Jumat, 31 Oktober 2014

Makalah Gadai



BAB I
            PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Dalam syari’at bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya mampu melaksanakan syari’at tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syari’at yang ditentukan. Ada kalanya suatu misal ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang kehabisan bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat tinggalnya untuk mengambil perbekalan demi perjalanan selanjutnya.
Selain daripada itu, keinginan manusia untuk memnuhi kebutuhannya, cenderung membuat mereka untuk saling bertransaksi walaupun dengan berbagai kendala, misalnya saja kekurangan modal, tenaga dsb. maka dari itu, dalam islam diberlakukan syari’at gadai. Adapun pengertian, hukum, dan syaratnya, serta bagaimana penggunaannya akan dibahas dalam makalah ini.
B.     Rumusan masalah
1.      Apa pengertian gadai? dan bagaimana hukumnya?
2.      Apa saja syarat dan rukun gadai?
3.      Bagaimana pemanfaatan barang gadai?



















    BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian gadai dan hukum gadai
1.      Pengertian gadai
Gadai (al rahn) secara bahasa dapat diartikan sebagai (al stubut,al habs) yaitu penetapan dan penahanan.
Secara istilah dapat diartikan menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’sebagai jaminan atas adanya 2 kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.[1][1]
Gadai adalah perjanjian (akad) pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.[2][2]
Sehingga dapat disimpulkan gadai adalah menjadikan suatu benda itu berharga sebagai jaminan sebagai tanggungan utang berdasarkan perjanjian (akad) antara orang yang memiliki hutang dengan pihak yang memberi hutang.
2.      Hukum gadai
Perjanjian gadai dibenarkan oleh islam, berdasarkan:
a.       Al qur’an surat Al Baqoroh ayat:  283




Artinya: jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh penggadai). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah tuhannya.[3][3]
b.      Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah, dari Anas r.a, yang artinya:”Rosulullah merungguhkan baju besi kepada seorang yahudi di madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang yahudi”.[4][4]
c.       Ijma ulama atas hukum mubah(boleh) dalam perjanjian gadai
Hal ini menjadikan adanya khilafah pada beberapa ulama, diantaranya madzhab Dhahiri, Mujahid, Al Dhahak, hanya memperbolehkan gadai pada saat berpergian saja, berujuk pada surat Al Baqoroh ayat 283.
Sedangkan jumhur ulama memperbolehkan dalam bepergian atau dimana saja berdasar hadits nabi yang melakukan transaksi gadai di Madinah.
Sehingga dapat disimpulkan perjanjian gadai diperbolehkan di dalam islam berdasarkan Al qur’an surat Al Baqoroh ayat 283, hadits nabi Muhammad saw, dan ijma ulama.

B.     Syarat dan Rukun Gadai
Syarat syarat gadai:
1.      Sehat fikirannya
2.      Dewasa, baligh
3.      Barang yang digadaikan telah ada di waktu gadai
4.      Barang gadai bisa diserahkan/dipegang oleh penggadai.[5][5]
Adapun rukun gadai:
1.     Orang yang menggadai/orang yang menyerahkan barang jaminan(rahin)
2.      Orang yang menerima barang gadai (murtahin)
3.      Barang yang dijadikan jaminan(borg/marhun).[6][6]
4.      Akad(ijab dan qobul)
5.      Adanya hutang yang dimiliki oleh penggadai.[7][7]
Dapat disimpulkan bahwa syarat barang gadai adalah sehat fikirannya, baligh, dewasa, adanya barang gadai, dan barang gadai tersebut bisa diserahkan/dipegang  murtahin.
Rukun dari gadai adalah adanya rahin, murtahin, borg, akad dan hutang yang dimiliki.
C.     Pemanfaatan Barang Gadai
Dalam pemanfaatan barang gadai, terdapat perbedaan pendapat dalam kalangan ulama’, diantaranya:
1.      Jumhur Fuqoha’berpendapat bahwa murtahin tidak diperbolehkan memakai barang gadai dikarenakan hal itu sama saja dengan hutang yang mengambil kemanfaatan, sehingga bila dimanfaatkan maka termasuk riba. Berdasar hadits nabi yang artinya: “setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba”(HR. Harits Bin Abi Usamah)
2.      Menurut Ulama Hanafi, boleh mempergunakan barang gadai oleh murtahin atas ijin rahin, dan itu bukan merupakan riba, karena kemanfaatannya diperoleh berdasarkan izin dari rahin.
3.      Menurut Mahmud Shaltut, menyetujui pendapat dari Imam Hanafi dengan catatan: ijin pemilik itu bukan hanya sekedar formalitas saja, melainkan benar benar tulus ikhlas dari hati saling pengertian dan saling tolong menolong.
4.      Menurut Imam Ahmad, Ishak, Al Laits Dan Al Hasan, jika barang gadaian berupa barang gadaian yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka murtahin dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya. Sesuai dengan hadits nabi yang artinya:”binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan dagi orang yang memegang yang memegang dan meminumnya  wajib memberikan biaya”(HR.  Bukhari)[8][8]
D.     Resiko Kerusakan Marhun (barang gadai)
1.      Menurut Ulama Hanafiyah, murtahin yang memegang marhun menanggung resiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun bila marhun itu rusak atau hilang karena disia siakan maupun dengan sendirinya.
2.      Menurut Ulama Syafi’iyah, murtahin menanggung resiko kehilangan, attau kerusakan marhun bila marhun itu rusak atau hilang karena disia siakan murtahin[9][9]

