Rabu, 29 Oktober 2014

Sejarah PERSIS 1936-1983


PENDIDIKAN PERSIS DARI MASA KE MASA
1.    Kajian Agama:Awal mula kelahiran PERSIS
Lahirnya PERSIS bersamaan dengan menguatnya gejolak Nasionalisme Indonesia.Gejolak itu muncul sebagai sebuah keniscayaan atas Kolonialisme Belanda yang menyengsarakan sebagian besar rakyat Indonesia.Tahun 1905 lahir SERIKAT Dagang Islam (SDI) yang menjadi cikal bakal lahirnya Serikat Islam (SI) tanggal 11 November 1911.Tahun 1908berdiri Boedi Oetomo yang sekalipun masih kontroversi yang disebut-sebut sebagai pelopor Nasionalisme Indonesia.Setelah itu disusul dengan berdirinya Muhammadiyah tanggal 18 Novwmber 1912.
Dua organisasi pertama dalam perkembangan selanjutnya menjadi organisasi politik,sedangkan yang terahir memantapkan diri dalam bidang sosial keagamaan.Seperti halnya Muhammadiyah,memang agak sulit untuk secara langsung mengaitkan berdirinya PERSIS dengan semangat Nasionalisme Indonesia.Sekalipun keduanya anti kolonial,dan lahir ditengah gejolak Nasionalisme  tapi yang sangat berpengaruh terhadap kedua organisasi tersebut adalah semangat Nasionalisme Islam yang dipelopori oleh Muhammad Abduh.Kategori modernis yang diletakan kepada kedua organisasi itupun disebabkan oleh terlihatnya ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh dalam organisasi itu yang disebarluaskan melalui Majalah Al-Manar.
PERSIS didirikan tanggal 12 September 1923 oleh beberapa orang pedagang di Bandung yang terlibat dalam diskusi intensif.Diskusi tersebut diadakan oleh H.Zam-zam dan H.Muhammad Yunus yang mewarnai diskusi tersebut.PERSIS didirikan dengan maksud memperluas diskusi-diskusi keagamaan yang selama ini diselenggarakan oleh para pendiri PERSIS.Sisi inilah yang membedakan kelahiran PERSIS dari organisasi modernis Islam lain seperti Muhammadiyah dan SI.PERSIS lahir dari tradisi Studi Club yang pada tahun 20 sampai 30-an tengah marak dan sempat melahirkan organisasi-organisasi ternama seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Jong Islamitien Bond (JIB).
Hal lain yang menjadi karakter khas PERSIS pada masa awal adalah konsistensinya dalam bidang pngembangan wacana pemikiran keagamaan.Berbeda dengan Muhammadiyah yang lebih berkonsentrasi pada peningkatan pendidikan dan kesejahtraan sosial umat Islam dan SI yang berorientasi politik.Apa yang dikerjakan PERSIS pun tidak lebih dari usaha-usaha pengembangan dan penyebaran wacana-wacana keagamaan.

Tiga tahun pertama sejak berdirinya, sebenarnya PERSIS tidak begitu memfokuskan diskusinya pada pemikiran-pemikiran modernis. PERSIS lebih mementingkan diskusi agama secara umum dan dihadiri oleh kelompok modernis seperti Haji Zam Zam, Haji Muhammad Yunus,dan A.Hassan, juga oleh kelompok tradisionalis. Kecenderungan PERSIS  pada pemikiran modernis mulai terlihat sejak bergabungnya A.Hassan tokoh yang kemudian sangat berpengaruh dan yang memberi karakter pada PERSIS pada tahun 1924. Sekalipun topik bahasan yang dibicarakan menyangkut masalah-masalah keagamaan secara umum, namun mereka pun  mendiskusikan isi majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, dan majalah Al-Munir yang disunting oleh Haji Abdullah Ahmad dari Singapura. Kedua majalah tersebut adalah majalah yang menjadi corong gerakan modernis saat itu.
Oleh karena keanggotaan yang sifatnya terbuka terdiri atas kelompok tradisionalis dan modrnis sering terjadi perdebatan sengit dalam setiap diskusi, apalagi setelah bergabungnya A.Hassan yang terlihat begitu gigih menentang pandangan-pandangan kaum tradisionalis. Tidak hanya sekedar perdebatan, akhirnya pada tahun 1926 kelompok tradisionalis di PERSIS memisahkan diri dan membentuk kelompok baru bernama “Permoefakatan Islam”. Sementara faksi modernis masih tetap memakai nama “PERSIS” dan sejak saat itu pula PERSIS menyyang bersumbatakan diri sebagai gerakan modernis.
Sampai Perang Dunia II,sekalipun gaungnya besar,PERSIS termasukorganisasi kecil.Anggotanya tidak lebih dari 300 orang.Bergabungnya beberapa tokoh yang aktif di organisasi lain seperti K.H Moenawar Cholil dan Hamka dari Muhammadiyah,Sabrini dari SI,Muhammad Natsir dari JIB dan M.Hasbi Ash-Shidiqy oleh Federspiel dianggap sebagai indikasi bahwa ada saat itu PERSIS lebih dianggap sebagai kelompok studi dan pendidikan keagamaan tempat membincangkan berbagai masalah keagamaan yang tidak mereka temukan di organisasi asal mereka,daripada sebagai ORMAS.
Pada intinya diskusi-diskusi yang diselenggarakan PERSIS menghendaki adanya pemurnian ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang pada saat itu keagamaan umat Islam telah bercampur dengan praktek Bid’ah,Taqlid dan Syirik.
Untuk menyebarkan cita-cita dan pikiran-pikiranya,PERSIS melakukan beberapa usaha diantaranya adalah penerbitan,terbitan reguler PERSIS pertama adalah Pembela Islam yang terbit tahun 1929.Oplahnya mencapai 2000 eksemplar.Penerbitan periodikal lain yaitu Al-Fatwa yang diterbitkan tahun 1931,Al-Lisan yang diterbitkan tahun 1942,At-Taqwa,Laskar Islam yang diterbitkan tahun 1937,dan Al-Hikam yang diterbitkan tahun 1939.
Selain menerbitkan majalah-majalah berkala,PERSIS juga menerbitkan buku-buku yang berkaitan dengan masalah keagamaan.Buku-buku tersebut yang diterbitkan umumnya karangan A.Hasan dan M.Natsir.Buku-buku PERSIS yang sampai saat ini yang ma Marasih banyak dibaca dan dijadikan rujukan antara lain Tafsir Al-Qur’an,Terjemah Bulugul Maram,Sual Jawab jilid I-IV,Pengajaran Shalat,dan sebagainya.
Salah satu yang membuat PERSIS terkenal saat itu,sekaligus ditakuti orang lain adalah keberanianya menentang pihak-pihak yang berbeda pikiran untuk berdebat.Perdebatan-perdebatan penting yang pernah diselenggarakan PERSIS antara lain perdebatan dengan Ahmadiyah Qadilan yang diadakan sebanyak tiga kali tahun 1930-an,perdebatan dengan organisasi tradisional seperti Al-Ittihadul Islamiyah Sukabumi,Majlis Ahli Sunah di Bandung,dan NU di Ciledug,Cirebon tahun 1932 serta di Gebang tahun 1936.Selain masalah keagamaan PERSIS juga debat tentang Nasionalisme dengan H.Muchtar Lutfi dari PERMI Minangkabau.Beberapa perdebatan lain dilakukan dengan para pemimpin Agama seperti Kristen Advent Hari Ketujuh.
Sekitar tahun 1927 PERSIS membentuk kelompok diskusi keagamaan yang dipimpin oleh A.Hassan.Diskusi tersebut dihadiri oleh Muhammad Natsir,Fakhrudin Al-Kahiri,Rusbandi,Caya dan lain-lain.
Baru sekitar tahun 1930-an PERSIS memiliki lembaga pendidikan formal bernama “ Pendidikan Islam “ atau PENDIS yang dipelopori oleh A.Natsir.Lembaga ini terdiri dari beberapa sekolah yaitu Taman Kanak-Kanak dan HIS tahun 1930,MULO tahun 1931,dan sebuah sekolah guru atau Kweekschool tahun 1932.Selain A.Natsir di PENDIS aktif juga A.A Banama dan Rusyad Nurdin.
