Pesantren
PERSIS Pajagalan,Pesantren PERSIS Bentar,Pesantren PERSIS Cempakawarna dan
Benda Tasikmalaya perkembanganya agak berbeda dengan pesantren PERSIS
Bangil.Pada awal didirikan,resistensi masyarakat yang idak sepaham memang cukup
kuat.Akan tetapi karena banyak melakukan hubungan langsung secara personal
kepada Masyarakat terutama melalui cabang-cabang Jam’iyah PERSIS,semakin lama masyarakat sekitar terpengaruh dan
mengikuti paham keagamaan yang disebarkan oleh Pesantren PERSIS.
Ketika
masyarakat telah banyak yang terpengaruh,hunbungan Pesantren dengan masyarakat
semakin intens.Para Ustadz selain mengajar santrinya di pesantren juga harus
mengisi pengajian dan acara-acara keagamaan lain seperti Pernikahan dan
kematian atas permintaan masyarakat sekitar.Banyak pula Masyarakat yang datang
kepada Kiai untuk mengadukan masalahnya atau menanyakan berbagai perso’alan
keagamaan.Semakin lama,semakin banyak pula masyarakat sekitar yang memesukan
anaknya ke Pesantren.
Adanya
hubungan baik dengan masyarakat diperlihatkan pula dalam pembiayaan operasional
dan pengembangan Pesantren.Uang bulanan yang dibayarkan oleh santri hanya cukup
untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari.Bahkan pesantren-pesantren
yang hanya memiliki sedikit santri,uang bulanan santripun tidak cukup untuk
membiayai biaya operasional sehari-hari.Untuk keperluan lain pesantren
mengandalkan dna dari masyarakat.Hal ini memperlihatkan bahwa Pesantren telah
menjadi bagian dari masyarakat yang mendukungnya hingga mereka rela membantu
menopang keuangan Pesantren.
6.
Hubungan
Pesantren dengan Organisasi Induk ( PERSIS )
Dalam struktur Jam’iyah PERSIS,Pesantren PERSIS berada dibawah bidang pendidikan
cabang PERSIS didaerah masing-masing. Pesantren yang ditempatnya tidak terdapat
cabang Persatuan Islam seperti di bangil, berada di bawah yayasan yang dikelola
oleh tokoh-tokoh PERSIS setempat dan berkoordinasi secara langsung dengan
bidang garapan pendidikan pimpinan pusat PERSIS di Bandung. Kebijakan ini
berlaku sejak tahun 1955 ketika dilakukan standardisasi kurikulum pesantren
oleh ustadz E. Abdurrahman yang saat itu menjadi pimpinan Pesantren PERSIS Pajagalan
Bandung sekaligus menjabat Bidang Pendidikan Pimpinan Pusat PERSIS.
Sekalipun semestinya pesantren
berada di bawah pengelolaan pimpinan cabang Persatuan Islam, namun pada
kenyataannya peran pimpinan cabang tidak terlalu terlihat. Bahkan untuk
pesantren-pesantren yang tergolong besar seperti Pesantren Pajagalan, Bentar, Tarogong,
dan Benda Pimpinan Cabang PERSIS tidak lebih besar dibandingkan dengan
pesantrennya. Akhirnya, kebijakan pesantren lebih banyak di tentukan oleh pihak
pesantren sendiri.
Lebih berpengaruhnya kiai di
pesantren dibandingkan kebijakan jam’iyyah diperlihatkan pula oleh pesantren PERSIS
Bangil. Sejak awal berdiri pesantren ini di pimpin oleh orang-orang yang juga
sangat berpengaruh dilingkungan PERSIS,masing-masing oleh A. Hassan (1940-1958)
dan Abdul Qodir Hassan (1958-1983). Sepeninggal A. Hassan, Abdul Qodir Hassan
menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pimpinan pesantren dan sebagai ketua
Majelis Ulama PERSIS yang sangat berpengaruh di lingkungan PERSIS.
Kelonggaran hubungan antara
jam’iyyah dengan pesantren sesungguhnya membuat pesantren-pesantren PERSIS relatif
lebih mandiri, baik dalam inovasi pengembangan pengajaran maupun dalam
pengembangan pesantren sendiri. Namun sampai saat ini belum terlihat adanya
inovasi-inovasi signifikan yang dikembangkan oleh pesantren. Kemungkinan besar
hal ini di sebabkan masih adanya tidak mau mengambil resiko dan ewuh-pakewuh
para pengelola pesantren, yang kebanyakan mantan santri pesantren PERSIS juga,
terhadap para ustadz pendahulu mereka. Mengubah kurikulum dianggap sebagai
tindakan bodoh dan melawan kebijakan guru mereka yang telah merumuskan
kurikulum dengan cukup baik dimasa lalu. Dengan nada begitu meyakinkn H.M.
Atang A.S menyatakan:
“ Kurikulum
pesantren dari dulu sampai sekarang sama sejak seperti ini dan telah teruji
sanggup melahirkan orang-orang besar sekelas Ust Latief Muchtar . Saya kira
kurikulum yang ada sekarang masih relevan dan belum perlu diperbiki.
Orang-orang tua kita telah merumskan kurikulum dengan begitu baik ”.
Sekalipun
hubungan antara pesantren dengan jam’iyyah dalam penentuan kebijakan pendidikan
terlihat longgar, namun keberadaan pesantren dan jam’iyyah berjalan saling
menguntungkan. Pimpinan cabang sering kali membantu kekurangan-kekurangan
pesantren, terutama dalam masalah pendanaan. Sementara pihak pesantren sangat
membantu dalam pengembangan jam’iyyah dengan mendidik kader-kader aktivis
pesantren Islam dan menyuplai tenaga-tenaga muballigh yang pengelolaannya
dikoordinasi oleh jam’iyyah. Tidak jarang pula aktivis pesantren sekaligus
merangkap sebagai aktivis jam’iyyah. Bahkan, aktivis-aktivis jam’iyyah dari
mulai pimpinan jamaah, sampai pimpinan pusat didominasi oleh orang-orang
pesantren atau paling tidak alumni pesantren PERSIS. Oleh sebab itu, tidak
salah bila komunitas PERSIS sesungguhnya adalah komunitas pesantren. Keadaan
ini hampir mirip dengan organisasi Nadhlatul Ulama yang didominasi oleh
orang-orang pesantren atau setidaknya alumni pesantren-pesantren NU yang
tersebar di seluruh penjuru Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tiar Anwar Bachtiar.Sejarah
Pesantren PERSIS 1936-1983.Pembela Islam Media.2012
Kalau pesan bukunya dimana yaa?
BalasHapus