Jadi dapat disimpulkan, dalam pemanfaatan barang gadai terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama yaitu diantara jumhur Fuqoha’, Ulama’ Hanafiyah, Mahmud Syaltut Dan Imam Ahmad,Ibnu Ishak, Al Laits, dan Ala Hasan, yaitu antara memperbolehkan pemanfaatan barang gadai dengan seizin orang yang menggadaikan  dan tidak memperbolehkannya dikarenakan hal itu termasuk riba dalam hutang.

    BAB III
PENUTUP



A .KESIMPULAN

1.             gadai adalah menjadikah suatu benda itu berharga sebagai jaminan sebagai tanggungan utang berdasarkan perjanjian (akad) antara orang yang memiliki hutang dengan pihak yang memberi hutang
2.             Dapat disimpulkan bawa syarat barang gadai adalah sehat fikirannya, baligh, dewasa, adanya barang gadai, dan barang gadai tersebut bisa diserahkan/dipegang  murtahin.
3.             Rukun dari gadai adalah adanya rahin, murtahin, borg, akad dan hutang yang dimiliki.
4.             Dalam pemanfaatan barang gadai terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama yaitu diantara jumhur Fuqoha’, Ulama’ Hanafiyah, Mahmud Syaltut dan Imam Ahmad,Ibnu Ishak, Al Laits, dan Al Hasan, yaitu antara memperbolehkan pemanfaatan barang gadai dengan seizin orang yang menggadaikan  dan tidak memperbolehkannya dikarenakan hal itu termasuk riba dalam hutang.





























DAFTAR PUSTAKA

1.      Departemen Agama RI. 2007. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV penerbit diponegoro
2.      H. Suhendi, Hendi. 2000. Fiqh Muamalah. Jakarta. PT. Grafindo Persada
3.      Drs. H. Zuhdi, Masyfuk. 1997. Masail Fiqhiyyah. Jakarta. CV. Hajimasagung
4.      Zainuddin S. Ag, Jamhuri, M.Ag. 1998. Al Islam 2, Muamalah Dan Akhlak. Bandung. Cv. Pustaka Setia
5.      H. Anwar Moh. 1998. Fiqh Islam. Bandung. Pt. Al Maarif Offset







[1][1] H. Hendi suhendi. Fiqh muamalah, (jakarta: pt. Grafindo persada, 2000) hal.105-106
[2][2] Prof. Drs. H. Masyfuk zuhdi. Masail fiqhiyah, (Jakarta: CV. Haji masagung, 1997) hal.122
[3][3]
[4][4] Opcit, hal 107
[5][5] Opcit hal. 123
[6][6] A. Zainuddin S.Ag dan jamhuri M. Ag. Al islam 2 muamalah dan akhlak (bandung: CV. Pustaka setia, 1998) hal. 21
[7][7] Ibid, hal 108
[8][8] H. Moh anwar. Fiqh islam. (bandung. PT. Al ma’arif:1998). Hal. 58
[9][9] Ibid, hal 110

Tidak ada komentar:

Posting Komentar