Pada bulan Maret 1936,PERSIS mendirikan lembaga pendidikan lain yang dinamai PESANTREN PERSIS yang didirikan oleh A.Hassan.PESANTREN PERSIS pertama kali didirikan di Bandung.Selain Pesantren dibuka pagi,sore harinya dibuka untuk kursus Agama oleh E.Abdurrahman.Kemudian karena alasan kepindahan A.Hassan ke Bangil tahun 1940,sebagian murid PESANTREN PERSIS kelas pagi dibawa kesana dan didirikan PESANTREN PERSIS PUTRA disana.Setahun kemudian,tahun 1941 dibuka Pesantren Putri.Kedua Pesantren,di Bandung dan di Bangil terus berjalan sampai ditutup oleh Jepang tahun 1942.

2.    M.Natsir dan Pendidikan Islam (PENDIS)
Pendidikan formal pertama yang ada dilingkungan keluarga besar PERSIS adalah Pendidikan Islam (PENDIS) yang didirikan oleh Muhammad Natsir.
PENDIS bermula dari cita-cita dan idealime Natsir mengenai pendidikan Islam setelah melihat kenyataan yang terjadi dilapangan saat itu.Saat itu Natsir masih duduk di AMS (Algemenee Midele School) di Bandung yang dibimbing oleh A.Hassan.
Natsir yang telah cukup lama mendalami Agama ingin menyadarkan umat Islam.Ia pun lantas mmbantu Hassan dalam menulis masalah-masalah keagamaan dan menterjemahkanya kedalam bahasa Belanda agar dapat diterima dikalangan masyarakat elit.Ia sering berceramah mengenai masalah-masalah Agama di sekolah-sekolah Belanda seperti MULO di Jawa dan HIK Geonoengsari di Lembang atas prakarsa JIB.
Disisi lain Natsir tahu bahwa dipesantren-pesantren diajarkan ilmu-ilmu Agama secara cukup mendalam.Akan tetapi kelemahanya,pesantren-pesantren tidak mengajarkan ilmu modern untuk bekal para siswa di dunia ini.Lulusan pesantren menang banyak dibutuhkan oleh masyarakat,tetapi mereka tidk dapat bersaing dengan orang-orang barat atau lulusan-lulusan sekolah Belanda hingga umat Islam tetap saja terjajah.
Oleh sebab itu,perlu ada sekolah yang mengajarkan ilmu-ilmu modern,tapi juga memberikan pendidikan Agama Islam kepada para plajarnya supaya mereka dapat menjadi muslim yang tahu harga diri dan kokoh tegak dalam menghadapi kehidupan modernsaat telah terjun ke masyarakat.
Gagasan itu kemudian dibicarakan Natsir dengan A.Hassan dan kawan-kawanya yang lain.Semuanya setuju,tetapi kemudian mereka kebingungan soal siapa yng akan menjadi guru  di sekolah tersebut.Ahirnya Natsir dan kawan-kawanya memutuskan untuk menjadi gurunya.Hal ini mendorong Natsir untuk menekuni buku-buku yang berkaitan dengan pendidikan,baik yang berbahasa Belanda,Inggris,Jerman,atau Prancis.
Setelah membaca beberapa buku,Natsir memberanikan diri untuk mmbuka sekolah.Awalnya diselenggarakan semacam kursus pada sore hari bagi mereka yang telah menamatkan  HIS namun tidak mampu melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi.Pelajaranya terdiri dari pengetahuan umum dan bahasa Inggris disamping pelajaran Agama.Kelas yang pertama kali hanya diisi 5 orang murid ini diselenggarakan selama dua jam,dari pukul 3 sampaipukul 5 sore disebuah gedung di jalan Pangeran Soemedang yang sengaja disewa Natsir.
Bulan-bulan berikutnya ternyata murid yang mendaftar semakin banyak.Kesulitan serius yang dihadapi Natsir adalah masalah keuangan.Namun kesulitan itu dapat teratasi berkat bantuan H.Muhammad Yunus,salah seorang saudagar kaya pendiri PERSIS,yang selalu memberikan bantuan keuangan bagi kepentingn pendidikan yang diselenggarakanya.
Berkat cita-cita dan kegigihan usahanya dalam bidang pendidikan,Natsir mendapat pujian dari Syeikh Ahmad Soorkati,pendiri Al-Irsyad,dalam rapat pengurus Al-Irsyad saat Natsir mengunjunginya.
Pada bulan Maret 1932,diselenggarakan pertemuan dengan kaum muslimin yang menaruh perhatian trhadap masalah pendidikan.Pertemuan ini menyepakati berdirinya PENDIS yang cikal bakalnya adalah kursus sore hari yang dirintis oleh Natsir.Lembaga pendidikan ini bertujuan menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu modern yang dipadukan dengan pendidikan Islam dalam arti yang seluas-luasnya.
Kurikulum Pendidikan Islam disusun untuk mencapai tujuan:
a.    Memenuhi kekurangan pelajaran untuk anak-anak muslim
b.    Mengatur pelajaran dan pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak muslim itu dengan berdasar dan beruh Islam berikut prakteknya yang perlu dengan cara yang lebih rapi.
c.    Mengatur segala didikan yang akan diberikan untuk menjaga agar anak-anak muslim tidak hanya bergantung untuk menjadi pegawai sesudah lulus,melainkan sebisa-bisanya bekerja dengan tangan sendiri.
Sesuai dengan tujuanya,Pendidikan Islam memang tidak secara husus menciptakan ahli ulama tidak seperti Pesantren PERSIS.Entang Sulaeman,salah seorang mantan murid HIS PENDIS santri di Pesantren PERSIS,menceritakan pengalamanya dalam catatan pribadi yang Ia berikan kepada anak-anaknya sebagai berikut:
“....Isuk-isuk sakola Umum di HIS Pendidikan Islam,pasosore di Pasantren Persis.Atuh Jang Entang teh kudu sapoe di Bandung.Subuh indit,wanci Isya kakara datang ka Sukamenak,bekel kudu cukup tilu benggol,lima sen keur kana sado bulak-balik,sabenggolkeur dahar diwarung.Resep sakola bari masantren teh.Piraku arek teu resep atuh da sakola di HIS,Holandshe Inlandshe School tea.Pimanaeun haritamah anak Guru Desa pantar Uu make bisa nyakolakeun  ka sakola kitu di Bandung”.
Pendidikan Islam semakin lama semakin berkembang,bahkan pada tahun 1938 atas inisiatif alumnus-alumnus PENDIS Bandung sekolah model PENDIS ini dibuka dilima tempat di Jawa Barat,juga di Bangka dan Kalimantan.Setelah H.Muhammad Yunus meninggal,PENDIS mulai merasakan kekurangan keuangan sampai-sampai diusir oleh pemilik Gedung dijalan Lekong Besar 16 itu karena tidak sanggup membayar sewa.Namun Natsir dan PENDISnya tetep bertahan dengan memanfaatkan gedung milik PERSIS di Jalan Besar Lekong no.74    Bandung sampai ahirnya ditutup oleh pemerintah Jepang pada tahun 1942.
Orang-orang yang mempelopori,menyokong dan mengajar di PENDIS adalah para aktivis PERSIS.Bahkan sekolah ini memenfaatkan media resmi PERSIS,majalah Pembela Islam tempat Natsir bekerja,sebagai sarana publikasi yang cukup efektif.Melalui Pembela Islam inilah PENDIS meminta uluran tangan para dermawan untuk membantu biaya operasional Pendidikan dan mengundang para orang tua untuk memasukan anaknya ke PENDIS.
3.    Pesantren PERSIS di Bandung dan Bangil
Semenjak didirikanya,PERSIS terus berkembang.Melalui media-media penyiaran,paham keagamaan PERSIS semakin luas dikenal dalam masyarakat.Untuk terus memelihara dan mengembangkan ajaran Islam yang dibawa PERSIS tentu dibutuhkan kader-kader Mubaligh yang akan mengusungnya.
Pada tanggal 1 Dzulhijah 1354 atas inisiatif A.Hassan di Bandung didirikan sebuah lembaga pendidikan yang menekankan pada pengkajian Agama yang dinamai ‘ PESANTREN PERSATUAN ISLAM’.Keputusan mendirikan pesantren ini diambil setelah diadakan pertemuan di mesjid PERSIS Jl Pangeran Soemedang,Bandung pada bulan itu juga.tTujuanya adalah menyebarkan Islam sebagaimana yang dilihat oleh PERSIS.
Dalam kerangka yang ideal,Pesantren PERSIS didirikan sebagai salah satu upaya yang mencetak kader-kader yang bertafaqahhu fid-din.
Pada saat Pesantren dipimpin oleh E.Abdurrahman (1940-1983),para santri dilarang mengikuti ujian kesamaan negri untuk mendapatkan pengakuan pemerintah atau mendaftarkan diri masuk ke perguruan tinggi,baik umum maupun Agama.Saat pertama kali dibuka,terdapat 40 orang santri yang blajar di Pesantren PERSIS.Mereka berasal dari berbagai tempat di kepulauan Indonesia,bahkan ada murid yang berasal dari Thailand.Mereka umumnya para pmuda yang berkeinginan keras untuk belajar Agama.Oleh sebab itu pesantren ini dinamai “Pesantren Besar”.
Untuk anak-anak dibuka “Pesantren kecil” pada sore hari oleh Hasan Hamid yang sebelumnya menjadi guru Al-Irsyad di Jakarta.Selain Hassan Hamid,E.Abdurrahman menjadi tokoh sentral PERSIS tahun 60-80-an.Pesantren Besar dan Pesantren Kecil pertama kalinya menempati gedungPERSIS di Jalan Pangeran Soemedang.
Seiring dengan sistem kelas diatas,model belajar Serogan dan Bandongan sudah mulai ditinggalkan sejak awal berdirinya Pesantren ini.Sejak pertama didirikan Persantren PERSIS ini tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu Agama,tapi juga mengajarkan pengetahuan umum kepada para Santrinya.
Tidak diketahui apakah saat itu sudah ada asrama atau belum.Akan tetapi menurut keterangan H.M.Atang AS dan H.Abdul Qodir saat merka nyantri di Pesantren PERSIS Tahun 50-an tidak ada asrama husus.Mereka yang berasal dari luar Bandung menginap di rumah salah seorang Ustadz,bahkan yang rumahnya dekatpun ikut pula menginap.
Belum lagi genap empat tahun pelajaran seperti yang direncanakan,A.Hassan diminta oleh Bibi Wantee ntuk pundah dari Bandung,karena melihat penghidupanya di Bandung kurang menggembirakan dari sudut pandang materi,sementara ia bisa meneruskan perjuanganya dimana saja ia berada.
Semula A.Hassan akan pindah ke Surabaya,namun mendapatkan tanah di Bangil.Ahirnya ia memutuskan untuk pindah ke Bangil dan membangun Pesantren PERSIS Bangil pada bulan Maret 1940 atau bulan Muharran 1359.Kepindahan A.Hassan diikuti olej 25 dari 40 muridnya yang belajar di Bandung,dan sisanya tetap belajar di Bandung dibawah bimbingan E.Abdurrahman.
Sejak kepindahan A.Hassan ke Bangil itulah,paham PERSIS masuk kedaerah Jawa bagian Timur.Pesantren Bangil yang didirikan kemudian menjadi cikal bakal perkembangan PERSIS di Indonesia bagian Timur.
Setelah Pesantren dibuka di Bangil,murid-muridnya bertambah dari berbagai pulau di Indonesia.Untuk menampung murid-muridnya itu maka disediakan asrama oleh pihak pesantren.Secara umum,materi dan metode pengajaranya tidak jauh berbeda dengan Pesantren PERSIS di Bandung,akan tetapi ini hanya terjadi perbedaan dan perubahan pada jenjang pendidikan bukan pada substansi materi pengajaran.
4.    Pesantren PERSIS Zaman Jepang
Kedatangan Jepang ke Indonesia tahun 1942 membawa perubahan yang cukup signifikandalam kehidupan bangsa Indonesia umumnya,dan umat Islam hususnya.Perubahan itu terjadi dari usaha Japanisasi Indonesia oleh penguasa militer Jepang di Indonesia seperti yang dilakukanya di Taiwan,Korea,dan Manchuria.
Hal pertama dalam usaha Japanisasi itu adalah menghapuskan penetrasi Barat dan menghilangkan pengaruh Arab.Kedua pengaruh tersebut diganti dengan semangat Jepang.Bahkan jepang menginginkan agar bahasa Jepang menjadi bahsa sehari-hari di seluruh Asia.
Dalam bidang Pendidikan,kebijakan Jepang lebih ekstrim lagi.Jepang menganggap bahwa pendidikan merupakan instrumen paling penting untuk melakukan penetrasi ide dan kebudayaan Jepang ditengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia.Oleh sebab itu Jepang mengawasi Kurikulum sekolah dengan tangan besi dan memaksakan bahasa Jepang sebagai pengganti bahasa Belanda.
Kebijakan pertama yang diambil dalam bidang pendidikan adalah menutup semua sekolah yang da di Indonesia untuk membersihkan pengaruh barat dan Arab, sambil mempersiapkan program Japanisasi di sektor pendidikan. Kebijakn tersebut dikeluarkan tanggal 7 Maret 1942. Tanggal 29 April, hari kelahiran kekaisaran Jepang, Jepang kembali mengizinkan dibukanya sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Sementara sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar tidak diperkenankan untuk dibuka kembali. Begitu pula dengan pengajaran bahasa Arab. Di sekolah-sekolah agama atau pesantren sekalipun, bahasa arab tidak boleh diajarkan.
Sekolah-sekolah persatuan Islam juga mengalami masa-masa itu. Pendidikan islam (pendis) ditutup oleh Jepang persis pada tanggal diundangkannya kebijakan penutupan semua sekolah oleh Jepang (Puar, 1978:40). Ketika sekolah-sekolah swasta lain diizinkan untuk dibuka kembali dengan mengikuti pola pendidikan yang telah dipersiapkan Jepang untuk mewujudkan ambisinya, Pendidikan Islam tidak dibuka kembali. Kemungkinan  besar karena muatan Islam yang begitu kental, penguasa Jepang tidak memperkenankan Pendis dibuka kembali. Natsir sendiri yang memimpin pendis kemudian terjun ke dalam dunia politik.
Tidak berbeda dengan PENDIS,Pesantren PERSIS baik putra maupun putri yang baru saja dibawa pindah Oleh A.Hassan dari Bandung ke Bangil juga ditutup oleh Jepang.Pada saat semua sekolah PERSIS ditutup,Pesantren kecil di Bandung yang dipimpin E.Abdurrahman tetap bertahan bahkan berkembang lebih baik.
Tetap bertahanya Pesantren kecil di Bandung,mungkin juga ada kaitanya dengan M.Natsir yang saat itu menjadi kepala biro pendidikan kota Bandung dan kebijakan Jepang yang agak longgar terhadap pendidikan Islam di Bandung,dimana penguasa Jepang tidak mencampuri urusan madrasah,Mereka beranggapan bahwa itu urusan Agama yang sensitif.Urusan itu diserahkan sepnuhnya kepada pihak balai kota Bandung.Kesempatan inilah yang membuat E.Abdurrahman dan Rusyad Nurdin mengelolanya yang berani untuk terus mengembangkan Pesantren.
Keberanian itu membuahkan hasil yang menggembirakan.Pesantren PERSIS Bandung terus mendapatkan tambahan santri sehingga dibutuhkan tambahan pengajar lain.Untuk selanjutnya O.Komarudin,E.Abdullah dan M.I.Sudibja ikut membantu mengajar santri-santri Ibtidaiyah PERSIS saat itu.Oleh sebab itulah bertahanya Pesantren Kecil di Bandung merupakan prestasi tersendiri ditengah kemacetan akivitas PERSIS yang lain.
5.    Menyelenggarakan Pesantren di Zaman Revolusi
Diproklamasikanya kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945,tidak hanya menandakan perubahan baru  dalam peta politik Nasional.Lebih dari itu Proklamasi mewakili sebuah Revolusi sosial yang melibatkan seluruh rakyat dalam suasana perang mempertahankan kemerdekaan.Di Surabaya sempat terjadi pertempuran sangat hebat tanggat 10 November 1945 yang begitu terkenal dan menelan begitu banyak korban baikdari pihak rakyat maupun sekutu.Bi Bandung terjadi Peristiwa “Bandung Lautan Api,Si Sulawesi,Aceh,Medan,Kalimantan,dan daerah-daerah lainya.
Dalam suasana seperti itu,sangat wajar bila aktivitas-aktivitas belajar di sekolah tidak berjalan normal.Karena perhatian semua orang lebih tertuju pada perang.Pesantren-pesantren yang semula menjadi pusat pengajaran,saat itu banyak dijadikan sebagai pusat-pusat perjuangan Rakyat.Aktivis-aktivis pesantrenpun ikut terjun dalam pertempuran bergabung dalam barisan tentara Hizbullah dan Sabilillah yang sebelumnya dilatih oleh tentara Jepang.

Oleh sebab itu,tidak heran bila sejak meletusnya Revolusi,Pesantren PERSIS Bandung dan Pesantren kecil di Bangil,aktivitas PERSIS yang masih bertahan sejak zaman Jepang ikut larut dalam suasana itu.Pesantren PERSIS Bandung diungsikan ke Gunung Cupu,ciamis untuk menghindari suasana Bandung yang saat itu tengah kacau tidak menentu.E.Abdurrahman pemimpin pesantren Ikut dalam pengungsian itu bersama beberapa orang santrinya.Sementara itu E.Abdullah tidak ikut ke Ciamis melainkan ke Pameungpeuk Bandung dan menyelenggarakan Madrasah disana.Beberapa pengajar lain mengungsi ke Gunung Gede Cianjur.
Gunung Cupu ternyata bukan tempat yang aman untuk mengungsi,bahkan disana terjadi peristiwa penting “Pertempuran Gunung Cupu” melawan tentara Belanda tanggal 17 Februari 1948.Peristiwa yang dimotori oleh Tentara Islam Indonesia ( TII ) pimpinan Kartusuwiryo ini dijadikan salah satu legitimasi lahirnya Proklamasi Negara Islam Indonesia ( NII ) tanggal 7 Agustus 1949,terutama karena hijrahnya Divisi seliwangi ke Jogja setelah perjanjian Renville.Dalam kedaan seperti itulah para ustadz dan santri yang tadinya hendak mengungsi ikut terlibat dalam pertempuran yang terjadi disana.
Perhatian yang begitu besar terhadap pendidikan,membuat E.Abdurrahman tidak mengabaikan pendidikan para santrinya sekalipun harus dilaksanakan sambil bergerilya.Pengajaranya tetap dilaksanakan dalam keadaan darurat sekalipun.Salah satu santri yang ikut ke Gunung Cupu adalah A.Latif Muchtar yang mnjadi ketua umum Pimpinan Pusat PERSIS tahun 1983-1997 menggantikan E.Abdurrahman gurunya.Beberapa ustadz yang ikut mrngungsi ke Gunung Cupu adalah Rusyad Nurdin dan Isa Anshary yang menjadi aktivis Masyumi sampai dibubarkan tahun 1960,samniltetap mengajar di PERSIS Bandung.
Di Bangil,sejakPesantren ditutup Jepang tahun 1942 sampai sekitar tahun 1950 tidakada aktivitas Pendidikan yang berarti.Sejak itu pesantren ditutup mengingat situasi yang tidak kondusif.Selain situasi prang yang kelut,pesantren tidak bisa meneruskan pesantren PERSIS di Bangil.Para ustadznya ikut bergabung dalam laskar-laskar perjuangan setelah mereka tidak lagi mengajar seperti para ustadz di Pesantren PERSIS Bandung.
6.    Pesantren PERSIS setelah Revolusi
Sejak zaman Jepang,seluruh aktivitas PERSIS secara organisatoris hampir hilang.Aktivitas PERSIS lebih menekankan pada aktivitas Individual.Keadaan itu semakin parah ketika Revolusi meletus.Hampir semua aktivis PERSIS ikut terlibat dalam hirup pikuk Revolusi.Keadaan mulai mereda sekitar ahir tahun 1948.Ketika perang mulai surut,para pengungsi telah pulang kembali ktempat asalnya masing-masing.Saat itu para aktivis PERSIS mulai berfikir untuk kembali membenahi PERSIS yang kocar kacir selama pendudukan Jepang dan Meletusnya Revolusi.
Pembenahan dilakukan pertama kali dengan mengorganisasi PERSIS tahun 1948.M.Isa Anshary terpilih sebagai ketua umum dan E.Abdurrahman sebagai sekretaris Jendral Pimpinan Pusat.Sementara A.Hassan tetap menekuni bidang pendidikan di Bangil.M.Natsyr yang tahun 1949 menjadi Pimpinan Partai Masyumi,sekalipun tidak ikut aktif dalam kepengurusan PERSIS,masih ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan PERSIS.
Sejak saat itu,perhatian terhadap pendidikan yang sejak awal menjadi perjuangan PERSIS mulai menampakan keseriusanya kembali.Atas Prakarsa M.I.Sudibya tahun 1948 Pesantren PERSIS Bandung kembali dibuka di Jl.Kalipah Apo No.5.Saat itu ia baru saja turun dari pengungsian.Sementara E.Abdurrahman masih berada ditempat pngungsian,namun pada awal tahun 1949 merekapun kembali ke Bandung dan bergabung bersama M.I.Sudibya.Mereka segera melakukan penyempurnaan sistem pendidikan dan pengelolaan Pesantren.
Sebelum penyempurnaan,kelas yang dibuka terbatas sampai tingkat Ibtidaiyah.Namun setelah dilakukan penyempurnaan tahun 1950 Pesantren PERSIS Bandung membuka kelas Tsanawiyah menempati gedung baru di Jl.Pajagalan 77 milik K.H.Zamzam pendiri PERSIS.Dari tahun ke tahun jumlah santrinya terus bertambah sehingga diperlukan lahan yang lebih luas untuk menampung santri tersebut.Pada tahun 1952 H.Anang Thayib mewakapkan sebidang tanah dan rumah di Jl.Pajagalan 22 dan 26 yang sekarang menjadi komplek Pesantren PERSIS No 1 dan 2.
Pada tahun 1955 PERSIS melalui bidang pendidikan mulai melakukan standardisasi dan penyeragaman kurikulum pesantren-pesantreny yang sampai tahun 1963 tercatat berjumlah sekitar 20 buah tersebar di Jawa Barat dan Jawa Tengah.Saat itu bidang pendidikan PP PERSIS dipegang oleh E.Abdurrahman yang juga memimpin PERSIS Bandung.
Rupanya sejak standardisasi dilakukan Pesantren PERSIS Bandung secara tidak langsung menjadi model bagi seluruh Pesantren PERSIS.Disini semua jenjang pendidikan dilakukan kecuali pendidikan tinggi.Pendidikan selama 6 tahun dinamai Ibtidaiyah,Dua tahun pertama tingkat Ibtidaiyah dinamai kelas Tahdliri A dan B.Baru tahun ketiga masuk ke kelas I.II,III dan IV Ibtidaiyah.Pendidikan menengah selama 4 tahun dinamai Tsanawiyah.Selain itu pada tahun 1956 dibuka kelas menengah lanjutan,Mualimin selama 2 tahun.
 Pada mulanya,kelas Tajhiziyah dan Tsanawiyah dipersiapkan bagi santri remaja yang telah menyelesaikan pndidikan dasarnya.Akan tetapi,kebanyakan santri angkatan pertama Tajhiziyah telah berusia 20 tahun dan rata-rata telah menyelesaikan pendidikan menengah,ada pula yang sudah menikah.H.M.Atang AS yang mmimpin Pesantren PERSIS No 1 dan 2 Bandung menceritakan bahwa ia masuk Tajhiziyah tahun 1955 pada usia 24 tahun dan telah menyelesaikan sekolah menengah tekhnik di Cianjur,tempat kelahiranya.Rekan-rekan seangkatanya banyak yang sebaya denganya,bahkan ada yang telah menjadi anggota TNI.
Sementara di Bangil,setelah perang mulai mereda pada bulan Oktober 1950 Pesantren untuk putra dibuka kembali.Untuk mengembangkn Pesantren,termasuk sarana fisik,tanggal 11 Juni 1951 dibentuk Panitia besar sebagai berikut:
-          Penasehat                   : M.Natsir,Muhammad Bin Salim Nabhan,A.Hassan.
-          Ketua Umum             : Abdullah Nabhan.
-          Waki                           : Ahmad Bauzir
-          Penulis                        : Hadi Kaslar
-          Bendahara                  : Muhammad Bin Salim Nabhan
-          Pembantu Umum       : Abdul Qadir Hassan
Kurikulum pengajaran setelah pembukaan kembali tidak banyak berubah dibandingkan sebelum zaman Jepang mengingat A.Hassan masih menangani pesantren ini sampai beliau wafat tahun 1958 dan digantikan oleh putranya Abdul Qadir Hassan.Secara garis besar kurikulumnya sama seperti pada Pesantren di Bangil dan materi-materi pelajaran yang diberikan di Bangil tidak berbeda dengan di Bandung.
Pada bulan September 1957 pesantren putri dibuka kembali.Pesantren ini bertujuan untuk mencetak guru-guru dan penyiar Agama.Pada mulanya,kurikulum dirancang khusus selama 5 tahun dan agak berbeda dengan pesantren putra.Akan tetapi,sejak tahun ajaran 1975/1976 kurikulum pesantren putra dan putri disesuaikan.
Pada awal tahun 90-an dibuka Pesantren Persatuan Islam Tinggi (PPT).Itupun atas prakarsa pimpinan Pusat PERSIS dibidang garapan pendidikan,bukan atas rencana dari Pesantren.Sedangkan di Bangil,sejak tahun 1962 telah dirasakan kebutuhan pendidikan lanjutan untuk santri-santri yang telah menyelesaikn pendiikanya di Pesantren.Untuk itu pada tahun itu juga dibuka perguruan tinggi dengan nama Universitas Pesantren Islam (UPI).
Universutas Pesantren Islam diselenggarakan selama 5 tahun.Mahasiswa yang mendaftar disaratkan berumur  18 tahun.Mata kuliah yang disajikan terdiri dari Mata kuliah Agama dan Umum.Mata kuliah Agama meliputi Bahasa Arab,Al-Qur’an,Al-Hadits,Ushul Fiqih,Fiqih,Tauhid dan lain-lain.Sedangkan mata kuliah Umum meliputi Bahasa Inggris,Ilmu Hukum Positif,Ilmu Pengajaran,Ilmu Politik,Kosmografi,dan perbandingan Agama.
Fakultas yang ada di UPI hanya ada satu yaitu Fakultas Syari’ah.Para pengajarnya antara lain Abdul Qadir Hassan,Abdul Kahar Mudzakir,dan Prof Sardjito dari Jogyakarta. Untuk beberapa lama,UPI yang hanya satu Fakultas dapat dipertahankan,yang kemudian berbenturan dengan peraturan pemerintah yang mengharuskan satu Universitas terdiri dari beberapa Fakultas.Ahirnya pada tahun 1969 UPI diubah menjadi Fakultas Syari’ah Universitas Islam Indonesia (UII) Bangil sebagai afiliasi dari UII Yogyakarta.Sejak diubah menjadi cabang III,Pesantren tinggi ini semakin merosot sampai ahirnya tidak memiliki mahasiswa sama sekali.
Pemisahan lokasi Pesantren putra dan putri dalam jarak yang cukup jauh,bahkan namanya pun sengaja dibedakan,adalah khas Pesantren PERSIS Bangil.Di Pesantren PERSIS Bandung elas putra dan putri disatukan.Artinya,tidak ada rancangan kurikulum khusus untuk putri seperti di Bangil.Di Pesantren PERSIS Bandung,untuk putri hanya disediakan asrama khusus,namun dalam satu kompleks.
7.    Pengembangan Pesantren PERSIS ke Daerah-daerah lain
Pada tahun 1963 bidang pendidikan PERSIS mengkordinasikan sekitar 20 pesantren yang tersebar diberbagai daerah di Jawa Barat dan wilayah lainya.Dalam perkembangan selanjutnya hingga tahun 1980 terdapat 78 pesantren diberbagai daerah.Sampai saat itu,selain Pesantren PERSIS Bandung dan Bangil tidak ada yang termasuk kategaraori besar.Rata-rata jenjang yang dibuka hanya tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah.Baru antara tahun 80 sampai 90-an muncul beberapa pesantren yang cukup besar seperti PPI No 19 Bentar Garut,PPI No 67 Benda Tasikmalaya,PPI No 76 Tarogong Garut.Dengan demikian sampai tahun 1983,pesantren yang tergolong besar praktis hanya PPI Pajagalan Bandung dan PPI Bangil.
Dalam beberapa kasus,brdirinya pesantren-pesantren PERSIS diberbagai daerah dirintis oleh alumni PPI Bandung dan Bangil.Misalnya PPI No 67 Benda Tasikmalaya dan PPI No 32 Ciawi Tasikmalaya.Pesantren Benda dirintis oleh Aminullah salah seorang murid A.Hassan saat di Bandung.Adapula pesantren yang didiikan oleh anggota-anggota PERSIS yang mendirikan cabang PERSIS didaerahnya.
Setelah berjalan beberapa lama,pesantren kekurangan beberapa tenaga pengajar.Pimpinan Pusat PERSIS mengutus Syihabuddin untuk mengelola PPI 19 Garut.Selain itu ditangkan pula alumni PPI Bandung untuk mengajar disana,salah satunya yang kemudian menjadi tokoh ulama PERSIS di Garut adalah K.H.Aceng Zakariya.
Pada kasus lain,beberapa pesantren ada juga yang berdiri  karena banyaknya ustadz yang mengungsi daerah-daerah pada masa revolusi.Salah satunya adalah PPI Pameungpeuk Bandung yang dirintis oleh E.Abdullah yang mengungsi pada zaman Revolusi di Bandung.
Selain di Bandung,Tasik,dan Garut didaerah lain seperti Sumedang juga terdapat PPI.Sekitar tahun 60-an atas prakarsa H.I.Sudibya dibuka PPI tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah.Kemudian diserahkan kepada Mumuh Muhtar kemudian dipercayakan kepada Sukardi Ja’far.ahirnya pada ahir tahun 70-an pesantren bubar dan yang tersisa hanyalah Madradah Diniyah.
Didaerah-daerah lain seperti Sukabumi,Cianjur,Jakarta ,Banten,Ciamis dan sebagainya proses berdirinya PPI tersebut tidak berbeda dengan pesantren-pesantren sebelumnya.Pesantren-pesantren PERSIS di kota-kota besar memungkinkan mendapatkan akses informasi lebih cepat dan lengkap dibandingkan di daerah-daerah.Oleh sebab itu,PPI di kota-kota besar cenderung berkembang lebih cepat.
Mengenai Bangil,sesungguhnya ada perbedan yang cukup menarik bila dibandingkan dengan Bandung dan daerah-daerah lain di Jawa Barat.Sekalipun secara umum dapat dikatakan sama,perbedaan ini mengakibatkan adanya orientasi yang berbeda antara lulusan PPI Bandung dan PPI lainya yang mengindukke Bandung sebelum tahun 80-an dengan lulusan PPI Bangil.Perbedaan Orientasi itu,untuk saat ini sebenarnya sudah tidak terlalu signifikan,akan tetapi saat itu cukup mencolok.









SISTEM DAN TRADISI PESANTREN PERSIS
Sebagaimana dikatakan Dhofier,Unsur-unur yang menjadi ciri khas sebuah pesantren,baik yang tergolong pesantren tradisional ataupun modern,dan membedakanya dari model pendidikan Islam di Indonesia yang lain adalah Mesjid,Pondok,Pengajaran Kitab-kitab Klasik,Santri dan Kiyai.
1.    Mesjid
Lazimnya sebuah lembaga pendidikan,tentu ada komponen fisik yang akan mendukung terlaksananya proses belajar mengajar.Demikian pula halnya dengan Pesantren.Komponn-komponen fisik yang dimiliki sebuah pesantren juga menjadi sebuah ciri yang membedakan pesantren dengan lmbaga pendidikan Islan di Indonesia yang lain seperti Madrasah dan Mesjid.Komponen fisik sebuah pesantren biasanya terdiri atas mesjid,pondok dan Madrasah.Pendidikan Agama tingkat dasar di mesjid-mesjid pun seringkali membuat madrasah disekeliling mesjid sebagai tempat mengaji.Sedangkan mesjid dikategorikan sebagai ciri khas pesantren,karena keberadaanya yang begitu penting,bahkan menjadi bagian yang selalu harua ada di pesantren.Hampir tidak ada pesantren yang tidak memiliki Mesjid.
Fungsi utama Mesjid pada dasarnya adalah sebagai tempat melaksanakan shalat berjama’ah,berdo’a,i’tikaf,tadarus Al-Qur’an dan ibadah-ibadah ritual lainya.Akan tetapi bagi sebuah pesantren mesjid merupakan pusat kegiatan yang paling penting.Mesjid tidak sekedar tempat beribadah tapi lebih dari itu dijadikan sebagai pusat penggemblengan sikap mental keagamaan para santri yang tinggal didalam komplek pesantren.
Di pesantren PERSIS,mesjid juga menjadi salah satu komponen penting yang selalu harus ada.Saat pertama kali dibuka,PPI No 1-2 Pajagalan Bandung memanfaatkan mesjid di jalan Pangern Soemedang,yang sebelumnya telah digunakan untuk penyiaran Agama Islam oleh PERSIS.
Dari tahun 1945 sampai tahun 1948 semua sarana fisik pesantren ditinggalkan mengungsi kedaerah-daerah oleh santri dan kiainya.Akan tetapi ditempat pengungsian seperti di Gunung Cupu,Ciamis,mereka juga memanfaatkan mesjid untuk menyelenggarakan KBM yang terganggu akibat pertempuran.Setelah kembali ke Bandung,tahun 1952 didirikan komplek pesantren yang terdiri atas mesjid dan madrasah di jalan Pajagalan 22-26 yang sampai saat ini digunakan untuk pelaksanaan KBM.
Demikian juga halnya di Bangil,komplek pesantren putra dan putri yang trletak berjauhan masing-masing dilengkapi dengan sebuah mesjid yang cukup besar untuk menampung seluruh santri.
Beberapa Pesantren,cikal bakalnya berasal dari pengajian Agama kecil-kecilan di mesjid seperti PPI Bentar Garut.Seperti di pesantren lain pada umumnya,selain digunakan untuk shalat,di PPI juga digunakan sebagai pusat aktivas-aktivitas santri seperti ekstrakulikuler,latihan ceramah,diskusi Agama dan sebagainya.
Dengan demikian,terlihat mesjid masih tetap dipertahankan sebagai pusat kegiatan di PPI sebagaimana pesantren-pesantren yang lain.Tradisi ini sesungguhnya berlaku hampir disemua Negara Islan sepanjang Zaman.
2.    Pondok
Komponen khas dan penting kedua di Pesantren setelah mesjid adalah Pondok.Keberadaan inilah yang membedakan pesantren dari lembaga pendidikan lain seperti Surau dan madrasah.Istilah Pondok diambil dari bahasa arab yaitu Funduk yang artinya ruang tidur,wisma atau hotel sederhana.Sesuai dengan nama asalnya ,pondok merupakan asrama tempat santri menginap di pesantren terutama santri-santri yang tempat tinggalnya jauh dari pesantren.
Ada tiga alasan pesantren harus menyediakan pondok,yaitu
a.    Kemashuran seorang kiyai dan kedalamanya tentang Islam menarik santri-santri dari jauh.Untuk dapat mengambil ilmu dari kiyai tersebut secara teratur dan dalam waku yang lama,para santri harus meninggalkan kampung halamanya dan menetap didekat kediaman Kiyai.
b.    Banyak pesantren yang bertempat di desa-desa yang tidak tersedia perumahan yang cukup untuk  menampung santri dari jauh hingga perlu ada asrama  husus bagi para santri.
c.    Ada sikap timbal balik antara kiyai dan santri.Santri menganggap kiyai sebagai bapaknya,sedangkan kiyai menganggap santri sebagai titipan Tuhan yang senantiasa harus dilindungi.
Dalam kasus PPI,keberadaan pondok tidak terlalu berbeda debgan pesantren-pesantren lain pada umumnya.Berbeda dengan di Bangil,PPI No 1 dan 2 Pajagalan Bandung,sejak pertama kali didirikan tidak menyediakan pondok khusus untuk para santrinya.Tahun 1952 ketika psantren menempati tmpat baru,barulah dibangun pondok untuk putri.
Menurut H.M.Atang A.S ada atau tidak adanya pondok disuatu pesantren memilikikelemahan dan kelebihan.Pesantren yang memiliki pondok memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mendidik para santri.Akan tetapi kalau jumlah santri lebih banyak dari pembimbing akn berdampak negatif pada perkembangan santri yang tergolong usia remaja.
  Pola pondok yang lebih longgar seperti di pesantren persatuan Islam no. 1&2 Bandung juga diterapkan dibeberapa pesantren lain. Di Pesantren Persatuan Islam no.19 Bentar Garut , sebagian besar santri, putra dan putri, tinggal dipondok.
Hal yang sama juga diberlakukan di Pesantren Persatuan Islam no.67 Benda Tasikmalaya, no. 4 Cianjur, no. 76 Tarogong Garut, dan lainnya.
Kondisi fisik pondok di Pesantren –Pesantren Persatuan Islam agak berbeda dengan pondok di Pesantren-Pesantren tradisional pada umumnya. Di Pesantren-Pesantren tradisional, pondok hanya berupa petak-petak ruangan tanpa di lengkapi peralatan apapun. Para santri tidur di atas lantai tanpa kasur. Papan-papan di pasang pada dinding untuk menyimpan koper dan barang-barang lain (Dhofier,1994:47). Sementara di pesantren-Pesantren Persatuan Islam petak-petak kamar pondok di lengkapi tempat tidur sehingga santri tidak tidur begitu saja di atas lantai. Keadaan seperti ini umumnya terdapat di hampir semua Pesantren modern (khalafy) seperti Pesantren Gontor ponoroga, Pesantren Assalam Surakarta, Pesantren Al-Mukmin Sukaharjo, Asy Syafi’iyyah Jakarta, dan sebagainya.
Selain sebagai tempat menginap, pondok juga di sediakan untuk menggembleng santri, baik perilaku maupun penguasaan Ilmu yang diajarkan. Dipondok santri dilatih berceramah, berorganisasi, mempraktekkan amalan-amalan Ibadah sehari-hari, dan memperdalam penguasaan kitab-kitab yang di ajarkan di Pesantren.
Berdasarkan paparan di atas, terlihat bahwa pondok di Pesantren Persatuan Islam berfungsi kurang lebih sama dengan pondok-pondok di Pesantren-Pesantren pada umumnya. Tidak ada kekhasan lain, selain fasilitas yang sudah agak lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa secara fisik, tradisi Pesantren lama masih dipertahankan oleh PPI.
3.    Komposisi Pelajaran dan Sistem Pengajaran
Sebagai lembaga pendidikan yang tujuanya mendidik calon-calon ulama yang menguasai ilmu-ilmu Agama,pelajaran-pelajaran yang diberikan di pesantren semuanya berkaitan denga disiplin ilmu-ilmu keagamaan.Namun bberapa pesantrn ada yang menambahkan pelajaran Umum.Pesantren memanfaatkan Kitab-kitab yang diajarkan kepada santrinya yaitu Kitab Tafsir dan Ulum At-Tafsir,Kitab Fiqh dan Ushul Fiqih,Kitab Hadits dan Ulumul Hadits,Kitab Tasawuf,Kitab Ilmu Kalam,Kitab Ilmu Alat dan sebagainya.
Komposisi Kitab yang diajarkan berbeda-beda antara satu pesantren dengan pesantren lain bergantung pada spesialisasi masing-masing pesantren.Oleh karena kuatnya Madhab Syafi’i,kebanyakan kitab yang diajarkan dipilih dari ulama-ulama bermadhab Syafi’i.Sementara itu,santri memilih sendiri kitb yang akan dikaji sesuai dengan kemampuanya.Tidak ada batasan waktu berapa tahun santri mengkaji kitab-kitab tersebut semuanya brgantung kepada kemampuan santri masing-masing.
Cara pengajaran di pesantren memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri.Kitab-kitab tersebut diajarkan dengan cara Wetonan / Bandongan dan Sorogan.PERSIS tetap mempertahankan nama ”Pesantren” untuk menanami lembaga keagamaanya.Adapun tujuanya ditulis dalam Sejarah Ringkas Pesantren PERSIS Bangil,yaitu sebagai berikut:
       “ Sebagaimana dijelaskan dalam muqadimah,bahwa didirikanya pesantren ini didorong oleh rasa tanggungjawab terhadap timbulnya faham sekuler,bid’ah dan khurafat yang jelas bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadits.
          Maka Pesantren PERSIS Bangil didirikan dengan bertujuan:”Membentuk kader mubaligh yang sanggup diketengahkan di masyarakat guna memberantas setiap faham,bid’ah dan khurafat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits Shahih,dengan mengembalikan umat kepada sumber Agama yang asli,yaitu Al-Qur’an dan Hadits Shahih dengan prinsip:Hablu Minallah wa hablum minannas”.
Pengajaran keagamaan di Pesantren PERSIS yang didirikan oleh A.Hassan untuk mencetak mubaligh yang akan menyebarkan faham PERSIS inti pemikiranya adalah “kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunah”.Doktrin “kembali kpada Al-Qur’an dan As-Sunnah” menekankan kepada Umat Islam agar lebih banyak berinteraksi secara langsung dengan teks-teks Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Sayang,Pesantren PERSIS sampaisaat ini belum memiliki Pesantren tingkat tinggi sehingga kecenderungan tingkat lanjut pengajaran kitab di Pesantren PERSIS tidak dapat dilihat lebik jelas.Mereka harus mneruskan ke Timur Tengah seperti Universitas Al-Azhar Mesir,Universitas Islam Madinah,Universitas Umul Qura Mekah,Universitas Ibnu Su’ud Riyadh,dan sebagainya.
Namun bila diperhatikan,santri-santri yang mendalami ilmu Agama tingkat lanjut,baik yang otodidak maupyn yang bersekolah di Timur Tengah,selalu merujuk kepada kitab-kitab kuning yang dijadikan rujukan di Pesantren-pesantren tradisional.Selain disiplin ilmu,di Pesantren juga diajarkan ilmu-ilmu umum seprti ilmu mengajar,Psikologi,Bahasa Indonesia,Bahasa Inggris dan Matematika.
Pada tahun 1983,diseluruh Pesantren PERSIS di Indonesis belum ada kelas formal yang lebih tinggi dari tingkam Mu’alimin.Tahun 1962-1969 pernah berdiri Universitas PERSIS di Bangil.Akan tetapi pada kenyataanya tidak lebih dari Fakultas Syari’ah di PTAIN (saat ini IAIN) dan bukan kelas tinggi yang sengaja dirancang  bagi santri tamatan Mu’alimin melanjutkan pelajaran Agamanya.
Pengaruh Modernisasi terlihat dalam penerapan sistem evaluasi stiap jenjang kelas.Penentuan kelas,tidak lagi diukur dengan kitab yang berhasil diselsaikan,tapi dengan kemampuanya menguasai pelajaran yang diberikan.Setiap ahir tahun ajaran,santri dites penguasaanya atas pelajaran yang diberikan selama satu tahun untuk menentukan apakah ia layak mengikutu kelas selanjutnya atau tidak.
4.    Kiai dan Santri
Kiai adalah unsur dalam tradisi Pesantren yang paling banyak menarik perhatian para peneliti,baik dalam hubunganya dengan Pesantren sendiri maupun dengan masyarakat.
Di Pesantren Kiai merupakan elemen esensial yang sangat menentukan perkembangan dan berjalanya Pesantren.Mengenai karakter Kiai di Pesantren Dhofier mengatakan:
“Kebanyakan Kiai di Jawa beranggapan bahwa suatu Pesantren diibaratkan suatu kerajaan kecil dimana Kiai merupakan sumber kekuasaan dan kewenangan (Power and Authority) dalam kehidupan dan lingkungan Pesantren.Tidak seorangpun santri atau orang lain yang dapat melawan kekuasaan Kiai,kecuali Kiai lain yang lebih besar pengaruhnya.Para santri selalu mengharap dan berfikir bahwa Kiaiyang dianutnya merupakan orang yang percaya penuh kepada dirinya sendiri (Self Confident),baik dalam so’al-so’al pengetahuan Islam maupun dalam bidang kekuasaan dan menejemen Pesantren”.
Karakter semacam ini munculkarena biasanya Kiai yang menjadi pusat pengetahuan di Pesantren,adalah juga pemilikPesantren.Seringkali pula hidupsantrinya pun ditanggung oleh Kiai.Karakter Kiai seperti itu,di Pesantren PERSIS hampir pudar.Sejakpertama kali didirikan unsur Kiai tidak begitu dominan.Kiai tidak lagi menjadi penguasa segalanya.
Sekalipun kekuasaanya tidak mutlak,Kiai merupan orang yang sangat berpebgaruh di Pesantren.Semakin mashur seorang Kiai maka Pesantrenpun akan semakin maju dan banyak didatangi santri yang ingin belajar.Di Pesantren PERSIS No 1 dan 2 Pajagalan Bandung kemashuran E.Abdurrahman dan adiknya K.H.Eabdullah dilingkungan jamaah PERSIS menjadi juru kunci berkembang pesatnya Pesantren.
Pesantren-pesantren lain yang dipimpin oleh Kiai yang tidak terlalu mashur perkembanganya relatif standar dalam jangka waktu yang cukup lama.Contohnya PPI 19 Garut.Sejak didirikan tahun 1968 baru dibuka kels Mu’alimin pada tahun 1979 setelah datang dua orang Kiai mud di Pesantren tersebut yaitu K.H.A.Zakariya dan K.H.Entang Muchtar.
Kemashuran Kiai selain karena ketinggian penguasaanya terhadap ilmu Agama juga ditentukan dengan Interaksinya dengan masyarakat.Selain melalui pengajian, Kiai Pesantren PERSIS dikenal luas oleh masyarakat melalui tulisan.Sejak tahun 195 PPI Bangil menerbitkan majalah Al-Muslimun.Melalui majalah inilah Ustadz Abdul Qadir Hassan dikenal oleh masyarakat,terutama melalui publik tanya jawab masalah-masalah keagamaan yang diasuhnya sampai meninggal tahun 1984.Sampai saat ini majalah tersebut masih terbit dan didistribusikan keeluruh provinsi di Indonesia.Ustadz E.Abdurrahman dan Ustadz E.Abdullah juga memanfaatkan tulisan untuk berkomunikasi dengan masyarakat,masing-masing melelui majalah Risalah yang terbit berbahasa Indonesia sejaktahun 1962 dan majalah Iber yang terbit berbahasa Sunda sejak tahun 1974.
Santri-santri di Pesantren PERSIS dikategorikan menjadi dua jenis,yaitu Santri Mukim dan Santri Kalong.Santri Mukim adalah santri yang derada di pesantren selama 24 jam,sedangkan Santri kalong adalah santri yang datang kepesantren untuk mengaji selepas itu ia pulang kerumahnya masing-masing.

5.    Hubungan Pesantren dengan Masyarakat
Dalam kasus PPI,hubungan dengan masyarakat hampir sama seperti yang dilakukan oleh pesantren-pesantren tradisional,yaitu sebagai pusat rujukan keagamaan bagi masyarakat.Hanya saja objek masyarakatnya terbatas pada masyarakat yang menerima pemikiran modern-Islam seperti Muhammadiyah dan PERSIS sendiri.Bagi masyarakat yang belum menerima pemikiran kelompok modernis seringkali brsikap tidak mengacuhkan atau bahkan resisten.Sikap ini muncul karena ketidaksukaan mereka terhadap kehadiran paham baru ditengah-tengah mereka.
Pesantren Bangil merupakan contoh yang paling baik dalam melakukan hubungan dengan masyarakat.Sejak pertama didirikan tahun 40-an Pesantren PERSIS Bangil berada diperkampungan yang penduduknya sebagian besar pendukung NU.Sampai saai ini keadaan itu tidak banyak berubah.Pada tahun-tahun pertama didirikan resistensi masyarakat terhadap kehadiran pesantren diwujudkan dalam bentuk kekerasan seperti melmpari bangunan pesantren,merusak sarana yang dimiliki pesantren dan sebagainya.Namun dengan sendirinya kekerasan itu hilang dan ahirnya keberadaan pesantren seolah-olah terisolir dari Masyarakat sekitarnya.
Sementara untuk Pesantren-pesantren di daerah Jakarta dan Jawa Barat separti Pesantren PERSIS Pajagalan,Pesantren PERSIS Bentar,Pesantren PERSIS Cempakawarna dan Benda Tasikmalaya perkembanganya agak berbeda dengan pesantren PERSIS Bangil.Pada awal didirikan,resistensi masyarakat yang idak sepaham memang cukup kuat.Akan tetapi karena banyak melakukan hubungan langsung secara personal kepada Masyarakat terutama melalui cabang-cabang Jam’iyah PERSIS,semakin lama masyarakat sekitar terpengaruh dan mengikuti paham keagamaan yang disebarkan oleh Pesantren PERSIS.
Ketika masyarakat telah banyak yang terpengaruh,hunbungan Pesantren dengan masyarakat semakin intens.Para Ustadz selain mengajar santrinya di pesantren juga harus mengisi pengajian dan acara-acara keagamaan lain seperti Pernikahan dan kematian atas permintaan masyarakat sekitar.Banyak pula Masyarakat yang datang kepada Kiai untuk mengadukan masalahnya atau menanyakan berbagai perso’alan keagamaan.Semakin lama,semakin banyak pula masyarakat sekitar yang memesukan anaknya ke Pesantren.
Adanya hubungan baik dengan masyarakat diperlihatkan pula dalam pembiayaan operasional dan pengembangan Pesantren.Uang bulanan yang dibayarkan oleh santri hanya cukup untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari.Bahkan pesantren-pesantren yang hanya memiliki sedikit santri,uang bulanan santripun tidak cukup untuk membiayai biaya operasional sehari-hari.Untuk keperluan lain pesantren mengandalkan dna dari masyarakat.Hal ini memperlihatkan bahwa Pesantren telah menjadi bagian dari masyarakat yang mendukungnya hingga mereka rela membantu menopang keuangan Pesantren.
6.    Hubungan Pesantren dengan Organisasi Induk ( PERSIS )
Dalam struktur Jam’iyah PERSIS,Pesantren PERSIS berada dibawah bidang pendidikan cabang PERSIS didaerah masing-masing. Pesantren yang ditempatnya tidak terdapat cabang Persatuan Islam seperti di bangil, berada di bawah yayasan yang dikelola oleh tokoh-tokoh PERSIS setempat dan berkoordinasi secara langsung dengan bidang garapan pendidikan pimpinan pusat PERSIS di Bandung. Kebijakan ini berlaku sejak tahun 1955 ketika dilakukan standardisasi kurikulum pesantren oleh ustadz E. Abdurrahman yang saat itu menjadi pimpinan Pesantren PERSIS Pajagalan Bandung sekaligus menjabat Bidang Pendidikan Pimpinan Pusat PERSIS.
Sekalipun semestinya pesantren berada di bawah pengelolaan pimpinan cabang Persatuan Islam, namun pada kenyataannya peran pimpinan cabang tidak terlalu terlihat. Bahkan untuk pesantren-pesantren yang tergolong besar seperti Pesantren Pajagalan, Bentar, Tarogong, dan Benda Pimpinan Cabang PERSIS tidak lebih besar dibandingkan dengan pesantrennya. Akhirnya, kebijakan pesantren lebih banyak di tentukan oleh pihak pesantren sendiri.
Lebih berpengaruhnya kiai di pesantren dibandingkan kebijakan jam’iyyah diperlihatkan pula oleh pesantren PERSIS Bangil. Sejak awal berdiri pesantren ini di pimpin oleh orang-orang yang juga sangat berpengaruh dilingkungan PERSIS,masing-masing oleh A. Hassan (1940-1958) dan Abdul Qodir Hassan (1958-1983). Sepeninggal A. Hassan, Abdul Qodir Hassan menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pimpinan pesantren dan sebagai ketua Majelis Ulama PERSIS yang sangat berpengaruh di lingkungan PERSIS.
Kelonggaran hubungan antara jam’iyyah dengan pesantren sesungguhnya membuat pesantren-pesantren PERSIS relatif lebih mandiri, baik dalam inovasi pengembangan pengajaran maupun dalam pengembangan pesantren sendiri. Namun sampai saat ini belum terlihat adanya inovasi-inovasi signifikan yang dikembangkan oleh pesantren. Kemungkinan besar hal ini di sebabkan masih adanya tidak mau mengambil resiko dan ewuh-pakewuh para pengelola pesantren, yang kebanyakan mantan santri pesantren PERSIS juga, terhadap para ustadz pendahulu mereka. Mengubah kurikulum dianggap sebagai tindakan bodoh dan melawan kebijakan guru mereka yang telah merumuskan kurikulum dengan cukup baik dimasa lalu. Dengan nada begitu meyakinkn H.M. Atang A.S menyatakan:
“ Kurikulum pesantren dari dulu sampai sekarang sama sejak seperti ini dan telah teruji sanggup melahirkan orang-orang besar sekelas Ust Latief Muchtar . Saya kira kurikulum yang ada sekarang masih relevan dan belum perlu diperbiki. Orang-orang tua kita telah merumskan kurikulum dengan begitu baik ”.
     Sekalipun hubungan antara pesantren dengan jam’iyyah dalam penentuan kebijakan pendidikan terlihat longgar, namun keberadaan pesantren dan jam’iyyah berjalan saling menguntungkan. Pimpinan cabang sering kali membantu kekurangan-kekurangan pesantren, terutama dalam masalah pendanaan. Sementara pihak pesantren sangat membantu dalam pengembangan jam’iyyah dengan mendidik kader-kader aktivis pesantren Islam dan menyuplai tenaga-tenaga muballigh yang pengelolaannya dikoordinasi oleh jam’iyyah. Tidak jarang pula aktivis pesantren sekaligus merangkap sebagai aktivis jam’iyyah. Bahkan, aktivis-aktivis jam’iyyah dari mulai pimpinan jamaah, sampai pimpinan pusat didominasi oleh orang-orang pesantren atau paling tidak alumni pesantren PERSIS. Oleh sebab itu, tidak salah bila komunitas PERSIS sesungguhnya adalah komunitas pesantren. Keadaan ini hampir mirip dengan organisasi Nadhlatul Ulama yang didominasi oleh orang-orang pesantren atau setidaknya alumni pesantren-pesantren NU yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia.








DAFTAR PUSTAKA
1.      Tiar Anwar Bachtiar.Sejarah Pesantren PERSIS 1936-1983.Pembela Islam Media.2012

1 komentar: